sumber: http://markexton.edublogs.org/ |
Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.
Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.
Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.
Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Dua kali—sekali di Jerman, sekali di Yogyakarta—saya tertidur begitu nyenyak hingga jatuh dari kursi di tengah kuliah dengan bunyi besar. Dua kali itu profesor kaget, mengira saya kena serangan jantung. Saya hanya bilang, ”Tidak apa-apa.”
Dengan pengalaman itu, saya tak pernah marah kalau mahasis- wa di kuliah saya ngantuk. Biasa- nya di kuliah pertama saya jelas- kan tata tertib yang saya minta: omong-omong mengganggu saya. Namun, kalau ada yang mengantuk, tak apa-apa, asal tidak mengorok. Pengalaman saya, tidur 10 menit saja membuat segar untuk dua jam berikut. Itu lebih baik daripada (amatan saya berulang-ulang) mahasiswa bersusah payah berusaha mempertahankan sekurang-kurangnya satu mata terbuka: gantian kiri atau kanan. Rasa saya, mesakaké wongé.
Kacau-balau
Dua kali saya mengalami sesuatu yang mengherankan saya sendiri. Yang pertama pada 1980-an, waktu kuliah filsafat di UI. Malam sebelumnya saya pulang dari Yogyakarta naik kereta api. Saya memang mengantuk. Nah, di tengah kuliah, saya sepertinya mengalami out of body experience. Saya mendengarkan ada orang omong. Lama-kelamaan saya jadi sadar, yang omong itu saya sendiri. Omongan itu kacau-balau. Ternyata saya tertidur sedang mengajar, tetapi kok omong terus? Saya lalu memukul meja dan berteriak, ”Saya butuh kopi!” ”Betul, Romo,” jawab mahasiswa dan mengambil kopi.
Pengalaman kedua di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1970-an. Sekitar pukul 12 siang. Panas sekali. Belum ada AC. Kuliah saya itu bacaan teks Inggris. Saya memberi mereka teks untuk dianalisis sendiri. Semua sibuk dan diam. Kiranya saya lalu tertidur.
Akhirnya saya mulai sadar kembali. Suasana amat sepi. Semua mahasiswa kelihatan tertidur juga. Namun, yang mengagetkan saya: kaki kanan saya ada di atas meja di depan saya! Diam-diam saya turunkan kakiku, baru saya ribut-ribut sedikit agar mahasiswa saya terbangun juga. Hanya ada satu mahasiswa yang ternyata tidak tertidur dan menyaksikannya.
Saya selalu sadar akan bahaya itu. Pernah Alvin Toffler, futuro- log termasyhur itu, berceramah di Gedung Manggala Wanabakti. Yang hadir barangkali seribu orang. Saya duduk agak di bela- kang. Di samping saya duduk Wiratmo Soekito (almarhum). Begitu Toffler mulai omong, saya tertidur pulas. Sesudah kira-kira 15 menit saya terbangun, merasa segar, dan mulai mendengarkan Toffler dengan perhatian. Lima menit kemudian Pak Wiratmo-lah yang tertidur. Beda dengan saya, beliau mendengkur, cukup keras pula. Orang pada mulai memandang ke arah kami. Betapa bangga hatiku duduk tegak dengan mata terbuka.
Waktu saya ikut penataran P4, angkatan nasional ke-8 di Gedung BP7, Pejambon, saya didudukkan di baris kedua dari depan. Ngeri sekali! Kalau saya ngantuk sedikit saja, mesti langsung ketahuan. Akhirnya saya mengatasi masalah dengan bekerja keras. Saya memakai ceramah yang diberikan untuk mempelajari secara intensif seluruh materi kami. Jadi, saya baca teks-teks P4, UUD 1945, dan GBHN. Saya garis bawahi, saya beri warna. Pokoknya sibuk sekali. Saya tidak jadi mengantuk.
Satu kali penceramah, seorang mantan dirjen yang suka banyak melucu, menjadi gelisah melihat saya. Rupa-rupanya ia takut bahwa saya mencatat setiap sabda dari mulutnya lalu melaporkannya kepada pemimpinnya. Akhirnya beliau tak tahan, menyapa saya, ”Pak Frans, tak perlu segala kata saya dicatat.” Saya jawab, ”Enggak apa-apa, Pak.”
Sekarang pun saya selalu harus berjuang. Nah, bayangkan, ta- hun lalu Akademi Ilmu Pengeta- huan Indonesia mengadakan pertemuan tahunan di Puspiptek, Serpong. Bapak Presiden akan memberikan ceramah penting! Saya gelisah. Dengan rambut putihku tak mungkin saya tak diperhatikan. Jangan-jangan beliau tersinggung kalau kepala saya angguk-angguk, saya lantas malah ditegur beliau.
Karena acara itu di aula besar, saya bisa mencari tempat duduk jauh di pojok belakang (dan dengan tegas menolak ajakan rekan-rekan akademisyen untuk duduk bersama mereka). Amanlah saya. Ternyata waktu Bapak Presiden berpidato, saya malah tidak ngantuk!
Berhadapan dengan seorang perempuan yang berselingkuh, Yesus pernah ditanya apakah perempuan itu boleh dirajam sesuai dengan hukum Taurat. Jawaban Yesus, ”Barangsiapa tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.” Tak ada yang berani. Saya suka dengan ucapan ini.
Ada ayat lain dari Mazmur yang menghibur saya: ”Tuhan memberikan (yang baik) kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”
Franz Magnis-Suseno SJ
Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Kompas, 8 September 2012
ayat alkitab terakhir itu!!. jadi pengen komen gini bang.. orang2 yang tertidur di gereja berarti sedang menerima berkat langsung dari Tuhan. jadi pak pendeta tak harus sakit hati kalau tiba2 semua jemaatnya tidur. berarti satu gereja benar2 diberkati, *ini komen orang lagi hampir ngantuk,
Nice Post!!
berbahagialah yang menikmati kantuk, karena berkat sedang menghampirinya :)