Helvry Sinaga

Setelah menunggu semalaman, kira-kira pukul 10.00 Wita di awal Juli 2012 lalu, Arie Smit membuka pintu. Ia keluar dari dalam bilik sisi kiri, di utara kolam renang Villa Sanggingan, Ubud, Bali, dibantu sebuah kruk. Pelan-pelan ia geser kakinya sebelum melemparkan tubuhnya yang besar di sebuah ”velbed” di beranda. Pelukis berdarah Belanda itu kini berusia 96 tahun!

Dari lantai dua sebuah cottage di lokasi yang sama, di mana saya menginap, terlihat Arie meregangkan tubuhnya beberapa saat. Tak sampai 5 menit ia masuk kembali ke dalam bilik. Kain pantai pembalut tubuhnya tertinggal di atas velbed. Pagi itu ia hanya mengenakan t-shirt yang dibungkus jaket lusuh, serta topi wol yang warnanya sudah pudar. Harapan untuk bisa bertemu sepertinya tipis. Sejak dulu Arie Smit sangat selektif menerima para tamu. Ia tidak terlampau menyukai keramaian.


Tak lama berselang, I Wayan Wita (40), karyawan Villa Sanggingan, yang selama ini ditugasi pemilik penginapan Pande Wayan Suteja Neka mengurus Arie Smit, muncul. Seperti biasa, Wita datang membawa sarapan Arie berupa sop labu yang dibeli dari sebuah warung di Ubud. ”Pak Arie setiap hari sarapannya cuma sop labu. Tidak pernah makan nasi, cuma kita siapkan susu dan roti di kamarnya,” tutur Wita sembari memberi isyarat akan coba membujuk Arie Smit untuk satu pertemuan singkat.

Pagi sudah beranjak siang. Arie Smit tak juga keluar kamar. Mungkin orang tua itu tertidur setelah sarapan tadi. Sejak dua minggu lalu pelukis yang dikenal sebagai mahaguru aliran Young Artist ini berpindah bilik. Selama bertahun-tahun ia memilih sebuah paviliun di tebing Tukad Campuhan (sungai), di bagian belakang Villa Sanggingan. Di situlah satu sesi wawancara pernah saya lakukan tahun 1996 silam, ketika Arie Smit ”masih” berusia 80 tahun. ”Karena Pak Arie makin tua dan sering sakit, kita pindahkan ke depan. Baru dua minggu,” tutur Wita di beranda. ”Tunggu ya, sebentar lagi…” tambahnya.

Daun pintu berbilah dua bilik Arie tiba-tiba berderit. Arie dibantu Wita bergerak pelan sekali. Ia nyaris seperti menyeret kakinya. Belum sampai di velbed, Arie berujar, ”Anda tinggal di sebelah? Saya senang masih ada wartawan yang mau datang….”

Selamat pagi Pak Arie?

Saya akan mati. Pasti. Sekarang sudah berangsur-angsur mati. (Tapi) begitu cara mati di Indonesia ya, pelan-pelan. Saya lebih suka mendadak… (Kalimat ini diucapkan Arie dalam nada humor yang pahit).

Tetapi sedang sehat, kan?

Apa? Sehat. (Arie berkata tegas sembari menegakkan leher dan memonyongkan mulutnya. Pasti itu tanda bahwa pada usia menjelang satu abad ia masih diberi kesehatan oleh Semesta. Menurut Wita, belakangan Arie Smit selalu berkeinginan untuk segera mati. Ia merasa sudah diberi hidup yang begitu panjang di Bali).

Kenapa ingin mati, bosan di Bali?

Saya umur cukup. Sekarang sudah 96 tahun, tetapi cara meninggal itu begitu lamban.

Itu karena Anda sehat berarti....

Ah saya tidak mau apa-apa lagi…. Tapi ini rekor, tidak pernah ada orang kulit putih yang tinggal di Bali selama saya. Saya tinggal 60 tahun, hampir tak pernah ke luar negeri. Sebab saya senang. Pernah ke Belanda dan Italia sebentar-sebentar, tapi selalu kembali lagi ke sini.

Apa yang membuat Anda betah?

Ada alam dan kultur. Ada manusia yang baik-baik, eh istimewa. Tropis? Tetapi sekarang kurang tropis. Saya sedikit kecewa dengan cuaca. Biasanya setiap tahun di bulan Juli, (suhu) Ubud antara 29 dan 30 derajat. Sekarang ini terkadang 25 dan 26 derajat. Saya kecewa dengan cuaca, cuaca kecewa dengan saya, ha-ha-ha….

Legenda hidup

Arie Smit bagai legenda hidup di Bali. Ia disejajarkan dengan Rudolf Bonnet (Belanda) dan Walter Spies (Jerman), dua orang penting dalam sejarah seni rupa Bali setelah mendirikan kelompok pelukis Pita Maha di Ubud. Seni rupa gaya Ubud dan Batuan, yang kini diwarisi orang-orang Bali, berasal dari Bonnet dan Spies. Selain sebagai pelukis yang merekam lanskap pedesaan, perbukitan, dan pegunungan Bali, tahun 1960 Arie Smit mengajar anak-anak Dusun Penestanan, Ubud, melukis. Ia memberi mereka cat, kuas, kanvas, dan meja.

”Saya beli sekitar 40 meja dari warga, di mana itu sehari-hari digunakan untuk judi ceki. Kepala desa senang sekali, ha-ha-ha…” ujar Arie.

Pengajaran Arie kepada anak-anak Penestanan itulah yang kemudian melahirkan lukisan gaya Young Artist. Bermula dari 40 anak yang menjadi murid langsung Arie Smit, di antaranya ada nama-nama yang kini terkenal seperti Nyoman Cakra, Nyoman Londo, Ketut Tagen, dan Ketut Soki, gaya melukis ini menjadi aliran yang beranak-cucu. Menurut catatan pengamat seni rupa Agus Dermawan T, kini terdapat ratusan penekun Young Artist di Penestanan. Aliran yang kini berusia lebih dari 50 tahun itu telah membawa Dusun Penestanan beranjak dari kemiskinan. ”Penestanan kini jadi salah satu dusun paling sejahtera di Ubud,” tulis Agus (Kompas, 9 Mei 2010).

Tidak menyesal memilih jadi warga Indonesia?

Sebagai pengalaman hidup, pada 20 Desember 1950 saya orang Belanda terakhir yang menjadi warga Indonesia. Waktu itu begitu gampang tidak usah bayar di Kehakiman. Sekarang, kan, sudah zaman SBY dan ODH, ya?

Mungkin maksudnya OHD, kan?

Oh ya? ODH, OHD… (Arie berkali-kali melafalkan singkatan ODH dan OHD. Tentu yang ia maksudkan dengan ODH itu OHD alias Oei Hong Djien, juragan tembakau, kolektor, dan pemilik Museum OHD Magelang, yang belakangan namanya mencuat gara-gara isu lukisan palsu). Sayang ya dia orang baik yang naif….

Anda mengikuti perkembangan seni lukis di Tanah Air?

Oh iya saya membaca sedikit-sedikit, tapi tidak menonton televisi.

Bagaimana Anda menjalani hari-hari menjelang 100 tahun? Masih melukis?

Setiap hari saya senang kalau matahari terbit. Saya senang tiduran di beranda. Saya diperhatikan oleh pelayan. Untuk orang Bali mati tidak apa-apa, karena akan kembali lagi. Tetapi saya tidak tahu, kalau saya kembali tidak apa-apa, saya tidak pernah bosan, saya ingin 60 tahun lagi (di sini). Kalau melukis saya di atas… (Arie menunjuk studionya di lantai dua cottage. Wita bilang belakangan Arie Smit sudah jarang melukis, matanya sudah mulai kurang awas).

Kenapa Anda suka sekali dengan pemandangan?

Saya (memang) pelukis pemandangan. Tidak ada orang Bali yang melukis pemandangan. Saya melulu pemandangan. Dulu Bonnet melukis model. Spies sawah. (Hans) Snel dan (Antonio) Blanco perempuan. Saya tidak lupa terhadap keindahan alam karena alam yang paling penting di Bali. Semua turis datang tidak untuk kebudayaan, tetapi untuk alam. Dulu pertama kali saya tinggal di Ubud, malam-malam terdengar ombak pecah di Sanur. Sekarang tidak mungkin, banyak mobil….


Serdadu

Arie Smit lahir 15 April 1916 di Zaandam, Belanda, sebuah kota industri. Keluarganya pemilik Smit Expeditie yang telah berdiri sejak 1797. Smit tidak mengikuti jejak keluarga sebagai pebisnis. Ia justru memilih sekolah di Akademi Seni Rupa Rotterdam, meski tak sampai selesai. Sejak kecil, kekagumannya pada wilayah tropis sudah dipendamnya. Ia selalu mencari-cari peluang untuk pergi ke Hindia Belanda, negeri jajahan Kerajaan Belanda.

Arie menjalani wajib militer dengan menjadi serdadu, ”hanya” agar bisa pergi mengembara ke Hindia Belanda. Bersama 30 tentara Belanda lain, Arie menuju Hindia Belanda pada 1938 menggunakan kapal Mail en Passagiersdienst ”Rotterdamsche Lloyd”. Menurut catatan buku Puisi Warna Arie Smit (Agus Dermawan T), Arie tak kurang menempuh perjalanan selama sebulan. Ia berlayar melalui Lissabon, Marseille, Port Said, Colombo, Sabang, Belawan, sebelum kemudian merapat di Tanjung Priok, Batavia.

”Pada setiap persinggahan saya membuat sket di buku,” kenang Arie sambil mengatakan bahwa buku sketsa itu disimpan oleh atasannya di dinas ketentaraan dan tidak pernah dikembalikan lagi.

Setiba di Batavia lantaran waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membuat sketsa, Arie dipindahkan ke Jawatan Topografi. Di sini ia bertemu dengan orang-orang yang pandai membuat peta. Ia berkantor di Jalan Gunung Sahari Batavia, di mana Arie belajar soal-soal litografi, fotografi, dan juga sekaligus fotolitografi.

Pengalaman paling mengenaskan dalam hidupnya, ia pernah ditawan Jepang dan harus menjalani kerja rodi di Thailand selama hampir empat tahun. ”Kami harus membuat jembatan-jembatan. Dalam film The Bridge on the River Kwai, itu kalau pernah menonton, saya terlibat di situ. Sungguh-sungguh terjadi itu. Saya salah satu dari mereka yang ikut membuat jembatan,” tutur Arie dengan ingatan yang masih tajam.

Apa rahasia membuat ingatan tajam seperti Anda?

Sering berkeliling dan melukis... ha-ha-ha. Itu dahulu saya jalani. Saya pindah 40 kali di Bali. Semua untuk mencari pemandangan. Di sini aneh, variasi pemandangan begitu aneh. Ada sawah, bukit, laut, gunung, jalan yang berkelok-kelok. Tidak sama satu dengan lain.

Anda seperti pohon banyan (beringin) dalam lukisan-lukisan Anda? Setuju?

Ah itu istilah Anda. Saya sudah tua dan mau mati. Saya suka dekat alam. Pohon itu misteri.

Selain pemandangan, dalam beberapa seri Arie menggambar pohon banyan tua sebagai fokus dalam lukisannya. Kini pohon-pohon itu seperti mencitrakan dirinya. Pada usia 96 tahun, meski tubuhnya sudah ”rusak”, istilah Arie, ingatannya jauh melampaui batas-batas manusia normal. Ia masih bisa bercerita panjang lebar dan menyebut nama-nama dengan tepat, meski harus beberapa kali terhenti. ”Ini kepala sering bocor, meski saya sudah pakai topi ha-ha-ha…” guraunya selalu.

Arie mungkin tak ubahnya bagai banyan tua yang kokoh. Ia sesekali masih melukis meski matanya kurang awas. Ia tetap menjadi legenda hidup, terutama bagi warga Dusun Penestanan, yang kini sebagian besar hidup dan disatukan dalam aliran Young Artist.

Arie memberi isyarat untuk menyudahi obrolan.

”Cukup ya, saya harus istirahat. Sudah tua, sudah mau mati... ha-ha-ha.”


PENGEMBARAAN
Hidup Berpindah-pindah



Sejak memutuskan hidup di Bali tahun 1956, Arie Smit, menurut ingatannya, sudah berpindah tempat tinggal sebanyak 40 kali. ”Pertama kali mendarat di Buleleng lantas ke Kintamani kemudian Ubud, Sanur, dan semua wilayah. Saya bisa tinggal lima tahun di satu daerah,” katanya.

Dulu di Bali selalu ada satu kamar kosong di satu keluarga. Kamar-kamar itu sebenarnya dibuat untuk anak-anak yang sedang sekolah di Yogyakarta. Sebelum mereka pulang, kamar itu selalu kosong. ”Masalahnya selalu tidak ada kamar mandi. Saya tidak bisa ikut mandi di sungai sebab bagaimanapun saya tetap orang Barat,” tutur Arie.

Oleh sebab itu, di setiap keluarga yang menjadi induk semangnya di pedesaan Bali, Arie selalu membuat kamar mandi sendiri. ”Saya sampai-sampai disebut arsitek kamar mandi, ha-ha-ha,” ujar lelaki yang tetap hidup sendiri ini.

Pengembaraan Arie di pedesaan Bali tak lain untuk memburu cahaya dan pemandangan alam yang menurutnya sangat misterius. Ia biasa bekerja dengan cara membuat sketsa berbagai obyek yang dilihatnya. Sketsa-sketsa itulah yang kemudian digarapnya di studio selama berbulan-bulan. ”Bahkan, saya simpan sketsa sampai tahunan, bisa sekarang saya kerjakan sebagai lukisan,” kata Arie.

Sejak usianya mencapai 80 tahun, Arie mulai jarang bepergian. Ia cuma berjalan dari Villa Sanggingan menuju Museum Neka, yang jaraknya kurang dari 1 kilometer. (CAN)

Putu Fajar Arcana  
Kompas, 23 September 2012

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment