Norman Erikson Pasaribu
Gambar: Denden Hendan Durahman
Kompas, 9 September 2012
Bagaimana rasanya menjadi benda-benda yang dekat dengan kehidupan manusia seperti handphone, blackberry, kendaraan, dan sebagainya. Seandainya mereka dapat berdialog, tentu saja mereka akan memberi kesaksian tentang bagaimana perilaku majikannya. Kadangkala ketika kita menyelami hal-hal seperti yang diceritakan Norman ini, yang dinamakan benda-benda 'mati' pun punya permasalahannya sendiri.
KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Jacklah yang membawa kita pada kehidupan seperti ini. Dulu kita tinggal di sebuah tempat yang lembap dan penuh asap, di mana botol minuman berjejer pada lemari. Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua tersisa. Seluruh waktu kita hanya dipenuhi kamu yang mengeluh tak bisa melepaskan sepatumu.
“Coba gerakkan jari-jari kakimu kalau begitu,” kataku.
“Tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
“Sudah. Dan tidak bisa. Aku bahkan tak bisa merasakan jari-jari kakiku.”
Dari balik tirai tipis asap, setiap malam kita melihat Jack menari dengan topi dan tongkat kayu hitam. Semua orang tertawa melihat gerakan Jack, termasuk kita. Kadang dia bahkan mengeluarkan merpati dari topinya. Diam-diam kita jadi pengagum rahasia Jack, merekam dia dalam ingatan.
Pertemuan sungguhan kita dengan Jack terjadi pada suatu malam dengan hujan deras. Jack tak henti-hentinya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu.
Leona, perempuan yang memiliki tempat ini, keluar dari kamarnya di belakang.
“Kaukah itu, Jack?” kata Leona dari balik pintu, “Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun yang melibatkan cinta.”
“Aku baru saja ingat,” pekik Jack, “aku harus mendapatkan dua boneka itu.”
“Anak gadisku berulang tahun hari ini.”
Kita tak pernah paham isi pembicaraan Jack dan kawan-kawannya. Mereka menggunakan bahasa yang tidak kita kenal. Kita mengetahui nama mereka dari kata yang paling sering digunakan orang lain agar mereka menengokkan kepala.
Kita selalu ingat suasana di balik jas hitam Jack ketika dia membawa kita pada malam itu, menembus hujan, entah ke mana. Gelap dan hangat. Aku bisa merasakan dada Jack berdegup. Coba ingatlah kembali, sebuah tempat yang gelap dan hangat di mana kamu bisa mendengar degup dada seseorang.
Jack membawa kita ke sebuah tempat yang nantinya kita sadari sebagai tempat tinggalnya. Kelak, setelah meninggalkan tempat itu kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing pada lorong dan suasana ketika Jack menunggu pintu untuk dibukakan. Tubuhnya makin hangat, degup dadanya makin cepat.
Suara pintu berderit.
“Di mana dia?” kata Jack. Kita tersembunyi dengan aman di balik jasnya.
“Sudah tidur. Pelankan suaramu. Dia ketiduran menunggumu,” balas seorang perempuan. “Dia kejang lagi tadi sore.”
“Kamu serius?”
Malam itu kita menginap di sebuah lemari. Besoknya, Jack memasukkan kita ke dalam sebuah kotak. Kita menunggu dalam gelap gulita, lama sekali. Kita mengisi waktu dengan berspekulasi atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kurasa kita akan dikirim dengan kapal,” bisikku.
“Ke Amerika?”
“Semoga.” Kita berdua selalu ingin ke sana, meniru Leona.
Pintu lemari berderit. Seseorang membawa kita. Kita menunggu. Jack dan perempuan di pintu bernyanyi lagu yang tidak pernah kita dengar. “Selamat ulang tahun, Mary,” bisik si perempuan setelah lagu usai. Kita bisa merasakan Jack meraih kita dan menyerahkan kita kepada seseorang.
Kertas kado dirobek. Tutup kotak dibuka. Wajah seorang gadis dengan cengiran lebar tampil di hadapan kita. Kita berada di sebuah ruangan sempit dengan meja di tengah-tengahnya, dengan sebuah kue bundar di tengah-tengah meja. Semenjak itu, kita resmi dimiliki seseorang.
Gadis kecil itu bernama Mary. Meski masih kanak-kanak, dia bisa mengajari kita melakukan banyak hal, seperti makan malam formal, minum teh atau kopi, berciuman, dan berpegangan tangan. Tetapi Mary tak pernah mengajak kita bicara. Di sela-sela suara sayup klakson mobil, senandung Jane—Ibu Mary—ketika memasak, benda jatuh, kicau burung dalam sangkar, hanya terdapat keheningan. Kehidupan Mary tampak seperti gambar berwarna, namun tanpa suara dalam buku-buku cerita miliknya. Tetapi itu bukan masalah. Bahasalah masalah. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan kata-kata.
Di awal kita mengenalnya, Mary pernah mencoba melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan sepatumu pastilah direkat dengan lem paling ajaib di dunia.
Jack menghampiri Mary. “Ada apa, Sayang? Ada apa dengan bonekamu?”
Mary menyodorkanmu.
“Kamu ingin melepas sepatunya? Sayang sekali, kita tak bisa melakukannya.”
Kita berdua hanya bisa terus menunggu. Kamu tampak sangat berharap. Jack malah kembali ke dapur. Kita menjadi sangat kesal. Kenapa dia pergi, bahkan tanpa mencoba? Kita kecewa melihat sikapnya. Kamu menangis sepanjang malam. Benda hitam itu terasa tak nyaman di kakimu. Padahal semua orang berhak atas sepatu yang nyaman. Aku sendiri tak bersepatu, namun tak terganggu dengan kenyataan itu. Kamu terus saja murung. Semenjak itu, aku dan Mary sama-sama mengerti bahwa pembicaraan mengenai sepatu adalah tabu.
Suatu malam Mary pergi. Kita melihat sosok berbaju putih dan bersayap menggandeng tangannya. Mereka meluncur ke atas, menembus langit-langit. Apakah orang itu menculik Mary? Entahlah, kita tidak yakin. Kita mulai menghitung. Satu, dua, tiga… Mary sudah tak kembali dalam seminggu. Anehnya, Jack tak pernah mencarinya. Dia justru menangis tak henti-henti. Aku makin kecewa dengan Jack. Setelah sepatu, kini Mary. Berhentilah menghindar. Hadapilah. Inilah hidup. Kita pun meneriaki Jack: Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak menghiraukan kita. Jack dan Jane hanya menangis, entah mengapa, dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?
Jack berubah. Kini dia sering pulang larut, dalam keadaan mabuk, dan akhirnya mengamuk. Dia akan menghancurkan barang-barang di meja. Gelas-gelas, piring-piring, botol bir yang dibawanya, adalah korban kemarahan Jack. Sementara Jane mengurung diri di kamarnya. Suatu kali dia melempar gelas, dan mengenai kita. Dia menghampiri kita lalu kembali menangis.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
“Mary, oh Mary, Papa telah melukai boneka kesayanganmu.”
Besok malamnya Jack membawa kita dan Jane ke sebuah restoran. Jalanan dipenuhi salju dan pendar lampu. Kita ingat Mary pernah mengajari kita makan malam dan tata caranya. Kita duduk tegak di antara Jack dan Jane, bersandar pada vas bunga.
“Jane, aku ingin membuat toko boneka.”
Jane berhenti mengunyah dan menatap Jack. “Toko boneka? Untuk apa?”
“Untuk Mary, Jane, untuk Mary….”
Jane hanya tersenyum dengan mata berair. Beberapa minggu kemudian kita pindah, ke kehidupan kita ini.
Di sini kita memiliki banyak teman. Beruang, anjing, juga kelinci gemuk. Jack menjejerkan kita semua di lemari. Tetapi kamu tak menemukan mereka yang sama sepertimu, begitu pun aku. Kamu menunggu dan terus menunggu. Aku telah seumur hidup menunggu. Kamu kesepian dan butuh teman yang sepadan. Setiap malam, ketika yang lain berpesta, kamu menyendiri di depan kaca raksasa, menatap bulan, sementara aku berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri.
Suatu hari seorang gadis dan perempuan yang kita kira adalah ibunya datang ke tempat ini. Dia membawa selebaran yang bergambar seseorang yang sepertimu!
“Maaf, gadis kecil, kami tidak menjual Barbie,” kata Jack, setelah melihat selebaran itu.
“Lalu apa itu,” kata ibu si gadis, menunjuk kepadamu. Aku bisa merasakan kamu terlonjak di tempatmu. Mungkin sudah waktunya kamu mendapatkan Mary lain. Entah mengapa aku mendadak merasa sedih.
“Itu beda, Madam. Namanya Lilli. Bild Lilli. Model lama. Mungkin Anda pernah dengar.”
“Tak masalah. Kami mau Lilli itu.”
“Itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Itu milik anak saya.”
“Lalu, mengapa ditaruh di lemari, kalau begitu? Berapa umur anak Anda sekarang?”
Kamu sangat bersemangat tetapi ternyata mereka tak membawamu hari itu. Tidak juga besok. Atau lusa. Kamu kembali sedih. Apa tidak ada yang menginginkanku, rintihmu, aku rindu Mary. Aku rindu Mary. Andai saja dia ada di sini.
Aku juga, pikirku. Andai saja dia ada di sini.
Kita berusaha melupakan kejadian itu dan melanjutkan hidup kita. Seiring waktu, Jack mulai sering menggunakan tongkat, kemudian berakhir setiap saat. Tetapi dia tidak lagi menari dan mengeluarkan merpati dari dalam topi. Dia hanya berjalan tertatih-tatih dari satu sisi ke sisi lain tempat ini, memegang sapu debu, membersihkan kita dan semua teman-teman kita. Rambutnya memutih, tubuhnya membungkuk. Jane mengunjunginya setiap rehat siang. Kadang mereka mengajak kita berdua makan bersama di ruangan belakang. Mereka makan sambil tertawa-tawa dan saling berkata, aku mencintaimu, sangat mencintaimu—kebiasaan yang akhirnya menular kepada kita.
Pada sebuah musim dingin, Jane mulai jarang membawakan makan siang dan akhirnya tak pernah terlihat lagi.
Hal itu membuatku sangat sedih. Kita ada di sana, menjadi penggemar rahasia Jack, merekam seluruh kehidupannya, tetapi sesungguhnya tak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Jane sudah kembali bersama dengan Mary,” bisikmu di telingaku, seolah tahu apa yang kupikirkan. Kata-katamu itu membuatku tenang.
Kini kita memiliki kehidupan yang lebih ceria dengan Jack. Dia tak pernah lupa mengunjungi tempat ini yang dia ubah namanya menjadi “Toko Mainan Mary & Jane”. Dia memindahkan kita ke hadapan kaca raksasa, seolah tahu keinginan kita. Kita melihat matahari terbit dan terbenam, orang-orang lalu lalang, juga bintang-bintang. Suara benturan tongkat Jack pada lantai memenuhi hidup kita. Dia bahkan mulai mengajak kita bicara.
“Sebentar lagi aku akan pergi, menyusul Jane dan Mary.”
“Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya ya.”
Kemudian Jack mencium masing-masing kita, untuk pertama kali. Dia tampak sangat bahagia. Pastilah dia baru saja mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Kita terharu. Semenjak itu setiap sore, tepat setelah Jack membereskan tempat ini dan pergi, kita mulai menunggunya datang kembali.
Selama ini, Jack tak memahami kita dan kita tak memahami dia. Tetapi di antara aku, kau, dan Jack, selalu ada “Kita”.
“Aku kasihan pada toko ini,” kata seorang lelaki sayup-sayup, suaranya masuk melalui sela-sela pintu. Malam ini, hanya terlihat tiga bintang.
“Kenapa?”
“Pemiliknya baru meninggal, pagi tadi.”
“Hah? Kamu serius?”
“Ya. Dalam tidur. Ditemukan tukang susu yang curiga.”
“Wah, kasihan….”
“Iya, kasihan….”
“Hei, coba lihat dua boneka di etalase.”
“Boneka Barbie dan babi itu?”
“Yep. Mereka seperti sedang menanti seseorang.” (*)
Norman Erikson Pasaribu
Kompas, 9 September 2012
Post a Comment