Helvry Sinaga




Saat Lebaran, banyak orang mensyukuri lengangnya jalanan Jakarta. Enak kalau begini terus. Tidak macet.

Seperti para majikan yang mensyukuri kelengangan Jakarta di satu pihak, sementara di lain pihak merindukan para pembantu segera balik, itulah sifat mendua kita. Tak mungkin kalangan profesional menikmati kemakmuran dan kemudahan, tanpa ditopang faktor penunjang, di antaranya urusan domestik yang sehari-hari diambil-alih para pembantu. Bentuk paling banal dari kepentingan praktis-pragmatis itulah dia: enaknya sendiri.

Dunia pasca-ideologi sejatinya memang cuma berisi kepentingan-kepentingan pragmatik. Sifat permukaan kepentingan ini mengaburkan kepentingan bersama yang lebih dalam, lebih luas. Tidak usah merasa ini sebagai serangan terhadap pribadi-pribadi. Lingkungan sosial kita sehari-hari mengisyaratkan bagaimana pragmatisme mengatasi segala-galanya sekarang.


Pemerintah mandul. Konon kebudayaan suatu bangsa tercermin pada lalu-lintasnya. Inikah chaos kebudayaan kita? Pemudik bergelimpangan di jalan, sebagian besar pengendara motor?

Terhadap televisi–media paling berpengaruh, sebaiknya Anda tidak melulu percaya pada apa yang Anda lihat. Yang ditampilkan televisi adalah ingar-bingar mudik dan komodifikasi segala hal. Euforia di jalan yang ditampilkan televisi mengaburkan tragedi di baliknya: bahwa hanya dalam beberapa hari ratusan orang mati di jalan.

Tak banyak yang peduli. Karena apa? Di situ ada iklan minyak pelumas, gardu-gardu iklan berkedok posko peristirahatan, minuman penambah stamina yang diminum dari petugas pintu tol sampai polisi, dan lain-lain.

Urusan iklan, dalam bisnis mutakhir media massa, mengalahkan segala-galanya. Kepentingan publik, akan selalu diduakan dengan kepentingan bisnis. Bahkan pada sejumlah media massa, terutama pada beberapa televisi, tak jarang kepentingan publik dimanipulasi untuk kepentingan rating. Tragedi dijadikan spekulasi politik. Nasib orang miskin diubah menjadi tontonan dengan si miskin dibuat meratapi nasib, seperti pada reality show sebuah stasiun.

Televisi memobilisasi masyarakat dalam kesadaran (dan ke-tidak-sadar-an) kolektif atas makna kenyataan. Yang tidak nyata menjadi nyata, yang nyata menjadi tidak nyata. Lalu, keputusan menjadi salah, karena tidak jelas, didasarkan atas apa.

Sifat umum manusia konon memang berupa keterbatasannya untuk mencerna sesuatu yang empirik, serta kemampuan membedakan jalinan yang kompleks antara motif yang didasarkan kesadaran dan bawah sadar. Manusia lebih mudah memfantasikan dan meletakkan tanggung jawab pada sesuatu yang tidak kelihatan, di antaranya nasib. Tak banyak manusia melakukan refleksi kritis terhadap hidupnya secara serius.

Dunia pragmatisme ini hampa, kosong. Berhamburannya orang ke mal di saat Lebaran bukan semata-mata dikarenakan pembantu tidak ada, seperti terjadi di Jakarta. Dari mal mewah di Jakarta sampai mal di daerah pinggiran dan kota-kota kecil–tanyalah pada semua orang–semua dibanjiri orang. Ke mal, merupakan gejala di semua kalangan, bukan semata-mata gejala kalangan atas yang mencari segalanya di mal karena ditinggal pembantu.

Kehidupan sehari-hari, terutama di kota besar, telah menjadikan orang tak mengenal lagi rumah sebagai sanctuary–tempat untuk ketenangan batin. Rumah adalah tempat transit bagi kegiatan rutin di luar yang tak kenal henti. Ketenangan, atau bahkan hubungan personal dalam rumah, menjadi meresahkan. Itulah sebagian dari sifat yang disebut ”the lonely crowd”. Ini bisa menghinggapi siapa saja, mau psikolog atau ahli jiwa sekali pun.

Tidak semua hal bisa dinalar secara pragmatik, Saudara-saudara. Di kota kecil saya di Jawa Tengah ada kuburan kuno dengan gerbang bertulis kata-kata bahasa Latin: memento mori. Artinya kurang lebih, ingat kefanaanmu.

Bre Redana
Kompas, 2 September 2012

1 Response
  1. Anonymous Says:

    Thanks


Post a Comment