Helvry Sinaga



Banjir di Cibaresah
Aba Mardjani
Gambar: Zusfa Roihan

Jika manusia memperlakukan alam dalam status yang sejajar sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, maka akan tercipta keseimbangan yang harmonis. Istilah alam sedang murka, atau alam tidak bersahabat, seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya alam juga makhluk yang dapat bersahabat. Banjir bukanlah datang begitu saja, tanpa sebab. Ia datang, karena keseimbangannya terganggu.


Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.


Sesaat kemudian, ia memaksakan diri bangkit, menyibak air banjir yang tak kunjung surut untuk berwudu. Ia ingat, belum mengerjakan shalat subuh.

Maksum bersedekap setelah menyelesaikan kewajiban paginya. Gubuk kecil berupa panggung yang kini ditempatinya masih dikepung air. Sejauh mata memandang, Maksum belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Orang-orang masih malas keluar rumah, pikirnya. Orang-orang lebih suka mengungkung diri di dalam rumah. Bercanda dengan anak dan bini. ”Sementara aku sendirian di sini,” Maksum melenguh dalam hati seraya meraba saku celana mencari bungkus rokoknya.

Tapi, dia tak lagi menemukannya. Ia menyerapahi Kasdul yang kini entah berada di mana. Kasdul, satu-satunya kawan yang setia menemaninya di pos jaga dipastikannya membawa beberapa batang rokok tersisa sebelum keduanya terlelap bersama kecipak air. Diingatnya Kasdul buru-buru pergi sebelum terdengar suara azan subuh. Meninggalkannya sendirian.

Matahari mulai menampakkan sinarnya bersama waktu yang beringsut siang begitu lambat dirasakan Maksum. Laki-laki itu menatap genangan air yang tak juga surut. Tingginya tetap selutut. Banjir ini datang perlahan-lahan bersama deras hujan entah berapa belas hari lalu. Meskipun hujan tak turun setiap hari, tinggi air setiap hari justru bertambah. Pada hari pertama cuma semata kaki. Keesokan harinya naik dua kali lipat. Hari-hari berikutnya, tanpa hujan pun air tetap tak surut. Bertambah dan bertambah hingga melewati lutut orang dewasa. Kini, Maksum tak ingat lagi sudah berapa belas hari Cibaresah direndam air.

”Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit,” Maksum menggumam. ”Orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air.”

Maksum berdiri. Meregang tubuh. Otot-ototnya terasa kaku karena tak banyak bergerak. Ia ingin setiap hari meninggalkan pos jaga itu dan pulang ke rumahnya seperti sebelum banjir datang. Tapi ia mengurungkan niat karena tahu takkan menemukan siapa-siapa lagi di sana. Istrinya yang usianya terpaut hampir 12 tahun darinya, raib entah ke mana. Ada yang bilang Raisah dibawa seekor buaya yang naik ke daratan pada hari ketiga banjir melanda Cibaresah. Lalu Sawiyah, putrinya yang baru berusia 15 tahun, juga mengalami hal yang sama seperti ibunya, dibawa buaya dua hari berikutnya. Maka lengkaplah derita Maksum. Ia pernah menangis untuk dua orang yang amat dicintainya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, nasib yang sama juga dialami laki-laki lain di desanya. Banyak wanita muda, para janda, dan gadis-gadis muda hilang entah ke mana. Kabarnya, pada malam hari, banyak buaya masuk kampung yang tengah dilanda banjir dan mencari korban perempuan. Dua anak perempuan dan istri Kasdul juga mengalami peristiwa yang sama. Dan seperti Maksum, Kasdul pun cuma bisa pasrah.

”Buaya-buaya itu seperti punya otak,” keluh Kasdul semalam ketika ia dan Maksum kembali berjaga berdua di pos jaga. ”Aneh, mereka cuma mengambil perempuan. Muda, cantik.”

Maksum tak bersuara. Larut dalam kenangan duka pada Raisah dan Sawiyah.

”Banjir inilah awal petakanya,” Kasdul menyeringai menahan geram.

Matahari makin naik ketika Maksum menyudahi olahraga ringannya di atas pos jaga. Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia juga belum melihat tanda-tanda kehidupan di desanya. Pintu-pintu rumah masih tetap terkatup rapat. Cibaresah jadi serupa desa mati tanpa penduduk dan penghuni. Atau apakah memang para penduduk Cibaresah semuanya telah mati? Lintasan pikiran itu membuat bulu kuduk Maksum tiba-tiba merinding seraya terus memutari pandangannya ke seluruh penjuru kampung. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali air yang deras mengalir ke hilir dengan ketinggian hampir setengah meter.

Maksum baru saja menyelesaikan shalat zuhurnya ketika dari kejauhan ia melihat Kasdul melangkah tertatih melawan arus air. ”Ah, ternyata Kas masih ada,” Maksum bergirang hati. ”Aku belum benar-benar sendirian."

Dengan serapahnya Kasdul naik ke atas panggung pos jaga. Tak lupa ia menyerahkan sebungkus nasi untuk makan siang Maksum seperti biasanya. ”Ke mana orang-orang, Kas?” Maksum langsung menyergap Kasdul dengan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi. ”Mengapa kampung kita jadi seperti kampung mati?” Pertanyaan itu entah sudah berapa kali diulangnya setiap hari.

Kasdul tak segera menjawab. Merebahkan tubuhnya seperti ingin melepas beban yang mengimpit. Ditariknya napas dalam-dalam.

”Kas?” Maksum memburu tanpa menghiraukan bungkus nasi yang dibawa Kasdul.

”Ternyata keadaannya makin gawat, Sum,” menjawab Kasdul sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya.

”Maksudmu?” Maksum mematri pandangan pada wajah Kasdul yang masih rebah.

Kasdul bangkit, melepas napas beratnya.

”Orang-orang makin tak berani keluar rumah, Sum,” suara Kasdul terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh derak-derak air yang terus berebutan mengalir ke hilir.

”Apa sebabnya?”

”Banjir.”

”Aku tahu.”

”Banjir yang berlama-lama ini menjadi petaka besar bagi kampung kita, Sum. Yang mengancam keselamatan warga saat ini bukan cuma buaya yang pada malam hari mencari mangsa para perempuan,” Kasdul berhenti sesaat. Maksum masih belum menyentuh makanannya. Ia lebih tertarik mendengar cerita Kasdul. Cerita yang tak selalu sampai ke telinganya karena ia lebih banyak berada di pos jaga di ujung kampung itu.

”Di pinggir-pinggir kampung, macan belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa,” Kasdul melanjutkan.

”Macan belang? Bukankah macan belang biasanya cuma ada di hutan-hutan?”

”Betul. Tapi entah mengapa, pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru keluar mencari mangsa ke kampung-kampung. Juga pada malam hari. Macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bahkan manusia pun disantapnya.”

”Di belakang macan belang, selalu mengintil serigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang,” Kasdul melanjutkan.

Maksum terperangah. ”Tapi, mengapa kita di sini tak pernah mendengarnya?”

Kasdul menghela napas. ”Itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang.”

”Betul begitu, Kas?”

”Masih ada yang lainnya. Yang tak kalah menakutkan.”

”Apa itu?”

”Ular.”

”Ular?”

”Ya ular. Mengerikannya, banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia menggigit, mematuk. Dan anehnya, orang yang digigitnya tidak langsung mati. Cuma badannya yang kurus kering.”

Maksum bergidik. Matanya nyalang menyisir sisi-sisi pos jaganya. Ia khawatir ular berkepala dua yang diceritakan Kasdul tiba-tiba muncul dan mematuk kakinya.

”Kamu serius, Kas?” Maksum penasaran.

”Serius! Bahkan bukan cuma itu, Sum.”

”Hah? Apa lagi, Kas?”

”Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada tomcat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah menggigit manusia.”

”Kupu-kupu?” Maksum ternganga. Benar-benar ternganga.

”Kupu-kupunya aneh pula, Sum.”

”Apa anehnya?”

”Yang digigit biasanya cuma laki-laki. Siapa pun yang digigitnya langsung hilang ingatan. Lupa diri. Gila. Tak ingat pulang. Pergi entah ke mana. Membiarkan anak dan istrinya di rumah.”

”Kamu bergurau, Kas,” Maksum menggumam.

”Tidak. Aku tidak sedang bercanda. Aku menceritakan yang sebenarnya.”

”Lalu apa lagi, Kas?”

Mata Kasdul menerawang jauh menembus hamparan putih langit.

”Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing. Semuanya mengancam kita orang-orang kampung ini.”

Maksum terdiam. Menunggu lanjutan cerita Kasdul.

”Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita. Begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang. Kecoa juga ada di mana-mana. Kotorannya bertebar di mana-mana. Dan cacing-cacingnya, Sum....”

”Mengapa cacing-cacing itu, Kas?”

”Cacing-cacing itu masuk ke dalam rumah warga begitu saja. Mereka bisa menembus dinding papan, dinding batu. Mulut-mulut cacing itu seperti punya bor.”

”Ah, kamu benar-benar bercanda, Kas,” Maksum memotong tanpa mampu mengurangi debar-debar ketakutan dalam dadanya.

”Masih ada lainnya lagi, Sum.”

Maksum menarik kain sarungnya seolah ingin melindungi dirinya dari serangan hewan-hewan yang barusan diceritakan Kasdul.

”Setan-setan,” kata Kasdul melanjutkan tanpa diminta. ”Pada malam hari, setan-setan gentayangan di kampung kita. Menakut-nakuti warga. Setan-setan itu seolah ingin kampung kita kosong. Mereka seolah ingin warga kampung kita pergi. Ke mana saja.”

”Tapi, kenapa aku baru tahu sekarang, Kas?”

”Itu karena kau selalu berada di sini. Kau cuma menjaga kampung kita yang sebenarnya tak perlu dijaga.”

”Apakah kau sudah tahu lama soal ini?”

Kasdul mengangguk.

”Tapi kenapa baru kau ceritakan sekarang?”

”Aku tak ingin kau ketakutan.”

”Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan diam saja?”

Kasdul terdiam sesaat.

”Kita harus bertindak, Kas, untuk menyelamatkan kampung kita,” suara Maksum mengusik lamunan Kasdul.

”Tidak bisa, Sum. Tidak bisa. Kita bisa ikut mati atau kurus kering seperti yang lain. Diri kita saat ini sama terancamnya dengan yang lain. Dari tengah desa, wabah akan terus menyebar hingga ke seluruh desa selama banjir tak juga surut.”

”Lalu kita akan diam saja?” suara Maksum meninggi. Ia seolah menemukan keberaniannya kembali.

Kasdul tak segera menjawab.

”Sore ini juga kita harus pergi ke rumah kepala desa, Kas. Harus! Kita harus minta pertanggungjawaban Pak Kades. Dia harus bisa membebaskan kampung kita dari banjir yang tak kunjung surut. Dan dari segala hewan yang mengancam warga,” Maksum nampak sangat bersemangat.

”Kau berani?”

”Demi kebaikan, kita harus berani. Kau dan aku harus melakukannya.”

Melihat Maksum yang begitu bersemangat, Kasdul menyerah. Di rembang petang, kedua penjaga pos itu pun melangkah hati-hati menembus banjir yang masih selutut. Tujuan mereka cuma satu, rumah kepala desa.

Sepanjang perjalanan, Maksum dan Kasdul sama sekali tak menemukan warga desa. Pintu-pintu rumah masih tetap tertutup. Kehidupan sudah lama berlalu di desa itu rupanya. Keduanya juga tak tahu lagi apakah rumah-rumah itu masih berpenghuni atau sudah kosong ditinggalkan pemiliknya. Anak-anak yang di awal banjir asyik bermain air, kini tak lagi nampak. Para lelaki yang awalnya tetap melakukan kegiatan, kini raib entah ke mana. Para wanita yang pada mulanya juga masih bisa ditemukan melangkah tertatih di tengah-tengah banjir, sekarang sama sekali tak terlihat.

Setelah melangkah susah payah hampir dua puluh menit, Maksum dan Kasdul tiba di halaman depan rumah kepala desa yang juga tak luput dari sergapan banjir. Keduanya menghentikan langkah dan tak berani lebih mendekat begitu mendengar suara aum macan belang.

Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing. Sesekali terdengar lolong anjing dan dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu beterbangan. Sebagian keluar masuk ke dalam rumah. Sesekali, berkelebat warna hitam setan-setan seolah mengancam siapa pun yang berani mendekati rumah itu.

Maksum dan Kasdul menahan gemetar.




Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment