Helvry Sinaga



Syafiq Basri Assegaff

Media sosial kini makin diperhitungkan. Ramainya perbincangan soal Komisi Pemberantasan Korupsi di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, berhasil menarik perhatian presiden, yang rupanya cepat menyadari bahwa makin banyak orang geram pada upaya yang dianggap akan melemahkan KPK.

Riuhnya kicau (tweet) di Twittersphere, misalnya, menunjukkan adanya kekompakan rakyat untuk membangun kekuatan bersama. Tak kalah seru dibandingkan aksi demo di jalan atau di depan Gedung KPK, di media sosial itu rakyat ”memberontak” menjadi pembela KPK.

Kicau pengguna Twitter di Indonesia, yang kini diperkirakan berjumlah 28 jutaan orang, saling bersambut. Ada kicau murni dari akun yang jelas. Ada pula tweet dari akun palsu yang mengatasnamakan Ketua KPK Abraham Samad. Dengan sekitar 28.000 pengikut (follower), akun @SamadAbraham terang-terangan menuduh Presiden SBY korup. Ternyata itu bohong. ”Tidak benar Ketua KPK pernah menyatakan menyerang Presiden. Ketua KPK tak punya Twitter,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.


Yang menarik, ada pula akun anonim yang sangat getol memprovokasi dan mengkritik keras lembaga KPK dan Abraham Samad. Akun itu milik TrioMacan2000, yang mengantongi sekitar 141.000 pengikut.

Popularitas TrioMacan2000 itu mungkin sekali karena ia terus-menerus melancarkan ”kuliah Twitter” soal korupsi, KPK, dan sebagainya sambil menuduh sederetan tokoh nasional terlibat mafia korupsi. Selasa, 9 Oktober 2012, ia juga mengkritik pidato Presiden pada malam sebelumnya.

Namun, banyak yang menganggap TrioMacan2000 pembohong. Sebuah akun dengan nama @kurawa menuding bahwa TrioMacan2000 dibayar sponsor tertentu. Sementara akun dengan nama @Foke_kumis mengatakan bahwa TrioMacan2000 adalah ”pemeras dan penyebar fitnah”.

Entah mana yang benar. Yang jelas, banyak akun di media sosial dengan ribuan pengikut berhasil muncul sebagai sebuah ”media” sendiri. Sayangnya, tak semua media bisa dipercaya dan menjunjung etika jurnalisme. Jumlah pengikut di media sosial memang sesuatu yang penting agar seseorang diperhitungkan orang lain. Di Twitter, misalnya, Anda butuh sekitar 20.000 pengikut sebelum orang ”melihat” Anda.

Untunglah di Indonesia kita punya beberapa tokoh antikorupsi dengan banyak pengikut. Contohnya adalah Anies Baswedan (dengan 148.000 pengikut), Fadjroel Rachman (115.000 pengikut), dan Teten Masduki (29.000 pengikut). Akun @KPK_RI sendiri pada Selasa lalu meraih sekitar 122.000 pengikut, melonjak dari dua hari sebelumnya yang 106.368 pengikut.

Namun, masalahnya tak semua follower di Twitter merupakan pengikut murni (genuine). Ada yang memperkirakan 80 juta (16 persen) dari 530 jutaan pengguna Twitter di dunia tak punya pengikut, tanpa teman, dan tak pernah ngetweet. Demikian pula halnya dengan keaslian akun. Sebagaimana ditulis The Observer (26/8), banyak akun Twitter yang diikuti follower yang tak eksis atau palsu. Akun Lady Gaga, misalnya, di Twitter memiliki 30 jutaan pengikut, padahal hanya 29 persen yang merupakan akun murni (good followers).

”Pass-along effect”

Meski pengikut Anda seluruhnya murni, akun Anda baru benar-benar efektif bila terjadi dialog antara Anda dan para pengikut itu. Sebab, lewat komunikasi secara interaktif (dua arah) dengan mereka itulah Anda bisa ”memanusiakan” sebuah akun di sharing media itu. Dialog juga penting untuk saling menjelaskan dan membuktikan bahwa Anda adalah ”seseorang” yang nyata, bertanggung jawab, dan bisa dipercaya.

Fungsi Twitter pun, sebagai salah satu jenis media sosial yang kian populer, sangat beragam. Ketika ramai Musim Semi Arab pada awal 2011, akun Twitter berhasil membantu para demonstran di Tunisia dan Mesir untuk menggerakkan massa secara cepat dan luas di seluruh negeri. Pengerahan massa antipenguasa itu jadi lebih mudah berhubung orang ”bisa tahu secara cepat” bahwa ada sekian ribu ”teman” lain yang punya kebencian sama terhadap sang diktator yang berkuasa—suatu hal yang sulit diperoleh beberapa tahun lampau.

Landasan manfaat media sosial itu tak lain adalah berkat adanya dampak pemberlanjutan (pass-along effect) sebuah berita atau pesan ke sesama pengguna yang saling terhubung satu sama lain (interconnected).

Sebagai ”pembuat” sekaligus ”pemakai” berita—dan bukan lagi sekadar ”pembaca” berita—kita kini bisa sekaligus menjadi bagian integral evolusi berita yang ada berkat cepat dan luasnya dampak pemberlanjutan berita itu. Dampak itu kian terasa karena kebanyakan pengikut di Twitter merupakan orang-orang yang antusias dan pembaca yang loyal.

Bila penggunanya adalah wartawan sebuah media, misalnya, akun mereka di jejaring sosial itu otomatis membantu media tempat mereka bekerja untuk melipatgandakan audiens di internet. Berkat kemudahan baru dalam bidang ”distribusi” produk berita —yang dulu hanya dikerjakan oleh tenaga pemasar—itu, sekarang ini media bisa meningkatkan nilainya di mata pembaca dan pemasang iklan.

Sebenarnya, sebelum ramainya pemanfaatan jejaring digital modern dalam revolusi Musim Semi Arab itu, model serupa telah terjadi pada zaman Reformasi di Jerman, sekitar 500 tahun lalu, saat Martin Luther dan kawan- kawannya menggunakan pamflet yang merupakan ”media baru” pada zaman itu. Artinya, sejak itu, sharing media telah berperan dalam mendukung benih-benih sebuah revolusi.

Namun, internet kini menawarkan sebuah perspektif baru bahwa faktor yang penting bukanlah pembuatan ”cetakan” itu sendiri (yang sudah digunakan sejak tahun 1450-an), melainkan luasnya sistem berbagi (sharing) yang diraih melalui jejaring sosial—yang kini kita namakan social media.

Lingkungan media yang ditunjukkan oleh penyebaran pamflet Luther itu mirip ekosistem online yang ada di blog, jejaring sosial dan topik diskusi (thread) zaman sekarang. Ia adalah sebuah sistem desentralisasi, di mana partisipan mengurus sendiri distribusi, dan secara kolektif memutuskan pesan mana yang akan disebarluaskan melalui sharing dan rekomendasi (atau tweet dan re- tweet di Twitter). Partisipan dalam sistem ini kita sebut sebagai networked public (jejaring publik) dan bukan lagi hanya audiens—sebab mereka tak sekadar jadi konsumen informasi belaka.

Berkat arus informasi yang deras dan mekanisme penyebaran sinyal secara kolektif itu, massa pengguna media sosial dapat menciptakan momentum untuk aksi selanjutnya, seperti menumbangkan diktator Tunisia dan Mesir atau memprotes upaya pelemahan KPK di Indonesia.

Namun, kita boleh yakin bahwa kekuatan kolektif rakyat yang dihimpun berkat pass-along effect dan distribusi gratis di media sosial itu hanya bisa efektif ketika pesan yang ada hanya disebarluaskan ke akun-akun asli. Sebab, mustahil Anda membangun jaringan, menciptakan kepercayaan, dan kekuatan bersama jika tidak dengan manusia yang nyata, yang punya ide dan cita-cita yang sama dengan Anda.

Syafiq Basri Assegaff Konsultan dan Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina
Kompas, 11 Oktober 2012



Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment