Jalan Panjang Sang Sastrawan MELODIA 50 X 70 CM Akrilik di atas kertas |
Tentang Sebuah Rumah
Perempuan itu masuk ke dalam ruang yang kosong dan berkata:
Mari kita mulai tinggal di sini.
Laki-laki itu menggeleng dan menjawab:
Ruang ini bahkan belum menjadi ruang. Ia hanya sesuatu yang
kosong.
*
Perempuan:
Mengapa kamu membangun dinding di sekeliling rumah kita?
Laki-laki:
Agar ia jadi sebuah rumah. Bukan dua buah.
*
Setelah dinding di sekeliling rumah berdiri, laki-laki itu merasa aman.
Di dalam, ia tak harus melihat kebenaran.
*
Perempuan:
Katakan sesuatu.
Laki-laki:
Aku tak punya apapun yang bisa kukatakan.
Perempuan:
Kamu bisa mengulangi apa yang pernah kamu katakan.
Dengan lebih sopan.
Laki-laki:
Dengan lebih sopan.
*
Laki-laki:
Aku akan menaruh kursi di dekat jendela agar aku tahu bila
hari telah malam.
Perempuan:
Aku akan menaruh malam di jendela agar aku tahu kapan
harus menaruh kursi.
*
Di ambang antara luar dan dalam, perempuan dan laki-laki itu berdiri,
menghindari tatapan satu sama lain. Cuma di ruang tak bernama itu,
mereka bisa tinggal bersama.
*
Di balik selimut, keduanya mematung.
Perempuan:
Aku ingin kita bersembunyi di sini dan berpelukan erat. Lalu
kita bisa menangis.
Laki-laki:
Kita tak pernah memilih hidup yang seperti itu.
*
Jam kukuk. Kursi goyang. Matahari musim hujan. Karpet tua. Suara burung hantu. Ruas-ruas jahe. Harum terpentin. Sungai kecil. Humus. Layang-layang putus. Gerimis. Tawa anak-anak.
Laki-laki itu menyingkirkan daftar panjang ”perabot”:
Rumah ini sudah sesak untuk kita berdua.
*
Setelah rumah itu ada teras, halaman, jalan setapak yang menembus belukar, dan kesepian.
*
Ia berdiri menempel ke dinding pagar dengan tangan laki-laki itu
menempel ke pipinya.
Laki-laki:
Kamu bisa merasakan tanganku?
Perempuan:
Ya.
Laki-laki:
Kamu tahu kalau ini aku?
Perempuan:
Tidak.
Laki-laki:
Sekarang kamu mengerti maksudku.
*
Hampir jam empat pagi dan keduanya masih terbangun. Ketika
terdengar suara truk di kejauhan, sekali lagi mereka tahu, mereka telah
jadi tamu.
*
Apakah kita telah melupakan sesuatu yang penting?
Keduanya berbaring, menatap langit-langit, mencoba mengingat siapa
yang telah bertanya.
September, 2012
Di Cafe
Di mejaku secangkir teh tersedu.
Teh itu sepanas matahari.
Aku mengenakan kacamata hitam untuk menahannya.
Seandainya di luar ada sebatang pohon peneduh,
tentu aku bisa pulang.
Oktober, 2012
Di Patio Itu
Patio itu punya segala hal yang dia butuhkan
untuk bisa hidup dengan baik:
oksigen, cahaya, dan sudut yang tepat
untuk menunggu.
Ingatan yang negatif telah dicetaknya
jadi lembar-lembar positif di pangkuannya.
Tatapan murung. Ekspresi bosan.
Tak ada yang akan percaya.
Katanya:
”Kita perlu latihan untuk bisa bersedih
dengan meyakinkan.”
Oktober, 2012
Seperti Biasa
Seperti biasa,
kita terdampar lagi
pada chorus terakhir sebuah karusel
dan satu malam sepia;
Tempat ini mungkin telah memilih
memorinya sendiri;
bulan di kubangan
dan deret bohlam kusam,
kuda-kuda kayu letih
dan rasa perih mimpi
yang mengelupas
dari tidur
musim panas.
”Yang hilang dari pagi
adalah mimpi kehilangan,”
tulismu, pada sebuah pesan pendek.
Barangkali kamu, aku,
belum bosan berotasi.
Poros ini memang pernah
melontarkan kita
ke dingin dinding batu
lorong-lorong medina
yang tertahan dalam
sepasang sepatu.
Dan kita tersesat
sambil berpelukan
di gumam doa
tengah malam.
Tapi pada cermin yang berkarat
cuma ada pantulan
dari sebuah
titik berangkat.
”Cinta,” katamu,
”lebih baik tidak diucapkan.
Atau dia akan
lenyap.”
Seperti biasa,
kita akan segera lupa
bahwa kita selalu pulang
pada luka
yang sama.
”Apakah pernah kukatakan
aku mencintaimu?”
00:32, 29 Desember 2011
Avianti Armand menulis karya sastra dan ulasan arsitektur. Buku puisinya, Perempuan yang Dihapus Namanya (2010), mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011.
Post a Comment