Lantangnya Si "Jangan Bicara"
Aryo Wisanggeni
Terlahir sebagai anak petani, putus sekolah pada usia 12 tahun, meraih Nobel Sastra pada usia 57. Hidupnya penuh kontroversi. Dikritik aktivis hak asasi manusia karena dianggap dekat dengan Partai Komunis China, Mo Yan yang artinya ’jangan bicara’ juga pernah dituding subversif karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.
”Seorang penulis haruslah menyampaikan kritik dan kegelisahannya atas sisi gelap masyarakat dan keburukan sifat manusia,” ujar Mo Yan saat berbicara pada Frankfurt Book Fair 2009. Pernyataan itu menggambarkan bagaimana dan seperti apa karya Mo.
Mo seperti muncul sebagai sebuah kejutan di tengah spekulasi siapa penerima Nobel Sastra 2012. Akademi Swedia, sebagai lembaga yang menyeleksi penerima Nobel Sastra, selalu merahasiakan siapa yang menjadi nomine pemenang. Itu sebabnya setiap perhelatan Nobel selalu memunculkan spekulasi, bahkan taruhan.
Mo Yan menjadi warga negara China pertama dan orang China kedua yang meraih Nobel Sastra. Sastrawan kelahiran China dan berkewarganegaraan Perancis, Gao Xingjian, meraih penghargaan yang sama pada 2000. Kisah hidup Mo memang berbeda dari pendahulunya itu.
Gao terlahir dalam sebuah keluarga pasangan bankir dan aktris amatir asal Ganzhou, China. Mo yang bernama lahir Goan Moye berasal dari keluarga petani miskin asal Gaomi, Provinsi Shandong, belahan timur laut daratan China. Begitu miskinnya hingga Goan kecil kerap harus memakan kulit pohon dan gulma demi bertahan hidup.
Kemiskinan pula yang membuat Goan kecil putus sekolah di tengah gejolak Revolusi Kebudayaan. Pada usia 12 tahun itu, ia mulai bekerja menjadi petani hingga akhirnya menjadi buruh pabrik. Pada 1976, saat ia berumur 21 tahun, Goan bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat. Ketika itulah ia mulai belajar sastra dan menulis.
Ia memakai nama pena yang tak lazim, Mo Yan, yang berarti ’jangan bicara’, tetapi ia tak pernah berhenti ”berbicara dengan menulis”. Pada 1981, ia mulai dikenal publik lewat cerita pendek pertamanya yang diterbitkan sebuah jurnal sastra. Setelah itu, Mo Yan seperti tak terhentikan.
Refleksi masa muda
Pada 1986, Mo Yan membuat gebrakan lewat novel Touming de hong luobo. Novel itu menjadi novel pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu Perancis, dengan judul Le radis de cristal (1993).
Seluruh pengalaman masa muda dan masa kecilnya di Provinsi Shandong sangat memengaruhi karya Mo. Itu, antara lain, terlihat dalam salah satu novel terpentingnya, Hong gaoliang jiazu yang dipublikasikan pada 1987 (versi Inggris Red Sorghum, 1993).
Buku berisi lima kisah yang saling menjalin cerita tentang dekade penuh guncangan pada dekade 1920- 1930 di Gaomi. Pada 1987, novel yang mengungkap budaya para bandit, pendudukan Jepang, dan kondisi petani miskin yang bertahan hidup itu diadaptasi menjadi film oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou.
Kritik dan ”keburukan sifat manusia” yang menapasi karya Mo pernah membuatnya menjadi tertuduh subversif. Gara-garanya, kritik tajamnya atas situasi masyarakat China kontemporer yang ia tulis dalam dua novelnya, Tiantang suantai zhi ge (1988, diterjemahkan dengan judul The Garlic Ballads pada 1995) dan Jiuguo (1992, diterjemahkan dengan judul The Republic of Wine pada 2000).
Ahli sastra China, Eric Abrahamsen, menyebut Mo Yan sebagai ”penulis besar” yang membuat ”cerita besar tentang China” dan menulis ”novel hebat tentang China”. ”Mo Yan selalu cerdik memutuskan apa yang bisa ditulis dan apa yang tidak bisa ditulisnya,” kata Abrahamsen.
Mo memang tak pernah bosan mengoplos humor satir membumbui tuturan tentang kehidupan keseharian warga China. Novel terakhir Mo Yan, Wa, yang ditulis pada 2009, (diterjemahkan dalam bahasa Perancis dengan judul Grenouilles) mengungkapkan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan kebijakan China yang hanya mengizinkan warganya memiliki satu anak.
Mo memang tetap hidup dalam kesederhanaannya sebagai orang Gaomi, sebagaimana dituturkan Sekretaris Tetap Akademi Swedia Peter Englund. ”Saya sudah menelepon dia. Dia menerima telepon saya saat berada di rumah. Ia tinggal bersama ayahnya di Gaomi. Tak banyak yang bisa kami bicarakan karena ia tak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa China, tetapi ia merasa sangat senang dengan hadiah Nobel Sastra,” tutur Englund.
Englund menyebut Mo sebagai penulis yang piawai menggabungkan fantasi dan realitas, sejarah dan perspektif sosial. Mo Yan telah menciptakan kompleksitas kisah yang mengingatkan kita pada karya William Faulkner dan Gabriel García Márquez, tetapi sekaligus kuat menghadirkan akar budaya Mo Yan, yaitu karya sastra tulis ataupun lisan tradisional China.
Media Pemerintah China menjuluki karya Mo Yan sebagai karya ”provokatif dan vulgar”. Namun, Pemerintah China sepertinya menyambut baik penghargaan Nobel Sastra bagi Mo Yan, kontras dengan reaksi Pemerintah China yang menyayangkan penghargaan Nobel Perdamaian 2010 bagi Liu Xiaobo yang sedang dipenjara ataupun Nobel Sastra 2000 bagi Gao yang berkewarganegaraan Perancis.
Para pengguna media sosial juga merayakan penghargaan Nobel Sastra bagi Mo. Namun, para aktivis hak asasi manusia mengkritik Mo Yan sebagai sastrawan yang terlalu dekat dengan Partai Komunis China. Seniman ternama China, Ai Weiwei, mempertanyakan penghargaan bagi penulis yang disebutnya ”dilekati noda pemerintah” itu.
Apa pun, Mo layak disebut sebagai penulis yang paling berpengaruh dalam sastra China dan menjadi salah satu sastrawan yang karyanya paling banyak diterjemahkan dalam bahasa asing. Sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak petani miskin dan putus sekolah yang lantang menuturkan kritik dan sisi buruk sifat manusia.(AFP/Reuters/AP/www.nobelprize.org)
Kompas, 12 Oktober 2012
Aryo Wisanggeni
Terlahir sebagai anak petani, putus sekolah pada usia 12 tahun, meraih Nobel Sastra pada usia 57. Hidupnya penuh kontroversi. Dikritik aktivis hak asasi manusia karena dianggap dekat dengan Partai Komunis China, Mo Yan yang artinya ’jangan bicara’ juga pernah dituding subversif karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.
”Seorang penulis haruslah menyampaikan kritik dan kegelisahannya atas sisi gelap masyarakat dan keburukan sifat manusia,” ujar Mo Yan saat berbicara pada Frankfurt Book Fair 2009. Pernyataan itu menggambarkan bagaimana dan seperti apa karya Mo.
Mo seperti muncul sebagai sebuah kejutan di tengah spekulasi siapa penerima Nobel Sastra 2012. Akademi Swedia, sebagai lembaga yang menyeleksi penerima Nobel Sastra, selalu merahasiakan siapa yang menjadi nomine pemenang. Itu sebabnya setiap perhelatan Nobel selalu memunculkan spekulasi, bahkan taruhan.
Mo Yan menjadi warga negara China pertama dan orang China kedua yang meraih Nobel Sastra. Sastrawan kelahiran China dan berkewarganegaraan Perancis, Gao Xingjian, meraih penghargaan yang sama pada 2000. Kisah hidup Mo memang berbeda dari pendahulunya itu.
Gao terlahir dalam sebuah keluarga pasangan bankir dan aktris amatir asal Ganzhou, China. Mo yang bernama lahir Goan Moye berasal dari keluarga petani miskin asal Gaomi, Provinsi Shandong, belahan timur laut daratan China. Begitu miskinnya hingga Goan kecil kerap harus memakan kulit pohon dan gulma demi bertahan hidup.
Kemiskinan pula yang membuat Goan kecil putus sekolah di tengah gejolak Revolusi Kebudayaan. Pada usia 12 tahun itu, ia mulai bekerja menjadi petani hingga akhirnya menjadi buruh pabrik. Pada 1976, saat ia berumur 21 tahun, Goan bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat. Ketika itulah ia mulai belajar sastra dan menulis.
Ia memakai nama pena yang tak lazim, Mo Yan, yang berarti ’jangan bicara’, tetapi ia tak pernah berhenti ”berbicara dengan menulis”. Pada 1981, ia mulai dikenal publik lewat cerita pendek pertamanya yang diterbitkan sebuah jurnal sastra. Setelah itu, Mo Yan seperti tak terhentikan.
Refleksi masa muda
Pada 1986, Mo Yan membuat gebrakan lewat novel Touming de hong luobo. Novel itu menjadi novel pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu Perancis, dengan judul Le radis de cristal (1993).
Seluruh pengalaman masa muda dan masa kecilnya di Provinsi Shandong sangat memengaruhi karya Mo. Itu, antara lain, terlihat dalam salah satu novel terpentingnya, Hong gaoliang jiazu yang dipublikasikan pada 1987 (versi Inggris Red Sorghum, 1993).
Buku berisi lima kisah yang saling menjalin cerita tentang dekade penuh guncangan pada dekade 1920- 1930 di Gaomi. Pada 1987, novel yang mengungkap budaya para bandit, pendudukan Jepang, dan kondisi petani miskin yang bertahan hidup itu diadaptasi menjadi film oleh sutradara kenamaan China, Zhang Yimou.
Kritik dan ”keburukan sifat manusia” yang menapasi karya Mo pernah membuatnya menjadi tertuduh subversif. Gara-garanya, kritik tajamnya atas situasi masyarakat China kontemporer yang ia tulis dalam dua novelnya, Tiantang suantai zhi ge (1988, diterjemahkan dengan judul The Garlic Ballads pada 1995) dan Jiuguo (1992, diterjemahkan dengan judul The Republic of Wine pada 2000).
Ahli sastra China, Eric Abrahamsen, menyebut Mo Yan sebagai ”penulis besar” yang membuat ”cerita besar tentang China” dan menulis ”novel hebat tentang China”. ”Mo Yan selalu cerdik memutuskan apa yang bisa ditulis dan apa yang tidak bisa ditulisnya,” kata Abrahamsen.
Mo memang tak pernah bosan mengoplos humor satir membumbui tuturan tentang kehidupan keseharian warga China. Novel terakhir Mo Yan, Wa, yang ditulis pada 2009, (diterjemahkan dalam bahasa Perancis dengan judul Grenouilles) mengungkapkan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan kebijakan China yang hanya mengizinkan warganya memiliki satu anak.
Mo memang tetap hidup dalam kesederhanaannya sebagai orang Gaomi, sebagaimana dituturkan Sekretaris Tetap Akademi Swedia Peter Englund. ”Saya sudah menelepon dia. Dia menerima telepon saya saat berada di rumah. Ia tinggal bersama ayahnya di Gaomi. Tak banyak yang bisa kami bicarakan karena ia tak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa China, tetapi ia merasa sangat senang dengan hadiah Nobel Sastra,” tutur Englund.
Englund menyebut Mo sebagai penulis yang piawai menggabungkan fantasi dan realitas, sejarah dan perspektif sosial. Mo Yan telah menciptakan kompleksitas kisah yang mengingatkan kita pada karya William Faulkner dan Gabriel García Márquez, tetapi sekaligus kuat menghadirkan akar budaya Mo Yan, yaitu karya sastra tulis ataupun lisan tradisional China.
Media Pemerintah China menjuluki karya Mo Yan sebagai karya ”provokatif dan vulgar”. Namun, Pemerintah China sepertinya menyambut baik penghargaan Nobel Sastra bagi Mo Yan, kontras dengan reaksi Pemerintah China yang menyayangkan penghargaan Nobel Perdamaian 2010 bagi Liu Xiaobo yang sedang dipenjara ataupun Nobel Sastra 2000 bagi Gao yang berkewarganegaraan Perancis.
Para pengguna media sosial juga merayakan penghargaan Nobel Sastra bagi Mo. Namun, para aktivis hak asasi manusia mengkritik Mo Yan sebagai sastrawan yang terlalu dekat dengan Partai Komunis China. Seniman ternama China, Ai Weiwei, mempertanyakan penghargaan bagi penulis yang disebutnya ”dilekati noda pemerintah” itu.
Apa pun, Mo layak disebut sebagai penulis yang paling berpengaruh dalam sastra China dan menjadi salah satu sastrawan yang karyanya paling banyak diterjemahkan dalam bahasa asing. Sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak petani miskin dan putus sekolah yang lantang menuturkan kritik dan sisi buruk sifat manusia.(AFP/Reuters/AP/www.nobelprize.org)
Kompas, 12 Oktober 2012
Post a Comment