Helvry Sinaga

Mendorong Renaisans Perkeretaapian Indonesia

Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian kita.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
”Idealnya, kapasitas operasional angkutan massal kereta api kita, 20 persen untuk angkutan barang. Bayangkan, saat ini hanya 1 persen saja. Ini bukti ketidakmampuan membangun sinergi perkeretaapian sebagai usaha bersama demi kepentingan bersama,” kata Taufik, di Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/4).
Banyak keuntungan diraih, jika mengoptimalkan kereta api untuk angkutan barang. Beban jalan raya terkurangi, polusi udara makin sedikit, dan pergerakan ekonomi kian efisien. Pada akhirnya, daya saing produk dan usaha meningkat.
Tak satu pun negara maju yang mengabaikan sistem transportasi kereta api untuk distribusi barang dari hasil produksi.
”Semua potensi kekuatan nasional harus dikerahkan. Tidak ada kata lain selain harus bersinergi untuk renaisans perkeretaapian kita,” ujarnya.
Taufik menulis satu artikel, ”Tragedi Perkeretaapian Kita” dalam bukunya, Jalan Panjang Menuju Kebangkitan Perkeretaapian Indonesia (tahun 2009). Diceritakan, terinspirasi keberhasilan Inggris mengoperasikan kereta api di tanah jajahan India pada tahun 1853, Belanda berhasil menyusul 14 tahun kemudian pada 1867, dengan mulai mengoperasikan kereta api di wilayah jajahannya di Hindia Belanda (Indonesia sekarang).
Operasi perkeretaapian kita menjadi nomor dua di Asia, setelah India. Dengan 11 operator perusahaan swasta dan satu perusahaan milik pemerintah Belanda, kereta api pada masa itu mampu menunjukkan kejayaannya. Tercatat hingga 1939, panjang rel di Jawa mencapai 5.473 kilometer, dan di Sumatera mencapai 1.990 km.
Banyak di antara bekas stasiun ujung yang dibangun Belanda itu menandakan bukan sebagai stasiun akhir. Ketika itu, jalur kereta dimanfaatkan untuk mempercepat pengangkutan komoditas dari pedalaman ke pelabuhan ekspor.
Kita kerap memandang usaha Belanda waktu itu sebagai pengurasan kekayaan. Itu benar. Tetapi, penting pula mencermati pengalaman masa lalu itu dengan jernih. Belanda mampu menunjukkan potensi kemakmuran Indonesia bagi dunia dengan produk tropis. Dan, kereta api menjadi sarana sangat penting untuk mewujudkannya.
Kepemimpinan tangguh dan konsisten dalam penyelenggaraan perkeretaapian, menurut Taufik, menjadi kunci keberhasilan Belanda waktu itu. Kondisi itu berubah setelah kemerdekaan. Banyak ketidakkonsistenan. Coba lihat, badan penyelenggara perkeretaapian kita silih berganti nama. Dimulai dengan nama Djawatan Kereta Api (DKA), Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), PT Kereta Api (PT KA), sampai terakhir kali sejak 2010 berganti nama menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Selama 70 tahun kita merdeka, tujuh kali penyelenggara perkeretaapian kita berganti nama.

Kereta rel listrik
Pada 1994, Taufik mendapat tugas mempelajari alih teknologi kereta rel listrik. ”Saya dikirim ke Belanda untuk itu,” katanya.
Pada Oktober hingga November 1994, Taufik mengikuti pelatihan ”Kontrol Elektronik untuk Kereta Rel Listrik” di Belanda. Pelatihan ini dilanjutkan pada Maret hingga Mei 1995, juga di Belanda.
Pada Juni 1997, Taufik ditugaskan lagi untuk membuat studi perbandingan tentang industri perkeretaapian dan layanan publik dengan kereta rel listrik di beberapa kota di Perancis, yaitu Paris, Lions, dan Bordeaux. Pada periode 1996 hingga 1999, dia juga terlibat dalam kegiatan ilmiah alih teknologi dan manufaktur kereta rel listrik dalam kerangka kerja sama antara Departemen Perhubungan waktu itu, PT Industri Kereta Api (INKA), PT LEN Industri, PT Pindad, Perumka, lembaga Holec dari Belanda, dan Bombardier dari Belgia.
Pada periode hampir bersamaan, antara 1996-1998, Taufik memimpin Proyek Rekayasa dan Produksi Kontrol Panel AC Kereta Api dalam kerangka kerja sama PT LEN Industri dengan PT Dharma Niaga (Persero) dan lembaga Stone dari Inggris. Di tahun-tahun berikutnya, Taufik terjun mendampingi perusahaan operator perkeretaapian.
Semua pengalaman itu mendorong Taufik konsisten sebagai peneliti dan ilmuwan di bidang perkeretaapian sampai sekarang.
”Pada tahun 1999 ada pilihan untuk tetap di PT LEN Industri atau beralih sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di bawah institusi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya memilih masuk menjadi PNS di LIPI sampai sekarang,” kata Taufik.
Kegiatan Taufik akhirnya banyak berinteraksi langsung dengan operator perkeretaapian untuk berbagai urusan teknis maupun soal kebijakan publik. Dia turut membawa profil usaha perkeretaapian kita ke berbagai negara untuk benchmarking atau mencari acuan, seperti di India berturut-turut pada 2008, 2009, dan 2010. Hal serupa dilakukan di Tiongkok pada 2012.
Taufik aktif menulis berbagai laporan teknis ilmiah masalah perkeretaapian. Dia meluangkan waktu menjadi salah satu redaktur di Majalah KA (majalah khusus perkeretaapian) sejak 2014 sampai sekarang. Dia juga akfif sebagai narasumber di berbagai seminar perkeretaapian.
Beberapa karya tulisnya diterbitkan, seperti mengenai evaluasi perbaikan pada modifikasi lokomotif kereta diesel-elektrik untuk jurnal ilmiah, Journal of Mechatronics, Electrical Power, and Vehicular Technology (2013). Ada juga buku-bukunya tentang pemikiran kritisnya untuk mengembangkan perkeretaapian. Pada 2004, ia menerbitkan buku Perkeretaapian Indonesia di Persimpangan Jalan.
Bagi Taufik, saat ini Indonesia memiliki modal berharga untuk renaisans, yakni membangkitkan kembali kejayaan perkeretaapian.
 
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 16 dengan judul "Mendorong Renaisans Perkeretaapian Indonesia".

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment