Helvry Sinaga

Sejarah Kereta Api dalam Selembar Peta

Berbekal pendidikan teknik geodesi atau ilmu pemetaan bumi, Artanto Rizky Cahyono (37) berhasil meringkas sejarah panjang jalur perkeretaapian Indonesia dalam selembar peta. Melalui peta itu, pegiat komunitas Indonesian Railway Preservation Society itu mewujudkan kecintaannya pada perkeretaapian yang tumbuh sejak kecil ketika tinggal di dekat Stasiun Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
”Yang membuat saya tertarik perkeretaapian, karena sejak kecil saya sering diajak ayah melihat-lihat lalu lalang kereta api di Stasiun Maos. Ayah juga sering mengajak saya naik kereta api dari Maos ke Yogyakarta, biasanya untuk menengok kakak-kakak saya yang indekos dan studi di Yogyakarta,” kata Rizky di Jakarta, Senin (30/3).
Peta sejarah jalur kereta api di Indonesia karya Rizky dibagi menjadi dua, meliputi Peta Jalur Kereta Api di Jawa dan Madura serta Peta Jalur Kereta Api di Sumatera. Berbeda dari peta lainnya, peta-peta berukuran panjang 96 sentimeter dan lebar 67 sentimeter itu memuat legenda yang cukup lengkap.
KOMPASSeorang pecinta kereta api, Artanto Rizky Cahyono (37), membuat dan meringkas sejarah perkeretaapian kita menjadi selembar peta yang menarik.
Pada Peta Jalur Kereta Api di Jawa dan Madura, kronologi pembangunan perkeretaapian diintisarikan sejak tahun 1840 sampai 2010 ketika ada pengubahan nama PT Kereta Api (Persero) menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero). Disebutkan, pada tahun 1840, Kolonel Van der Wijks mengusulkan kepada Kerajaan Belanda agar dibangun kereta api di Hindia Belanda karena masalah keamanan dan ekonomi yang cukup mendesak.
Rizky mencantumkan sembilan rujukan untuk pembuatan peta-peta tersebut. Salah satunya, buku Spoorwegstations op Java (1993) karya Michiel van Ballegoijen de Jong.
”Dengan peta ini sudah lebih dari cukup untuk memahami perjalanan sejarah pembangunan jalur kereta api kita,” kata Rizky.
Peta dibuat selama enam sampai tujuh bulan pada tahun 2012. Pada peringatan ulang tahun PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero), penyerahan peta disampaikan kepada Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan.
”Hampir di semua stasiun di daerah, peta itu sekarang terpajang. Hanya saja sebagian besar stasiun kereta api komuter di Jakarta tidak memajangnya,” ujar Rizky.


Lokomotif uap D52
Rizky menempuh kuliah di Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1996-2001. Setelah lulus kuliah, pemuda itu bekerja untuk perusahaan konsultan pemetaan di Jakarta hingga tahun 2007. Sejak 2007 hingga sekarang dia bekerja di perusahaan produsen bubur kertas dan kertas.
Ayah Rizky adalah seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap. Ia anak bungsu dari empat bersaudara. Di antara saudaranya, hanya dia yang tertarik pada kereta api.
”Kereta api sangat menarik. Saya sangat senang melihat bentuk-bentuk lokomotif dengan gerbong bervariasi, seperti gerbong untuk mengangkut semen, pasir kuarsa, atau pupuk, yang memiliki bentuk khas masing-masing,” kata Rizky.
Pada tahun 2004 pemuda itu bergabung dengan komunitas pencinta kereta api, Indonesian Railway Preservation Society di Jakarta. ”Di komunitas itu kami saling tukar informasi tentang kereta api,” ujarnya.
Jenis lokomotif yang paling disukai Rizky sejak kecil sampai sekarang adalah jenis lokomotif uap D52. Seingat dia, lokomotif uap itu masih bisa dijumpai terakhir kali sekitar tahun 1990 di Stasiun Maos.
Lokomotif uap D20 sebagai lokomotif uap paling modern pada masanya dipesan pada era pasca kemerdekaan tahun 1951. Rizky mencantumkan keterangan pada legenda petanya. Disebutkan, tahun 1951 lokomotif uap modern tiba dari pabrik Krupp (Jerman) dan dipesan 100 unit.
Lokomotif uap D52 andal untuk jalur landai dengan kecepatan maksimum 90 kilometer per jam. Pada masanya, lokomotif dengan kecepatan maksimum seperti itu termasuk yang paling cepat. Sebanyak 100 lokomotif uap D52 lalu tersebar di beberapa stasiun, meliputi Stasiun Jatinegara, Cirebon, Banjar, Kutoarjo, Yogyakarta, Madiun, Sidotopo, dan Kertapati.


Saling terhubung
Ketika mencermati peta jalur kereta api di Jawa, hampir semua jaringan relnya sudah saling terhubung. Hanya jalur-jalur rel yang ada di bagian selatan Jawa masih terputus.
”Sampai sekarang belum pernah ditemukan dokumen milik Belanda yang menyatakan rencana jalur-jalur rel kereta api di bagian selatan Jawa itu nantinya juga akan saling terhubung,” kata Rizky.
Dalam legenda peta, dia mencantumkan 19 maskapai atau perusahaan perkeretaapian, termasuk satu perusahaan milik pemerintah, Staats Spoorwegen, yang mengoperasikan layanan angkutan kereta api di Jawa dan Madura. Tahun 1939 total panjang rel di Jawa dan Madura mencapai 5.473 kilometer.
Tahun 1939, jaringan rel di Sumatera sepanjang 1.990 kilometer, yang dikelola empat perusahaan swasta. Itu berarti pada tahun 1939 jaringan rel di Jawa-Madura dan Sumatera mencapai 7.563 kilometer.
Pada tahun 1942 terjadi peralihan penguasaan wilayah Hindia Belanda akibat pecah Perang Dunia II. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih. Demi kepentingan ekspansi Jepang ke wilayah Burma dan Thailand, sesuai catatan buku Jan de Bruin berjudul Het Indische Spoor in Oorlogstijd (2003), 46 petak jalur rel kereta api di Indonesia dipereteli pada 1942-1944. Panjang total rel yang dicopot Jepang mencapai 743 kilometer sehingga panjang rel tersisa tinggal 6.820 kilometer.
Operasi kereta api dari waktu ke waktu terus menurun. Berdasarkan data terbaru tahun 2010, panjang rel kereta api yang aktif hanya tinggal 4.678 kilometer.
”Dari peta grafikal ini kita banyak belajar, seperti dari banyaknya perusahaan yang menjadi operator kereta api pada waktu itu. Jalur kereta api saat itu menjadi terus bertambah,” kata Rizky.
Namun, kini kita hanya memiliki satu perusahaan operator kereta api, yakni PT KAI. Panjang jalur rel kereta api pun jauh berkurang. Penambahan jalur ganda menambah sekitar 300 kilometer, tetapi tetap tidak ada pembukaan jalur baru.
”Sebetulnya, sejak kecil saya bercita-cita menjadi ahli konstruksi yang akan membangun jalur-jalur rel kereta api di Indonesia. Sewaktu masih kecil, saya pernah memikirkan, mengapa rel kereta api dengan bantalan kayu itu tak pernah melengkung ketika harus menopang lokomotif yang sangat berat,” katanya.
Usaha Rizky ini sederhana, tetapi cukup mengena tatkala wajah publik kita kian membutakan diri terhadap sejarah dan maknanya.
 
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2015, di halaman 16 dengan judul "Sejarah Kereta Api dalam Selembar Peta".

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment