Helvry Sinaga

Pengajaran Sejarah



Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.

Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas, 25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai kepribadian bangsa diperlukan.


Mengincar kaum muda
Mereka yang bergabung dengan NIIS adalah kalangan muda. Di samping itu, politisi koruptor juga tak sedikit dari generasi muda. Ada muatan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa melenggangmasuk buku sekolah. Buku Kurikulum 2013 mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas X dan XI terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditarik Mendikbud Anies Baswedan dari peredaran karena memuat ajaran radikal. Di buku kelas Xdimuat narasi mengenai konflik Rohingya di Myanmar dengan sudut pandang menyerang umat agama tertentu. Di buku kelas XI, ada kalimat bahwa orang tertentu boleh dibunuh. Berbeda sekali dengan pelajaran agama di masa saya sekolah dulu yang menekankan kedamaian dan moral individu. Sebaiknya semua buku pelajaran sekolah yang terkait pendidikan kepribadian dan karakter siswa yang tengah beredar di Tanah Air diperiksa ulang.
Liberalisasi pendidikan, berupa beroperasinya sekolah internasional/asing yang menerima warga Indonesiasebagai siswa dengan kurikulum internasional, menjadikan kesempatan membangun kepribadian sebagai orang Indonesia menjadi terbatas. Berbagai dinamika dari given condition Indonesia sebagai bangsa majemuk, negara yang kaya sumber daya alam, tetapi sumber daya manusianya tertinggal yang selalu mendapat tarikan-tarikan kepentingan global, sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang besar dan beragam, perlu dihadapi dengan kepribadian yang kuat dari setiap individu warga bangsa, agar tidak ada lagi bentrokan berlatar suku, agama, dan ras, berkembangnya etnosentrisme dan primordialisme sempit serta meningkatnya fanatisme golongan yangmemerosotkan sikap pluralisme yang inklusifdantoleransi serta agar meningkat kemampuan masyarakat menyelesaikan berbagai friksi yang ada secara santun.

Seperti John W Gardner dan para pemimpin kita terdahulu, saya pun meyakini diperlukan cara yang efektif untuk membangun integritas dan kepribadian bangsa. Pada Orde Lama diupayakan melalui indoktrinasi dengan materi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Manifesto Politik, dan Kebudayaan Indonesia.Pendekatan ini tidak efektif mewarnai perikehidupan rakyat sehari-hari karena sifatnya yang indoktrinatif. Di era Orde Baru melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Juga kurang efektif membentuk kepribadian bangsa karena menjadi syarat kenaikan pangkat/jabatan dan akhirnya menjadi hafalan dengan 36 butir pengamalan Pancasila.

Amerika Serikat mengandalkan pengajaran sejarah di sekolah sampai perguruan tinggi untuk menyosialisasikan nilai-nilai utama negara itu yang disebutkan dalam Declaration of Independence, liberalisme, freedom of thought (kebebasan berpikir), demokrasi, serta perjalanan sosial, politik, budaya, ekonomi, hankam negara bangsanya. Ketokohan orang-orang besar, George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Franklin Delano Roosevelt, dan Dwight D Eisenhower, disampaikan dalam pelajaran sejarah tentang sikap-sikap luhurnya dan karya-karya besarnya yangmenjadi legacy ketika memimpin bangsanya. Bahkan hal yang tampak sederhana, disampaikan menjadi sesuatu yang ideologis, seperti pada tengah malam 18 April 1778, Paul Revere menunggang kuda keliling pelosok New England, mengabarkan bahwa pasukan Inggris mulai menyerang dan perang kemerdekaan Amerika dimulai. Peristiwa itu dicatat di kesadaran rakyat Amerika sebagai kemenangan pertama perang melawan kolonialisme dalam sejarah dunia.
Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Tiongkok, dan Jepang, negara-negara yang maju itu, juga menerapkan pola serupa melalui pelajaran sejarah di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai utama masyarakat mereka masing-masing, bahkan di Jerman sejak taman kanak-kanak berupa dongeng sampai pendalaman di pascasarjana. Penyajiannya tak menekankan siswa untuk menghafal peristiwa, tanggal, dan tempat kejadian. Tetapi, substansi dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa dan penonjolan nilai-nilai luhurnya.

Uraian sejarah itu juga membela tindakan politik dan menghargai tokoh-tokoh masa lalu yang bagi orang di luar negara itu dianggap kontroversial. Perancis menggambarkan Napoleon Bonaparte sebagai pahlawan pembangun semangat kebangsaan Perancis, walaupundicerca olehbangsa-bangsa Eropa sebagai ekspansionis. Bahkan Hitler yang dicaci maki dunia, walau diuraikan sisi negatifnya yang sauvinisme,tetap dihargai dalam buku pelajaran sejarah siswa sekolah dasar sampai pascasarjana Jerman sebagai Fuhrer yang paling banyak membangun jalan raya di Jerman, dengan ucapannya ”ekonomi mengikuti jalan raya”. Konrad Adenauer adalah Kanselir Jermanyang dikenang karena upayanya yang luar biasa menghijaukan kota di seluruh Jerman dengan membangun hutan-hutan kecil.
Pelajaran sejarah itu mengandung dimensi pendidikan ideologi, politik, moral, dan etika. Hal itu efektif, karena ideologi adalah endapan dari nilai-nilai utama sejarah yang kemudian mengkristal mewujud menjadi jalan hidup suatubangsa.

Pelajaran sejarah memang amat efektif membentuk karakter suatu bangsa. Sejarah adalah sumber sah mewujudnya ideologi suatu negara dan bangsa. Kita telah memilikinya, yaitu sejarah panjang negara besar ini, melewati kurun waktu sangat lama dengan peristiwa besar, kaya dengan tokoh yang memiliki kandungan pelajaran akan teladan serta nilai-nilai luhur, yang akan memperkuat kepribadian kita sebagai bangsa, guna membekali bangsa ini bertransformasi menjadi negara bangsa yang besar, maju, modern yang tetap berciri Indonesia. Selama ini, kita hanya kurang piawai mengekspos sejarah besar Indonesia untuk bisa menginspirasi jalannya bangsa ini. Pelajaran sejarah memang tak boleh kering dan dingin. Materinya harus menarik dan mengangkat nilai-nilai luhur yang akan menjadi nilai-nilai utama kehidupan bangsa ini. Bangsa yang tak mampu menghayati dan memetik pelajaran dari sejarah masa lalunya, akan dihukum di perjalanan sejarah berikutnya dengan mengalami kembali kepahitan masa lalunya.

Revitalisasi pendidikan
Pelajaran sejarah untuk siswa-siswa kita lebih merupakan hafalan tanggal dan tahun serta lokasi suatu peristiwa. Siswa SD hafal bahwa di abad ke-8 dan 9 dinasti Syailendra dengan arsiteknya Gunadharma membangun Candi Borobudur. Tetapi, tidak diberi tahu bahwa bangunan megah itu dibangun dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat maju untuk masanya serta relief-relief berisi filsafat Buddha yang dikembangkan ke kondisi lokal,ketika Eropa masih terbelakang. Siswa SMP hafal bahwa Fatahillah menyerbu Sunda Kelapatahun 1526; Sultan Hasanuddin menyerang benteng Belanda di Makassar tahun 1667, dan Perang Diponegoro 1825-1830. Tetapi, tak ada ucapan atau inti pikiran mereka yang bisa diingat para siswa,sementara siswa high school di AS hafal ucapan John F Kennedy: ”Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country”, suatu ungkapan yang membangunkan kesediaan pemuda-pemuda AS berkorban untuk negaranya.
Siswa SD tahu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sepatutnyalah mereka juga tahu bahwa Indonesia adalah negara pertama di dunia yang merdeka setelah berakhirnya Perang Dunia II dan 10 November 1945 di Surabaya adalah perang mempertahankan kemerdekaan; dan kita menang menghadapi Belanda yang akan kembali menjajah kita yang didukung oleh Sekutu yang baru saja memenangi Perang Dunia II. Peristiwa itu telah memberi inspirasi pada perjuangan kemerdekaan banyak negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, untuk membebaskan dirinya dari penjajahan.
Siswa SMA tahu Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, tetapi tidak mengaitkannya dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahwa tekad satu nusa adalah daratan dan lautan di antara pulau-pulau kita. Banyak buku sejarah menyebut tahun penumpasan pemberontakan PRRI, Permesta, RMS, G30S/PKI, DI/TII dan lain-lain yang didukung oleh negara adidaya, tetapi tidak mengingatkan bagaimana kepentingan asing selalu mengintai kita. Banyak orang ingat bahwa negara kita mengalami periode Demokrasi Terpimpin dan periode Orde Baru, tetapi buku sejarah tak meninjaunya sebagai suatu kontinuitas dalam mengembangkan konsepsi Negara Kesatuan RI.

Siswa SMA tahu bahwaKonferensi Asia Afrika diselenggarakan pada 19-24 April 1955. Mereka juga perlu tahu tentang Dasasila Bandung yang semangatnya adalah prinsip-prinsip dari konstitusi kita bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan; yang menggambarkan konsisten dan persistennya Indonesia. KAA juga diselenggarakan ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memerintah kurang dari 2,5 tahun dengan pemerintahan yang jatuh bangun rata-rata setiap 1,5 tahun akibat intrik-intrik politik, namun Indonesia tetap menjadi pemimpin dunia baru karena yang diintrik dan yang mengintrik sama-sama idealis untuk memajukan negara, tetapi dengan konsep berbeda, bukan intrik untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi.

Revitalisasi pendidikan kepribadian bangsa melalui pendidikan politik kebangsaan yang komprehensif perlu segera dilakukan melalui pelajaran sejarah di sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, termasuk untuk siswa warga Indonesia di sekolah internasional. Sebaiknya, para ahli komunikasi dilibatkan dalam membuat buku pelajaran sejarah, membantu para sejarawan menajamkan ulasan/mengekspos makna yang lebih dalam dari suatu peristiwa sejarah, mengangkat bentuk-bentuk kearifan, moral, integritas, way of thinking, way of life, berbagai legacy tokoh-tokoh yang ada dan nilai-nilai luhur kehidupan para tokoh sejarah bangsa kita. Hal-hal itulah yang akan mewarnai kepribadian, cara berpikir, dan ideologi kita sebagai suatu bangsa. Semoga.

Siswono Yudo Husodo, Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila
Labels: , | edit post
0 Responses

Post a Comment