Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Dalam hal debat sastra atau seni budaya secara umum, Polemik Kebudayaan yang terjadi tahun 1930-an adalah jelas karena peran majalah Poedjangga Baroe, dilanjutkan media cetak lainnya termasuk majalah Horison beberapa dekade kemudian. Perdebatan sastra kontekstual, sastra pedalaman, dan lain-lain lewat media pernah menjadi bagian penting dalam perkembangan sastra kita.
Kini, situasinya sudah berubah, yang menurut Bre, selain karena perubahan peradaban juga karena keraguannya akan tidak adanya topik yang ”layak diperdebatkan”. Persoalannya memang bisa jadi hubungan antara penulis dan media seperti telur dengan ayam. Apakah benar tidak ada topik yang diperdebatkan atau media tidak lagi mau membuka diri untuk hal-hal yang ”serius” demi hal-hal yang ”enteng-enteng”?
Terlepas dari itu, sebetulnya media masih tetap memainkan peranannya untuk menyemai gagasan atau pemikiran dunia kesastraaan kita. Ini terjadi karena media memiliki prinsip kerja yang mengutamakan ”aktualitas”. Meski media sudah berada dalam Milenium Ketiga, prinsip kerja ”aktualitas”. Tulisan Bre sendiri adalah contoh bagaimana aktualitas menjadi landasan penting bagi Bre (pekerja media sekaligus penulis sastra) untuk membahas masalah peran media dalam kehidupan sastra dan kritik.
Bre memuat tulisannya sebagai respons atas topik ASEAN Literary Festival yang digelar di Jakarta 15-22 Maret. Ini berarti, sepanjang pemangku yang berkepentingan dalam sastra mau dan mampu menciptakan event sastra, entah festival, lomba, dan diskusi sastra, media akan tetap membuka diri atas nama aktualitas untuk mengabarkan atau membahas tentang sastra. Dalam dinamika seperti itu, fenomena tancep kayon tak akan terjadi untuk masa panjang, tetapi hanya jeda untuk tandang kayon sesuai gema aktualitas-aktualitas lain.
Di luar media cetak
Tulisan Bre terfokus pada peran media cetak, padahal sastra dengan berbagai bentuk, frekuensi, dan kadar apresiasinya berbeda dari satu tempat ke tempat lain juga terjadi dalam media elektronik seperti televisi dan radio. Seperti halnya media cetak, industri radio dan televisi juga terimbas globalisasi ganas, buktinya kedua media ini sering dirasanin sebagai saluran masuknya pengaruh asing yang dapat merusak peradaban lokal masyarakat. Sementara arus globalisasi tidak bisa diabaikan, pada saat yang sama, radio dan televisi juga menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk mengangkat budaya lokal sehingga globalisasi dan glokalisasi juga terjadi.
Banyak fakta di daerah yang menunjukkan bagaimana masyarakat dengan jeli memanfaatkan radio untuk mempromosikan seni sastra lokal. Dalam penelitiannya di Riau, Suryadi (2005) menunjukkan radio-radio di daerah itu membuka program seni sastra daerah secara interaktif, seperti pembacaan pantun, syair, dan dongeng Melayu. Dalam acara tersebut, pendengar aktif tidak saja mendengarkan pantun lama, tetapi juga menciptakan pantun dan syair baru.
Yang lebih menarik, menurut Suryadi, pencinta sastra interaktif itu yang sehari-hari berbahasa Indonesia, dalam acara di radio menggunakan bahasa daerah. Karena ini acara hiburan, mungkin perdebatan dalam pengertian tukar pikiran secara tajam atau serius seperti dibayangkan terjadi dalam diskusi atau polemik di koran tidak terjadi, tetapi program-program dan partisipasi publik bisa dibaca sebagai langkah masyarakat untuk menyelamatkan warisan budayanya dan menggunakan itu sebagai dasar identitas. Bukankah kadar peneguhan identitas tidak kalah hebatnya dari perdebatan aneka topik modern dan tradisi seperti terjadi dalam Polemik Kebudayaan?
Hal yang sama juga terjadi di Bali. Sejak awal 1990-an, dalam masamenyingsingnya fajar kebebasan berekspresi yang dibawa gerakan reformasi, radio pemerintah dan swasta di Pulau Dewata menggelar acara interaktif untuk menembangkan kidung macapatan. Acara yang kini populer dengan sebutan gita santi atau kidung interaktif berlangsung ramai di lusinan radio dan dua saluran TV di Bali. Sampai tahun 2010, acara kidung interaktif bisa dikatakan telah berusia tiga dekade, sebuah waktu yang panjang untuk masa hidup acara yang bersifat nge-pop.
Seperti halnya di Riau yang melantunkan pantun dan syair, di Bali peserta acara radio dan TV menembangkan tembang sinom, ginanti, semarandana, dan sejenisnya secara interaktif. Dalam kegiatan dengan model mabebasan (melantunkan tembang diikuti ulasan baris demi baris), peserta tidak saja melantunkan geguritan (puisi lama) yang sudah ada seperti ”Sampek Ing Tae” dan ”Diah Tantri”, tetapi juga menciptakan komposisi bertema baru seperti geguritan narkoba, geguritan pilpres, gita reformasi, dan seterusnya. Acara ini menggunakan media bahasa Bali dan seperti halnya di Riau, juga menjadi arena bagi masyarakat untuk meneguhkan kebaliannya.
Kalau dulu banyak warga masyarakat yang malu menembangkan puisi lama, tetapi kini orang merasa malu sebagai orang Bali kalau tidak bisa menembangkan sebait geguritan. Seiringdengan populernya acara gita santi, anak-anak sekolah juga banggamempelajari seni sastra tradisionalnya. Lomba-lomba antar-sekolah atauantar-desa menjadi arena bagimereka untuk mencapai prestasi lewat sastra.
Perkembangan program seni sastra daerah di radio-radio pemerintah, swasta, dan komunitas kabarnya juga terjadi di daerah lain di Indonesia seperti di Yogya dan Bandung. Walau sebagai media yang tidak lepas dari usaha untuk memenuhi kepentingan selera masyarakat yang bersifat sesaat dan permukaan, radio juga terbukti sebagai media yang mendukung kehidupan apresiasi sastra.
Apa yang dipertanyakan Bre apakah peran media dalam pengembangansastra dan kritik akan tancep kayon, jawabannya ”tidak” karena medialain menunjukkan peranannya dalam gemuruh apresiasi sastra daerahseperti yang terjadi di Bali, Riau, dan mungkin di sudut lain Nusantara ini. Pendek kata, sastra survive alias bertahan hidup dalam perubahan perangai media.
I Nyoman Darma Putra, Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2015, di halaman 27 dengan judul "Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media".
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Dalam hal debat sastra atau seni budaya secara umum, Polemik Kebudayaan yang terjadi tahun 1930-an adalah jelas karena peran majalah Poedjangga Baroe, dilanjutkan media cetak lainnya termasuk majalah Horison beberapa dekade kemudian. Perdebatan sastra kontekstual, sastra pedalaman, dan lain-lain lewat media pernah menjadi bagian penting dalam perkembangan sastra kita.
Kini, situasinya sudah berubah, yang menurut Bre, selain karena perubahan peradaban juga karena keraguannya akan tidak adanya topik yang ”layak diperdebatkan”. Persoalannya memang bisa jadi hubungan antara penulis dan media seperti telur dengan ayam. Apakah benar tidak ada topik yang diperdebatkan atau media tidak lagi mau membuka diri untuk hal-hal yang ”serius” demi hal-hal yang ”enteng-enteng”?
Terlepas dari itu, sebetulnya media masih tetap memainkan peranannya untuk menyemai gagasan atau pemikiran dunia kesastraaan kita. Ini terjadi karena media memiliki prinsip kerja yang mengutamakan ”aktualitas”. Meski media sudah berada dalam Milenium Ketiga, prinsip kerja ”aktualitas”. Tulisan Bre sendiri adalah contoh bagaimana aktualitas menjadi landasan penting bagi Bre (pekerja media sekaligus penulis sastra) untuk membahas masalah peran media dalam kehidupan sastra dan kritik.
Bre memuat tulisannya sebagai respons atas topik ASEAN Literary Festival yang digelar di Jakarta 15-22 Maret. Ini berarti, sepanjang pemangku yang berkepentingan dalam sastra mau dan mampu menciptakan event sastra, entah festival, lomba, dan diskusi sastra, media akan tetap membuka diri atas nama aktualitas untuk mengabarkan atau membahas tentang sastra. Dalam dinamika seperti itu, fenomena tancep kayon tak akan terjadi untuk masa panjang, tetapi hanya jeda untuk tandang kayon sesuai gema aktualitas-aktualitas lain.
Di luar media cetak
Tulisan Bre terfokus pada peran media cetak, padahal sastra dengan berbagai bentuk, frekuensi, dan kadar apresiasinya berbeda dari satu tempat ke tempat lain juga terjadi dalam media elektronik seperti televisi dan radio. Seperti halnya media cetak, industri radio dan televisi juga terimbas globalisasi ganas, buktinya kedua media ini sering dirasanin sebagai saluran masuknya pengaruh asing yang dapat merusak peradaban lokal masyarakat. Sementara arus globalisasi tidak bisa diabaikan, pada saat yang sama, radio dan televisi juga menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk mengangkat budaya lokal sehingga globalisasi dan glokalisasi juga terjadi.
Banyak fakta di daerah yang menunjukkan bagaimana masyarakat dengan jeli memanfaatkan radio untuk mempromosikan seni sastra lokal. Dalam penelitiannya di Riau, Suryadi (2005) menunjukkan radio-radio di daerah itu membuka program seni sastra daerah secara interaktif, seperti pembacaan pantun, syair, dan dongeng Melayu. Dalam acara tersebut, pendengar aktif tidak saja mendengarkan pantun lama, tetapi juga menciptakan pantun dan syair baru.
Yang lebih menarik, menurut Suryadi, pencinta sastra interaktif itu yang sehari-hari berbahasa Indonesia, dalam acara di radio menggunakan bahasa daerah. Karena ini acara hiburan, mungkin perdebatan dalam pengertian tukar pikiran secara tajam atau serius seperti dibayangkan terjadi dalam diskusi atau polemik di koran tidak terjadi, tetapi program-program dan partisipasi publik bisa dibaca sebagai langkah masyarakat untuk menyelamatkan warisan budayanya dan menggunakan itu sebagai dasar identitas. Bukankah kadar peneguhan identitas tidak kalah hebatnya dari perdebatan aneka topik modern dan tradisi seperti terjadi dalam Polemik Kebudayaan?
Hal yang sama juga terjadi di Bali. Sejak awal 1990-an, dalam masamenyingsingnya fajar kebebasan berekspresi yang dibawa gerakan reformasi, radio pemerintah dan swasta di Pulau Dewata menggelar acara interaktif untuk menembangkan kidung macapatan. Acara yang kini populer dengan sebutan gita santi atau kidung interaktif berlangsung ramai di lusinan radio dan dua saluran TV di Bali. Sampai tahun 2010, acara kidung interaktif bisa dikatakan telah berusia tiga dekade, sebuah waktu yang panjang untuk masa hidup acara yang bersifat nge-pop.
Seperti halnya di Riau yang melantunkan pantun dan syair, di Bali peserta acara radio dan TV menembangkan tembang sinom, ginanti, semarandana, dan sejenisnya secara interaktif. Dalam kegiatan dengan model mabebasan (melantunkan tembang diikuti ulasan baris demi baris), peserta tidak saja melantunkan geguritan (puisi lama) yang sudah ada seperti ”Sampek Ing Tae” dan ”Diah Tantri”, tetapi juga menciptakan komposisi bertema baru seperti geguritan narkoba, geguritan pilpres, gita reformasi, dan seterusnya. Acara ini menggunakan media bahasa Bali dan seperti halnya di Riau, juga menjadi arena bagi masyarakat untuk meneguhkan kebaliannya.
Kalau dulu banyak warga masyarakat yang malu menembangkan puisi lama, tetapi kini orang merasa malu sebagai orang Bali kalau tidak bisa menembangkan sebait geguritan. Seiringdengan populernya acara gita santi, anak-anak sekolah juga banggamempelajari seni sastra tradisionalnya. Lomba-lomba antar-sekolah atauantar-desa menjadi arena bagimereka untuk mencapai prestasi lewat sastra.
Perkembangan program seni sastra daerah di radio-radio pemerintah, swasta, dan komunitas kabarnya juga terjadi di daerah lain di Indonesia seperti di Yogya dan Bandung. Walau sebagai media yang tidak lepas dari usaha untuk memenuhi kepentingan selera masyarakat yang bersifat sesaat dan permukaan, radio juga terbukti sebagai media yang mendukung kehidupan apresiasi sastra.
Apa yang dipertanyakan Bre apakah peran media dalam pengembangansastra dan kritik akan tancep kayon, jawabannya ”tidak” karena medialain menunjukkan peranannya dalam gemuruh apresiasi sastra daerahseperti yang terjadi di Bali, Riau, dan mungkin di sudut lain Nusantara ini. Pendek kata, sastra survive alias bertahan hidup dalam perubahan perangai media.
I Nyoman Darma Putra, Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2015, di halaman 27 dengan judul "Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media".
Post a Comment