Muhsin Kalida
Menggagas Gerakan Literasi
Ester Lince Napitupulu
Membangun gerakan literasi untuk
menumbuhkan minat baca sekaligus memberdayakan masyarakat sesungguhnya
bisa dimulai dari hal sederhana. Muhsin Kalida (45), dosen di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memulainya dengan
mengajak masyarakat Dusun Nologaten, Caturtunggal, Depok, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyulap tempat pembuangan sampah di
sekitar permukiman warga jadi perpustakaan masyarakat dengan konsep
bangunan pos ronda.
Meskipun awalnya tidak mudah mengubah kebiasaan warga membuang sampah
sembarangan di Sungai Gajahwong yang tidak jauh dari rumah Muhsin, pada
2003 akhirnya bisa dibangun perpustakaan. Lokasinya, disatukan dengan
pos ronda. Perpustakaan yang berisi buku koleksi Muhsin ini, dikenal
dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar.Kehadiran TBM Cakruk Pintar mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang awalnya tak banyak bersentuhan dengan buku, jadi mulai suka membaca.
Ibu rumah tangga yang sering berkumpul untuk menghabiskan waktu dengan merumpi, lama-lama mulai tertarik membaca buku. Apalagi di Cakruk Pintar tersedia buku-buku keterampilan yang mereka butuhkan, seperti buku masakan. Adapun para pria yang saat tugas ronda sibuk main kartu/gaplek, juga bisa mengisi waktu membaca buku-buku soal memelihara ikan.
Anak-anak yang di sekolah hanya kenal buku pelajaran, saat datang ke Cakruk Pintar puas memilih bacaan mulai dari komik hingga novel. Kegiatan seusai pulang sekolah yang biasanya dihabiskan dengan bermain, kini anak-anak punya pilihan untuk main ke Cakruk Pintar sambil membaca buku. Bahkan, anak-anak remaja sering berkumpul di malam minggu untuk mengikuti pelatihan menulis atau nonton film bersama.
Sejak dua tahun belakangan, koleksi buku yang tadinya ditaruh di pos dipindahkan ke halaman rumah Muhsin. Hal ini untuk memudahkan pengawasan. Namun, keleluasaan warga untuk mengakses buku selama 24 jam tidak berubah. Sebab, rak-rak berisi buku ditaruh di teras dengan halaman yang tidak berpagar. Warga yang hendak membaca buku di TBM, bisa langsung melayani diri sendiri. Demikian pula bagi yang hendak meminjam buku untuk dibawa pulang ke rumah, tinggal mencatat di buku peminjaman.
Menurut Muhsin, dirinya yang pindah ke Nologaten pada tahun 2001, ingin berbuat sesuatu ketika mengetahui lingkungan sekitar yang jorok dengan adanya tempat penampungan sampah sementara ilegal. Air lindinya mencemari sungai yang jernih.
Sebagai pendatang, Muhsin hanya bisa menyampaikan ide untuk bersama masyarakat setempat, menyulap dusun kumuh jadi lahan pendidikan dengan mendirikan perpustakaan.
Namun, ide itu tak begitu saja disambut dengan baik oleh warga setempat. ”Saya bukan melarang orang buang sampah di sana. Namun, dengan buat plang yang ditulis bahwa di sini akan dibangun perpustakaan, saya berharap warga bisa sadar. Dari tahun 2001, baru tahun 2003 bisa terwujud,” tutur Muhsin yang juga menjabat Ketua Forum TBM Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Kalau cerita soal keluhan, saya jadi teringat sesuatu yang enggak enak, jadi terasa sedih. Saya mau cerita yang enak-enak saja soal TBM Cakruk Pintar. Ketika saya ditolak, lokasi bangunan dilempari oleh warga yang tidak suka, saya menikmati saja tantangan itu,” ujar Muhsin.
Muhsin menyadari betul bahwa ajakan untuk mengubah pola pikir warga tentang lingkungannya pasti tidak mudah. Namun, dengan niat baik untuk membangun perpustakaan masyarakat, sekaligus mengembangkan program pemberdayaan, pada akhirnya berbuah manis. Kini, dukungan terhadap TBM Cakruk Pintar mengalir kuat.
Apalagi TBM Cakruk Pintar sering mendapat kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat di dalam dan luar negeri. Perpustakaan ini pun juga jadi tempat belajar yang terbuka bagi siswa maupun mahasiswa di sekitar Yogyakarta maupun yang hendak membangun perpustakaan komunitas.
Hasilnya, pada 2010, TBM Cakruk Pintar mendapat anugerah TBM Kreatif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya TBM ini juga dikunjungi peserta Jambore 1.000 Pendidik dan Tenaga Kependidikan–Pendidikan Non Formal pada 2009.
Tridaya
Gerakan literasi yang digaungkan Muhsin yang cinta membaca ini, tak
berhenti ketika masyarakat sudah mulai suka membaca. Dia ingin lebih
jauh lagi bergerak dengan memberdayakan masyarakat. Ilmu yang didapat
dari buku-buku yang dibaca warga mampu membekali mereka untuk melangkah
maju.Dengan mengusung semangat tiga pemberdayaan, alias tridaya, kehidupan masyarakat memang bergerak maju. Pemberdayaan ekonomi yang diusung TBM Cakruk Pintar, membuat sejumlah warga di kampung ini punya kegiatan usaha kecil untuk meningkatkan penghasilan keluarga.
Di bawah koordinasi istri Muhsin, perempuan warga dusun bisa mengembangkan usaha katering bersama. Program kewirausahaan TBM Cakruk Pintar berhasil melahirkan 40 pedagang pecel lele yang tersebar di banyak tempat. Di lokasi TBM Cakruk Pintar juga ada angkringan yang dikelola sukarelawan.
Pengembangan kewirausahaan ini diperkuat lewat kegiatan zikir entrepreneurship. Pada kesempatan ini, dijadikan ajang untuk silaturahim dan berdoa bersama bagi keberhasilan usaha yang dikembangkan warga.
Tridaya yang berkaitan dengan lingkungan sudah terbukti dengan berhentinya kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai. Lingkungan jadi asri, air sungai yang jernih bisa dimanfaatkan untuk membangun kolam ikan yang memberikan pendapatan bagi warga. Ada 15 kolam ikan yang dikelola warga dengan dukungan TBM Cakruk Pintar.
Tridaya yang ketiga yakni peningkatan sumber daya manusia. TBM Cakruk Pintar punya beragam aktivitas yang menyenangkan dan memberdayakan. Ada program kepemimpinan, bengkel menulis, penerbitan, dan beragam aktivitas kreatif lainnya yang menyasar siswa, guru, maupun masyarakat umum.
Muhsin juga menggagas wisata literasi ke Malaysia yang diikuti pegiat TBM dari berbagai daerah. Jaringan Mushin yang baik dengan Perpustakaan Nasional di Malaysia dimanfaatkan untuk belajar mengembangkan perpustakaan berbasis komunitas.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2015, di halaman 16 dengan judul "Menggagas Gerakan Literasi".
Post a Comment