ISBN: 978-979-024-073-5
Halaman: 236Bookpaper
Ukuran: 13 x 20,5 cm
Terbit: November 2010
Penerbit: Serambi
Pengarang: Tahar Ben Jeloun
Korupsi bukan istilah baru bagi kita. Di belahan dunia manapun tidak bebbas dari korupsi. Hanya tingkat nya tinggi, sedang, ringan, atau bebas korupsi. Buku ini seolah cerminan negara kita, sama-sama negara berkembang, sama sama bekas jajahan negara Eropa. Tapi ada yang berbeda. Mereka dipimpin oleh raja yang pintar. Sebelum kita mengenal tokoh-tokoh maupun cerita dalam buku ini, mari kita intip sekilas data-data tentang Maroko.
Hari Kemerdekaan : 2 Maret 1956 (dari Perancis)
Sistem Hukum : berdasarkan Hukum Islam dan Perancis dan
Sistem hukum sipil Spanyol.
Kepala Negara : King Mohammed VI (Sejak 30 Juli 1999)
Kepala Pemerintahan : Perdana Menteri Abbas El Fassi (Sejak 19 September 2007)
Maroko terletak di utara Afrika, masih terdapat sengketa daerah Sahara Barat dimana antara Maroko dan Sahrawi Arab Democratic Republic (yang berkantor di Algeria) masih belum sepakat mengenai status wilayah itu. sementara itu, menurut situs www.cia.gov, Maroko merupakan point transit penjualan kokain yang berasal dari Amerika Selatan yang ditujukan ke Eropa Barat.
Kembali ke buku ini, menceritakan seorang pegawai negeri yang bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum Maroko. Namanya Murad. Posisinya cukup berpengaruh, ia menjabat sebagai Wakil Direktur Perencanaan dan Pembinaan. Ia cukup terdidik. Ia memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Mohamed V di Rabat, serta gelar insiyur dari sekolah di Perancis.
Jabatannya sangat penting dan diincar orang. Ia mempelajari berkas proyek dan jika ia menyetujui, ia akan memberi paraf. Tanpa parafnya, tak ada izin membangun. Pilihan hidupnya untuk tidak menerima amplop atau sejenisnya dari pihak rekanan, ternyata memiliki konsekuensi yang besar. Gajinya yang kecil, ia alokasikan untuk membiayai hidup bersama istri dan kedua anaknya. Tak cukup dengan gajinya, ia pun berutang dengan pemilik warung. Istrinya, Hilma, terus memprotes Murad. Bahkan Hilma mengina Murad dengan mengatakan bahwa Murad bukanlah laki-laki sejati.
Sebenarnya dengan latar belakang Murad yang berpendidikan sarjana ekonomi dan insinyur, merupakan nilai tambah untuk pilihan hidup yang lebih baik. Ia sebenarnya dapat menjadi Akuntan di perusahaan besar. Namun, mungkin Ben Jelloun ingin tampaknya memberi nuansa pada cerita ini dimana mencari pekerjaan tanpa melibatkan orang dalam adalah sesuatu hal yang hampir mustahil. Murad pun 'terjebak' dengan pilihannya sebagai pegawai negeri. Keluarga baru terbentuk. Anak-anak bertambah besar, kebutuhan keluarga meningkat seiring dengan deret hitung, sementara pertambahan gaji mengikuti deret ukur.
Konflik besar terjadi. Antara Hilma dan Murad sudah tak terjalin lagi cinta. Yang muncul dalam rumah tangga mereka lebih sering pertengkaran. Dan parahnya, Hilma menyerang Murad dengan kata-kata, yang lebih tepat penghinaan, "kamu seperti bapakmu!" (Hlm 54). Bagi Murad, harga dirinya sebagai laki-laki betul-betul pada titik nadir. Konflik rumah tangga ini menarik bila kita kaitkan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Shaunti Feldhan (dalam For Women only, 2004), yang menyimpulkan: banyak lelaki akan lebih memilih untuk tidak dicintai, daripada tidak dihormati. Berkebalikan dengan perempuan, justru dalam benak perempuan rasa dihormati bukanlah sesuatu yang terlalu penting jika dibandingkan dengan rasa dicintai dan diperhatikan.
Apa yang dialami oleh keluarga Murad, saya yakin banyak terjadi juga di Indonesia. Jika kita bertanya, mengapa ada korupsi? tersedia banyak jawaban. Saya kutip dari buku "Korupsi Mengorupsi Indonesia" (2010) tulisan "Memahami Korupsi" sebagai berikut.
Menurut Arvin K Jain, "Corruption: A Review", Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol.15 No.1, 2001. Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu:
1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut,
2) Adanya economics rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan
3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan.
terlepas dari aspek di atas, masih banyak penyebabnya. Entah karena harga diri atau karena membandingkan diri dengan kehidupan rekan sejawat yang hidupnya berkelimpahan harta. Maka tak heran, kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Orang-orang seperti senior maupun rekan kerjanya turut berkontribusi membuat Gayus ikut "meniru" perilaku tersebut.
Apa langkah yang selanjutnya yang diambil oleh Murad adalah membiarkan dirinya pada pilihan-pilihan yang dilema itu. Antara menerima dan tidak amplop yang disisipkan di berkas, meninggalkan Hilma serta berpaling kepada Nadia, sepupunya, atau pergi meninggalkan semuanya? Mungkin sisi karakter laki-laki inilah yang hendak ditonjolkan oleh Ben Jelloun. Betul bahwa buku ini adalah semacam tribute pada Pramoedya Ananta Toer yang juga menerbitkan buku serupa, namun konflik tokoh di dalamnya jauh menurut saya lebih menarik didalami daripada korupsinya itu sendiri. Sebab korupsi sendiri adalah deviasi dari kemurnian, kejujuran, keadilan dan ketulusan manusia.
Ada sebuah disertasi yang membahas karakter laki-laki dan perempuan pada novel yang berjudul asli "L'Homme rompu" ini. Namun sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan softcopynya. Judul lengkapnya adalah Male-female relations in Tahar Ben Jelloun's "L'Homme rompu" and "La Nuit de l'erreur" oleh Shonu Nangia, Wayne State University.
Sosok Ben Jelloun juga masih baru bagi saya. Masih ada novel karangan beliau yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya pernah lihat covernya di web, tapi susah menemukannya kembali. Menurut saya, karya Ben Jelloun ini layak mendapat perhatian, mungkin karya beliau yang lain perlu juga dibawa ke Indonesia agar kita pun tahu cerita di dunia sana, seperti pada penutup kata pengantarnya: Cerita yang sepintas sama tetapi sesungguhnya berbeda ini, baik secara lokal maupun universal, adalah hal yang mendekatkan kami. Ya, kami, para pengarang dari Selatan, meskipun wilayah Selatan ini berada di timur jauh.
Ben Jelloun lahir di Maroko pada 1944. "Ibu saya buta huruf Ayah tahu cara membaca tapi. adalah seorang penjaga toko. Kami memiliki kehidupan yang sangat sederhana, tanpa musik atau buku, kecuali Al Qur'an." katanya.
Ia belajar filsafat di universitas Rabat, dan, setelah dibebaskan dari kamp militer di Ahermemon tahun 1968, ia mengajar selama tiga tahun di sekolah di Tetuan dan Casablanca, sebelum pemerintah memutuskan bahwa filsafat dapat diajarkan hanya dalam bahasa Arab klasik. Pada tahun yang sama, 1971, souffle jurnal sastra, yang ia tulis, dilarang, dan ia berangkat ke Perancis.
Di Paris dia meraih gelar doktor dalam psikiatri sosial, meneliti impotensi seksual di kalangan migran Afrika utara di rumah sakit. "Saya bukan dokter, taorang kepercayaan, "kata dia. "Luka-luka migrasi memukul saya di wajah:.. laki-laki yang hancur secara psikologis. aku pikir, seksualitas naluriah atau alami, tapi itu sangat terkait dengan perlindungan dalam dan konteks budaya." (sumber: http://www.guardian.co.uk/books/2006/may/06/featuresreviews.guardianreview27)
@hws27012011