Helvry Sinaga
Saat Lebaran, banyak orang mensyukuri lengangnya jalanan Jakarta. Enak kalau begini terus. Tidak macet.
Seperti para majikan yang mensyukuri kelengangan Jakarta di satu pihak, sementara di lain pihak merindukan para pembantu segera balik, itulah sifat mendua kita. Tak mungkin kalangan profesional menikmati kemakmuran dan kemudahan, tanpa ditopang faktor penunjang, di antaranya urusan domestik yang sehari-hari diambil-alih para pembantu. Bentuk paling banal dari kepentingan praktis-pragmatis itulah dia: enaknya sendiri.
Dunia pasca-ideologi sejatinya memang cuma berisi kepentingan-kepentingan pragmatik. Sifat permukaan kepentingan ini mengaburkan kepentingan bersama yang lebih dalam, lebih luas. Tidak usah merasa ini sebagai serangan terhadap pribadi-pribadi. Lingkungan sosial kita sehari-hari mengisyaratkan bagaimana pragmatisme mengatasi segala-galanya sekarang.
|
Helvry Sinaga
Penakluk Lebah
Penulis: S Prasetyo Utomo
Gambar: Yuswantoro Adi
Kompas, 2 September 2012
Saya bingung menarik kesimpulan tentang apa pesan yang hendak diutarakan oleh penulis. Kisahnya menurut saya sangat biasa, dan sangat cocok diceritakan kepada anak-anak. Barangkali pesan yang bisa disampaikan adalah pertama, agar tidak mengganggu hewan-hewan yang secara insting juga tidak mengganggu kita. Kedua, agar bermurah hati kepada orang yang memerlukan pertolongan, dan ketiga agar menggunakan akal sehat dalam menimbang sesuatu. Kiai Sodik sepertinya hanya beruntung didatangi lebah, bagaimana jika tidak? mungkin lain ceritanya.
Helvry Sinaga
Aku
Penulis: Adi Zamzam
Gambar:K Nawasanga
Kompas, 26 Agustus 2012
Agak absurd menerjemahkan siapakah aku ini? Tetapi dari uraian-uraian yang disajikan, tokoh yang dinamakan aku ini adalah 'cermin' dari apa yang ada di dunia nyata ini. Sesuatu yang di luar dunia sana memandang ke dunia nyata ini seperti melihat sebuah akuarium. Sesuatu yang sifatnya abstrak namun memiliki kelanjutan hidup yang abadi, sepertinya ia lebih tua dari dunia ini. Siapakah dia? mungkin Ia yang tinggal di hati kita.
Helvry Sinaga
Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.
Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep ”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”
Helvry Sinaga
Genetika Pulang
Oleh Acep Iwan Saidi
Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.
Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.
Akan tetapi, barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.
Helvry Sinaga
DIPERKAYA DAN MEMPERKAYA
Maria Hartiningsih & Myrna Ratna
Pengalaman khas dan berbeda yang dibagi dalam komunikasi terbuka dan kesalingan belajar akan saling memperkaya identitas individu religius.
Syafaatun Almirzanah PhD (49) menghidupi setiap pengalaman perjumpaan sebagai cahaya yang memperkaya jiwa untuk menuju kepada Yang Satu. Melalui perjalanan panjang, ia meyakini, hanya dalam komunikasi yang terbuka dan dialog mendalam dengan kerendahan hati, dimungkinkan perjumpaan untuk saling memperkaya dan diperkaya.
Itu sebabnya, ”Pengalaman bergaul dengan orang lain sangat penting dalam hidup,” ujar intelektual serta pakar kajian Islam dan kajian agama-agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Helvry Sinaga
Bagaimana tingkah polah, karakter seseorang pada dasarnya terbentuk dari banyak faktor. Boleh dari masa kecil, lingkungan pendidikan, pembelajaran, pengalaman, atau pengaruh seseorang/tokoh dikagumi. Semua pelajaran tersebut dapat belajar sendiri, maupun belajar dari pengalaman/pengajaran orang lain. Namun, pelajaran yang mungkin harus dialami sendiri oleh masing-masing orang adalah belajar bertanggung jawab. Sebaik apapun materi pelajaran tentang tanggung jawab atau studi kasus yang mencontohkan tanggung jawab, satu-satunya pelajaran yang paling efektif adalah mengalami langsung.
Kapan seseorang harus berlatih bertanggung jawab? sejak dini. Sejak anak-anak diberikan pilihan-pilihan kecil, maka ia harus belajar mengambil konsekwensi atas pilihan-pilihan tersebut. Apa dampaknya jika ia tidak belajar langsung? Rasa empati dan kepedulian akan terkikis dan gersang.
Penulis cukup cerdas menjadikan seragam sebagai identitas yang menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, meski dalam pemaknaan yang berbeda. Pemaknaan yang berakibat pada kepedulian.
Helvry Sinaga
Sekitar dua minggu lalu, saya mengunjungi Museum Fatahillah di kota tua. Sudah tersohor bekas gedung pemerintahan VOC itu sangat banyak dikunjungi orang sembari berfoto. Saya menggunakan kamera pocket Kodak milik teman saya. Bersama dengan teman-teman jadilah beberapa foto pilihan berikut.
|
Tri Mises |
|
Di depan Papan Tulis |
|
Dua Orang yang Beristirahat |
|
Tanpa Tripod |
Setelah berfoto di dalam gedung, akhirnya saya mencoba fasilitas panorama yang ada dalam kamera tersebut, dan kemudian mencoba mengambil gambar bangunan itu. Saya berjalan kurang lebih 40-50 meter, menyetel panorama mode, dan saya puas setelah melihat previewnya di viewfinder kamera tersbut, namun setelah melihat di laptop, hasilnya seperti ini.
Saya membayangkan tadinya gambarnya sudah seperti di prangko-prangko itu, tapi ternyata masih jelek.
Setelah baca Kompas kemarin (7/8/2012), barulah tau kalau ternyata ada software yang bisa menggabungkan foto parsial menjadi satu gambar utuh, yaitu Photostitch dari Canon. Dan ternyata itu ada dalam dus Canon saya...*pentung* Dan hasilnya bisa seperti ini
Dan yang menarik, foto yang disebabkan salah perspektif bisa juga menarik seperti berikut:
Namun sepertinya salah perspektif yang saya lakukan di atas dan di bawah ini, masih jauh dari sempurna. Masih harus sering berlatih lagi :)
|
Dermaga Pulau Pramuka |
Helvry Sinaga
Beberapa kali melihat foto-foto Jakarta tempo dulu, membuat saya membayangkan suasana kota dan orang-orangnya. Beberapa tempat yang pernah saya lewati, sepertinya tidak menggambarkan keadaaan seperti di foto tersebut. Beberapa bangunan mungkin masih tegak berdiri, dirawat dan dipergunakan, seperti Istana Merdeka, Gereja GPIB Imanuel, Museum Fatahillah dan sebagainya. Namun Gedung Harmonie, Hotel Des Kapital sudah tidak ada lagi.
Saya terinspirasi membuat foto-foto semacam ini. Apa yang dapat diceritakan oleh gambar? Pertama, Perjalanan napak tilas pun dapat dibahasakan dengan dua buah gambar. Apa yang kita lihat antara zaman dulu dan sekarang merupakan suatu perubahan. Masa dulu dan masa sekarang terhubung oleh waktu dan apa yang kita lihat sekarang ini merupakan cerminan masa lalu. Sebuah gambar jauh lebih banyak menceritakan suasana dibanding paragraf-paragraf tulisan. Apalagi bila mampu menyandingkan antara gambar masa lalu dan gambar masa kini. Sangat terasa perbedaan suasananya. Dan saya suka dengan konsep penyandingan foto tersebut, seperti foto yang dimuat di harian Kompas Juli 2012 berikut ini.
Permasalahannya sekarang adalah seberapa banyak ketersediaan gambar-gambar tersebut dan dimana dapat memperolehnya? selain itu, seberapa banyak pula tempat-tempat tersebut tersedia hingga saat ini sehingga dapat dilakukan perbandingan?
Helvry Sinaga
Dua Wajah Ibu
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012
Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?
Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.