Helvry Sinaga
BS Mardiatmadja SJ
Anak yang diduga membunuh murid SMA Negeri 6 Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk tangan. Perlukah? Ya, sebab sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum. Kalau bisa seberat mungkin: untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita sekadar membelah cermin, walau sebenarnya ”buruk muka” kita.
Seorang ahli pendidikan di suatu radio swasta berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita adalah cermin kita—para orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin tingkah laku orangtua”. Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin dibelah”? Cukup edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di televisi—”kita sikat”?
Helvry Sinaga
Peristiwa G30S menyisakan banyak trauma dan kesedihan. Ketidakjernihan berpikir menyebabkan ketidakkritisan atas suatu keadaan. Dan bila disisipkan dengan dendam, maka tercipta suatu ramuan yang pas untuk menghilangkan seseorang dari bumi ini. Bagaimanakah rekonsiliasi tercipta? jika kebenaran yang mendahuluinya.
Helvry Sinaga
Setelah menunggu semalaman, kira-kira pukul 10.00 Wita di awal Juli 2012 lalu, Arie Smit membuka pintu. Ia keluar dari dalam bilik sisi kiri, di utara kolam renang Villa Sanggingan, Ubud, Bali, dibantu sebuah kruk. Pelan-pelan ia geser kakinya sebelum melemparkan tubuhnya yang besar di sebuah ”velbed” di beranda. Pelukis berdarah Belanda itu kini berusia 96 tahun!
Dari lantai dua sebuah cottage di lokasi yang sama, di mana saya menginap, terlihat Arie meregangkan tubuhnya beberapa saat. Tak sampai 5 menit ia masuk kembali ke dalam bilik. Kain pantai pembalut tubuhnya tertinggal di atas velbed. Pagi itu ia hanya mengenakan t-shirt yang dibungkus jaket lusuh, serta topi wol yang warnanya sudah pudar. Harapan untuk bisa bertemu sepertinya tipis. Sejak dulu Arie Smit sangat selektif menerima para tamu. Ia tidak terlampau menyukai keramaian.
Helvry Sinaga
Rumah
Penulis: Ahimsa Marga
Gambar: S. Sarwoko
Kompas, 23 September 2012
Cerpen ini saya tidak berkomentar...bingung.....
Entah sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat, waktu kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah tetanggaku yang asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.
Rumahku sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat, rumahku selalu terbuka, tetapi tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin karena aku juga tak pernah bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang, tetapi aku enggan. Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas pagar.
Helvry Sinaga
Al Andang L Binawan
Produk ramah lingkungan menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Vladivostok yang baru saja berlalu (Kompas, 7/9).
Topik jelas terkait dengan pertumbuhan hijau (green growth) dan juga konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep ekonomi hijau inilah yang ramai didiskusikan lima tahun terakhir, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membahas hal ini dalam pertemuan Rio+20 Juni lalu.
Munculnya konsep ekonomi hijau tak lepas dari kegagapan dunia menghadapi dampak buruk sistem ekonomi: kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial. Semakin disadari bahwa konsep ekonomi zaman ini adalah ekonomi yang serakah. Inilah konsep ekonomi egosentris.
|
Helvry Sinaga
TUGAS KEMANUSIAAN
Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy
Manusia adalah fenomena ajaib. Jika keajaiban itu dieksplorasi maksimal, akan tercipta apa yang dikategori sebagai mukjizat. Namun, meski semua manusia memiliki potensi sama, hanya sedikit yang menyadarinya. Sebagian besar lainnya menyerah di sandaran ”nasib”.
Satu dari sangat sedikit orang yang menyadari potensi dan keajaiban itu adalah budayawan Radhar Panca Dahana (47). Dengan 20 penyakit permanen stadium akut yang muncul setelah cuci darah tiga kali seminggu, 11 tahun terakhir, Radhar terus berkarya. Ia bahkan sangat produktif di puncak-puncak kesakitannya.
”Setiap hari, enam dari 20 penyakit itu, gejalanya keluar,” ujar Radhar. Seluruh bagian tubuh diganggu oleh kehadiran penyakit ikutan itu, termasuk panca indranya. ”Kalau saya diam, sebagian keluar. Begitu keluar, saya tahu metabolisme saya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Jadi, saya tak bisa membiarkan diri saya tidak aktif karena metabolismenya pun akan menyusut.”
Helvry Sinaga
Norman Erikson Pasaribu
Gambar: Denden Hendan Durahman
Kompas, 9 September 2012
Bagaimana rasanya menjadi benda-benda yang dekat dengan kehidupan manusia seperti handphone, blackberry, kendaraan, dan sebagainya. Seandainya mereka dapat berdialog, tentu saja mereka akan memberi kesaksian tentang bagaimana perilaku majikannya. Kadangkala ketika kita menyelami hal-hal seperti yang diceritakan Norman ini, yang dinamakan benda-benda 'mati' pun punya permasalahannya sendiri.
KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Helvry Sinaga
Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.
Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.
Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.
Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Helvry Sinaga
Seberapa tahukah kita akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia? Seberapa banyak saluran informasi yang tersedia untuk mengabarkannya pada kita? Pengalaman saya selama ini dalam mengunjungi tempat-tempat menarik, kebanyakan bersumber dari para traveller yang menulis kisah perjalanan mereka atau dari mereka langsung. Sebagai contoh, objek wisata pantai di Kiluan, Lampung, pertama kali saya dengar dari buku "Meraba Indonesia" Farid Gaban. Beberapa traveller menuliskan di blog mereka atau menerbitkan buku kisah perjalanan mereka. Tetapi itu masih jauh dari cukup. Coba lakukan survey sederhana di sekitar kita, teman-teman Anda lebih banyak tahu mana, tempat-tempat wisata di luar negeri atau dalam negeri?