Helvry Sinaga


 
Febri Diansyah
Hujan di bulan November ini membawa ingatan saya pada tanggal-tanggal sibuk empat tahun lalu. Bank Century, yang notabene sebuah bank kecil, ”disuntik” dana segar lebih dari Rp 6,7 triliun.
Tidak boleh ada bank gagal saat itu karena membahayakan perekonomian Indonesia. Mereka menyebutnya dengan istilah risiko dan dampak sistemik.

Setidaknya ada 18 peristiwa penting terkait kasus Bank Century saat itu, sebagian penuh kejanggalan. Sebut saja sederet kejadian 14 November 2008 ketika kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century sebesar Rp 689,34 miliar diputuskan.

Hari itu terjadi sejumlah hal yang nyaris tak masuk akal, mulai dari pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia lanjutan, yang membicarakan perubahan peraturan Bank Indonesia (PBI). Ini diduga sebagai upaya memuluskan talangan untuk Bank Century. Lalu, penyusunan draf revisi PBI; penyampaian kepada Menteri Hukum dan HAM untuk diteliti; penerbitan PBI No 10/30/PBI/2008 yang mengubah PBI No 10/26/ PBI/2006; penerbitan surat edaran tentang petunjuk pemberian FPJP, pengajuan oleh Bank Century, penelitian persyaratan FPJP oleh BI; perjanjian FPJP di depan notaris antara BI dan Bank Century, hingga pencairan FPJP pertama Rp 356,81 miliar. Semua terjadi di satu hari yang sibuk.


Demikian juga pada 21 November 2008, hari bersejarah bagi Bank Century. Setelah melewati rapat panjang sejak tengah malam, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Padahal, kabarnya saat itu sejumlah pihak yang hadir justru tak meyakini Century akan berdampak sistemik. Bahkan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan mengingatkan, jika bank ukuran kecil dianggap berisiko sistemik, ini justru merugikan citra perbankan Indonesia yang terkesan sangat rapuh.

Namun, keputusan KSSK ternyata belum cukup. Agaknya ada pihak yang meragukan dasar hukum perppu yang rapuh jika nanti ditolak DPR. Dalam catatan rapat yang dimulai pukul 05.30 pada hari yang sama, terdapat notulen Komite Koordinasi dengan dua kesimpulan: menyerahkan penanganan Century pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana ditetapkan KSSK, dan LPS akan menangani berdasarkan UU No 24/2004.

Cerdik, karena KSSK hanya dikenal di Perppu, sedangkan di dalam UU No 24/2004 hanya dikenal Komite Koordinasi. Ternyata benar, 18 Desember 2008, DPR tidak menyetujui Perppu JPSK tersebut. Sungguh dua hari yang sibuk di bulan November.

Kita tahu, kemudian Parlemen mempersoalkan kebijakan ini melalui Panitia Khusus. Proses politik yang hiruk pikuk ini berakhir dengan sekadar rekomendasi pada penegak hukum, yang tidak menyelesaikan masalah. Akhirnya, bola panas berada di tangan KPK. Hampir tiga tahun berselang, proses hukum skandal perbankan ini masih diproses penyelidikan, yang dimulai sejak Desember 2009. KPK telah memeriksa lebih dari seratus saksi dan ahli. Bagaimana masa depan kasus ini?

Babak baru
Secara mengejutkan beberapa pimpinan KPK menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam proses penyelamatan Bank Century. Pada minggu ketiga November ini direncanakan akan ada ekspose kasus yang dapat berujung pada peningkatan status ke penyidikan dan esoknya akan dilakukan pertemuan dengan tim pengawas Century di DPR. Apa yang kira-kira akan terjadi? Tersangka baru? Atau, KPK kembali mengatakan, ”Kami akan mendalami kasus ini?”
Mencermati sejumlah pernyataan KPK, harusnya lembaga ini tak terganjal lagi dengan pembuktian unsur melawan hukum di balik kebijakan Century. Sebutlah pemberian FPJP yang melanggar PBI bahkan ketika sudah diubah sekalipun, perjanjian FPJP yang kontroversial, kondisi bank yang bermasalah sejak awal, keraguan dalih risiko sistemik, serta potensi kerugian keuangan negara, atau bahkan debat soal kebijakan tidak bisa dipidana.

Belajar dari kasus BLBI
KPK bisa mempelajari sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan lain, baik kasus yang ditangani KPK ataupun Polri dan kejaksaan. Terkait dengan kasus BLBI yang menjerat sejumlah Direktur BI tahun 1997, ICW menemukan tiga putusan pengadilan yang bisa dipelajari KPK, yaitu Putusan MA No 977, 979, 981 K/Pid/2004 tanggal 10 Juni 2005 yang diketuai oleh Ketua MA Bagir Manan waktu itu.

Semua terdakwa divonis melakukan korupsi secara bersama- sama dan dihukum penjara satu tahun enam bulan. Kasus ini sempat menjadi perdebatan karena di pengadilan tinggi mereka dinyatakan lepas dengan alasan kebijakan tidak bisa dipidana dan perbuatan bukan tindak pidana.

Kasus ini menarik karena dalam dakwaan JPU disebutkan adanya perbuatan bersama-sama tiga terdakwa (Heru Soepraptomo, Hendrobudiyanto, dan Paul Soetopo S) dengan Boediono, Mukhlis Rasyid, Haryono, dan J Soedrajad Djiwandono. Kasus ini berawal dari hasil keputusan Direksi BI pada rapat 15 Agustus dan 20 Agustus 1997 yang memberikan kelonggaran fasilitas terhadap sejumlah bank ketika dikhawatirkan terjadi persoalan likuiditas dan penarikan dana oleh nasabah (rush). Perhitungan kerugian negara menurut JPU adalah Rp 18,16 triliun, yang merupakan bantuan likuiditas BI dihitung dari pemberian fasilitas saldo debet dengan menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum.
Apa yang bisa dipelajari dari tiga putusan MA di atas? Pertama, yang terpenting adalah, tidak benar sebuah kebijakan tidak bisa dipersoalkan dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Jika pembuat kebijakan melanggar sejumlah aturan hukum dan lahir penyalahgunaan wewenang, merugikan keuangan negara dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, pembuat kebijakan bisa dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, unsur kesengajaan pembentuk kebijakan tidak harus dibuktikan dengan adanya kickback atau keuntungan yang diterima pejabat itu. Khusus poin kedua ini, KPK juga pernah menangani sejumlah kasus, termasuk kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar dengan salah satu terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, bahkan hanya dengan ukuran ”kepatutan” pada unsur melawan hukum materiil.

Memang, ketika kebijakan diambil tahun 1997, aturan yang berlaku adalah UU Nomor 3 Tahun 1971. Namun, melihat unsur Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/ 2001 yang berlaku saat ini, tampaknya tak ada perbedaan mendasar. Pada UU baru justru ditegaskan korupsi sebagai delik formil, potensi kerugian keuangan negara sudah cukup dan bahkan diatur di Pasal 4 bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tak membuat seseorang bebas dari pidana korupsi.
Sekarang, tinggal bagaimana KPK menempatkan fakta-fakta hukum yang sudah ditemukan dalam skandal Bank Century dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Independensi KPK diuji dalam kasus ini.

Febri Diansyah Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch


0 Responses

Post a Comment