Helvry Sinaga

Bre Redana

Secara alami manusia adalah makhluk politik, kata Aristoteles. Oleh karenanya, kehidupan publik dari masyarakat yang ”baik” alias nggenah tentulah merupakan cerminan para anggotanya.

Karena adanya sifat alami itu pula, mustahil berhasil sifat kepemimpinan yang mendasarkan diri pada sifat yang bertentangan dengannya. Contoh dari kepemimpinan yang tidak alami adalah kepemimpinan yang pretensius, lamis, kini populer disebut orang sebagai ”pencitraan”.

Hanyut terbawa arus teknologi visual yang membuat banyak orang tidak lagi bisa membedakan mana nyata, mana tidak nyata, sejumlah pemimpin mengalami deformasi kepribadian menyerupai para remaja yang ngetop secara mendadak di televisi. Bahasa tubuh seperti lulusan pelatihan etiket. Lambaian meniru finalis ratu kecantikan, telapak tangan tidak boleh lebih tinggi dari pundak. Seluruh gerak tertata, bahkan cara menarik napas.


Gejala tubuh itu menggambarkan sesuatu yang lain, yakni ketiadaan aksi, tindakan, mengerjakan sesuatu, tumandang. Semua hal diangan-angankan akan datang dengan sendirinya, seperti cerita kemukjizatan hasil rekayasa televisi dalam tontonan bernama reality show. Segala penganugerahan hadiah dikira prestasi. Disokong oleh birokrasi besar yang bersifat mekanis, jadilah kepemimpinan seperti ini berhenti pada urusan bagaimana menampilkan diri. Toh, mesin birokrasi telah berjalan sendiri....

Diandaikan semua hal bisa berjalan dengan sendirinya, atau ada pihak lain yang mengerjakan (siapa pihak lain itu? Birokrasi?), maka semua orang—seperti para pemimpin itu—merasa sah cuma mengurus diri agar tampil necis. Terbentanglah kian jauh jarak operasional. Bahkan, untuk hal-hal sederhana, tidak ada yang menangani. Sejumput sampah di sudut halaman tiba-tiba menggunung. Ketika dia berubah menjadi gunung, orang gamang, awang-awangen. Semua absen.

Sesuatu yang alami ada dalam diri manusia, dan itu bersifat dalam dan sangat terstruktur. Ini pendapat Edward O Wilson, ahli biologi dan penulis, yang disebut Tom Wolfe sebagai ”Darwin baru”. Kalau tidak—begitu ia hendak meyakinkan kita—ide-ide universal, seperti hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip moral, hukum internasional tidak akan memiliki legitimasi.

Keberhasilan Jokowi yang sampai usai masa kampanye pilkada masih saja terus menarik antusiasme publik jangan-jangan dikarenakan adanya hal alami pada dirinya. Dia terjun ke pelosok-pelosok kumuh Jakarta setiap hari, membuat orang bertanya, kalau semua hal ia urusi, bagaimana dengan hal lain yang besar-besar?

Yang tidak dipikirkan orang adalah efek dari tindakan atau laku itu. Sebab, kalau hal kecil saja tidak ada yang turun tangan, siapa yang menangani? Jokowi meretas jarak operasional, dengan menangani apa yang bisa langsung ditangani.

Di lain pihak, kalau Anda berkesempatan ngobrol cukup panjang dengannya, ia mengaku fokus terhadap beberapa hal yang ia anggap prioritas (”Fokus ke beberapa hal saja, tidak usah semuanya,” ucapnya. Ia menyebut antara lain transportasi publik, banjir, kemiskinan). Pertanyaan orang tentang bagaimana mengatasi birokrasi yang lambat dan lain-lain, ia jawab kalem, itu diberesi sambil berjalan. Yang penting, seperti ia ungkapkan, fokus pada beberapa hal itu.

Dengan itu, ia sebenarnya masuk pada ruang dan waktu-nya sendiri. Bukan ruang dan waktu menentukan kita, melainkan kita yang menentukan ruang dan waktu. Dengan mengerjakannya, dengan fokus mendalam terhadap suatu hal, akan terkuak kemungkinan-kemungkinan baru, mengatasi dengan sendirinya tetek-bengek seperti birokrasi segala itu.

Tidak percaya?

Lakukan saja sendiri. Dalam ruang dan waktu kita sendiri—jagat besar (makrokosmos) dan jagat kecil (mikrokosmos) yang menyatu dalam diri—terdapat kesejatian, truth, kasunyatan. Dengan itu, kita melangkah, tidak menjadi si cengeng dan si peragu.

Kompas, 18 November 2012

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment