Helvry Sinaga
Judul: Tuan Alu dan Nyonya Lesung
Pengarang: Zelfeni Wimra
Koran Tempo, 15 Mei 2011
Pada awalnya saya tidak menduga jika Zelfeni akan menceritakan pohon kopi dan batu dengan perumpaan sebagus ini. Konsep pertemuan yang memang "jodoh"nya, tak dapat diduga-duga dan rasanya ajaib. Seperti kutipan berikut:
Apakah Tuan Alu didatangkan dari belantara untuk Nyonya Lesung? Atau sebaliknya, Nyonya Lesung didatangkan dari sungai untuk Tuan Alu
Baik Tuan Alu dan Nyonya Lesung berasal dari latar belakang berbeda, punya cerita kesepian dan cerita cinta, namun mereka bekerja sama dalam tangan satu orang.
Pengalaman masa lalu turut membentuk kearifan. Apa yang dahulu boleh jadi sesuatu hal yang pahit, sedih, indah, bagus, namun bila dibandingkan dengan keadaan 'kekinian' tampaknya hal-hal tersebut tidaklah berarti. Perhatikan yang dialami Tuan Alu:
Helvry Sinaga
Judul: Ikan Kaleng
Pengarang: Eko Triono
/1/
Sepertinya cerita ini seperti membaca berita. Tidak saya temukan nuansa sastra atau keindahan bercerita di sini. Biasa saja...datar...tidak perlu permenungan.
Memang harus diakui kedatangan tenaga guru dari Jawa di tempat-tempat seperti di Papua sangat membantu pendidikan.
bagaimanapun, persoalan ekonomi adalah persoalan yang tidak sederhana. Ini masalah yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia. Seperti dalam cerita ini, membuat ikan kaleng adalah keahlian mereka, supaya bisa makan dan hidup, mereka tidak menyadari bahwa pendidikan adalah cara untuk mengangkat diri dari kemiskinan dan kebodohan.
Helvry Sinaga
Judul: Belati dan Hati
Pengarang: Chairil Gibran Ramadhan
Kompas, 1 Mei 2011
Penulis dengan cerdas mengemas penantiannya pada dambaan hati. Rasa cinta yang tulus akan memampukan seseorang bergerak di luar kekuatan biasanya. "Aku" mengetahui dengan baik, bahwa untuk merebut gadis dambaannya, ia harus menukar tempat hatinya. Ia tak lupa ingin membekali Sang Gadis dengan sebilah belati, untuk melindunginya dari orang-orang yang hanya suka pada tubuhnya.
Helvry Sinaga
Judul: Nenek
Pengarang:Lie Charlie
Kompas, 24 April 2011
Tidak ada manusia yang sempurna. Karena sejak dilahirkan manusia sudah memiliki keberdosaan yang tinggal menunggu waktunya berbuah. Cerita ini berlatar seorang cucu yang menulis tentang pengalamannya bersama si Nenek. Nenek yang mungkin sebagian orang tidak beruntung bertemu dengannya, namun si Aku mengisahkan si Nenek dengan luka hati yang cukup dalam.
Helvry Sinaga
Judul: Ulat Bulu
Pengarang:
Romi Zarman
Korantempo, 24 April 2011
Dasar ulat bulu. Ulah siapakah yang menyebabkan populasinya meningkat? Akhirnya ulat bulu datang ke Senayan. Turut membuat gerah para anggota wakil rakyat. Cerita ini sebenarnya terlalu ringan, hanya menuangkan peristiwa terkini mengenai ulat bulu dalam sebuah kisah kecil seorang anggota DPR(D). Apakah cerita ini bermaksud "menyindir" anggota yang terhormat, karena setiap sidang paripurna, mereka akan memperoleh uang sidang.
Siapa ulat bulu sebenarnya? apakah ia perwujudan dari ketidakadilan? ataukah ia akibat dari penindasan? ulat bulu tidak mematikan, cukup membuat gerah saja. Itulah yang terjadi. Ulat bulu membuat gatal kulit penguasa.
Helvry Sinaga
Sang Penulis
Noor H. Dee
Koran Tempo, 17 April 2011
Seorang penulis yang merasa frustasi karena karya tulisnya tidak membawa perubahan. Mungkin setiap orang berbeda tujuannya menulis. Bagi saya, menulis menjadi keasyikan tersendiri karena saya tidak perlu dihakimi dengan segala macam kaidah menulis seperti di sekolahan.
Jadi, saya tak perlulah yaa menghentikan hobi menulis saya.
Helvry Sinaga
Judul: Orang-orang Larenjang
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 17 April 2011
Kali ini saya mencoba untuk menarik cerita pendek kompas minggu tersebut ke sini. Sehingga nanti reviewnya bisa sekalian dengan apa isi cerpennya. Dalam suatu masyarakat tertentu, katakanlah seperti batak, tidak diperbolehkan menikah dengan semarga, bukan berarti tidak bisa dengan keluarga dekat seperti cerita ini. Sampai sekarang, saya belum memeroleh pemahaman mengapa tidak diperbolehkan. Apakah mungkin pelanggaran akan aturan adat menyebabkan karma di kemudian hari? saya belum pernah membaca kajian atau penelitian akan hal tersebut. Dalam cerita ini, saya mencermati, bahwa urusan adat dan nikah menikah adalah permasalahan sosial, kalaupun ada hal-hal di luar kemampuan manusia seperti kematian, itu adalah urusan Si Pemberi Hidup. Bukan manusia sama sekali. Seberapa banyakkah terjadi seperti Julfahri dan Nurhusni, yang atas nama cinta tidak memedulikan lagi penghargaan pada manusia lain. Apakah dengan status sosial dan pendidikan tinggi seolah tidak menghargai lagi hukum lokal? Harus diakui, memang ada aturan tradisional yang memang tidak relevan dan tidak rasional lagi dilakukan. Namun, bukan berarti mengatakan tidak setuju atau tidak sependapat dengan cara merendahkan sesama. Pelajaran ini yang sering terlupa bagi mereka yang ingin "menabrak" aturan adat.
Helvry Sinaga
Penulis : Uli Kozok
ISBN : 978-979-461-776-2
Dimensi : 14 x 21 cm
Jenis Cover : soft cover
Berat Buku : 210
Jenis Kertas : Book Paper
219 halaman
Harga Rp50.000,-
Masih dalam rangkaian membaca bersama tentang Sumatra, buku ini saya beli ketika acara bedah buku Sumatra Tempo Doeloe yang diselenggarakan di Kantor Berita Antara. Membaca kata pengantar buku ini cukup menarik, sebab buku ini diterbitkan, ternyata sudah dilakukan seminar di Universitas Negeri Medan tentang kesahihan bukti-bukti yang diungkap oleh Uli Kozok. Salah satu yang mempertanyakan keaslian naskah yang menjadi bukti Kozok adalah Profesor Bungaran Simanjuntak, namun Kozok berhasil mendapatkan arsip itu dan menjadi lampiran buku ini.
Helvry Sinaga
Judul: Botol Kubur
Pengarang: Arman AZ
Kompas, 10 April 2011
Siapa yang rela terlahir sebagai orang miskin? Siapa yang pernah bermimpi menjadi orang miskin? Apakah menghilangkan kemiskinan seolah melukis langit? Membaca cerita pendek ini saya mendapat gambaran dari pencerita bagaimana dari hari ke sehari rezeki diperjuangkan. Bukan maksud mau mencederai prinsip orang yang mengatakan: rezeki nggak kemana. Saya menyaksikan sendiri orang-orang (kebanyakan anak-anak) yang mengais tempat sampah, berkeliling memanggul karung mencari botol plastik atau botol kaca yang bisa mereka jual. Saya menduga mereka tidak bersekolah karena harus membantu orangtua untuk "memperjuangkan" rezeki. Tidak mencari sama dengan tidak makan. Suatu konsekwensi berat yang kejam. Saya juga mendengar cerita abang saya yang sewaktu kecil pas liburan harus bekerja memasukkan tanah ke dalam polyback dan diupah beberapa ratus rupiah per polyback yang diisi. Sekali lagi karena harus berjuang. Saya menilai diri saya, apa yang saya lakukan seusia itu?
Helvry Sinaga
Judul: Pusara
Pengarang: Yovantra Arief
Sebuah siklus di muka bumi, orang merayakan kelahiran dan meratapi kematian. Tetapi mungkin itulah penyeimbang bumi. Bumipun tak akan sanggup menampung seluruh manusia sekaligus.
Si penulis memaparkan sebuah keadaan awal dimana peristiwa kematian meninggalkan duka mendalam. Kematian adik dari Togar, sahabat dekatnya, membuat "aku" memahami kesedihan yang dialami Togar. Sebelumnya ada kakek dan neneknya yang meninggal. Dan sebuah pemandangan yang memilukan ketika di depannya sebuah truk melindas pengemudi sepeda motor dan tewas seketika.