JAKARTA, KOMPAS
— Dongeng dapat menumbuhkan minat membaca pada anak-anak. Kebiasaan
mendengarkan cerita lewat cara yang menyenangkan juga dapat merangsang
daya imajinasi dan kreativitas mereka.
"Minat baca anak Indonesia
masih rendah karena pendekatan, akses, dan kesempatan anak pada bahan
bacaan masih minim dan tak menarik. Mendongeng adalah pendekatan terbaik
untuk mengajak anak membaca buku," kata Manajer Program dan
Pengembangan Yayasan Literasi Anak Lebah Indonesia Rismadhani Chaniago
di Jakarta, Jumat (21/8).
Menurut dia, orangtua dapat menerapkan
teknik mendongeng saat membacakan buku-buku cerita. Dengan metode
bertutur, anak akan menangkap isi cerita dengan cara yang menyenangkan
serta mampu menangkap alur dengan baik. Orangtua juga dapat menyelipkan
nyanyian dan permainan ketika bercerita.
Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang
dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah
minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca
(buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan
penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi
manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca,
adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir,
menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang
dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum
mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti
angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak.
Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter,
mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah
jadi.
Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang
telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan,
proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik
bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan,
hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan
sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di
otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami
cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak
sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang
memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun
dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak
selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan.
Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap
kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik,
tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian
politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu
melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal
menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di
layar laptop
atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar
komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding
dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke
satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik
tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan
kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif,
interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau
pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru.
Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan
otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2015, di halaman
12 dengan judul "Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir".
Gerakan literasi yang tumbuh
dari inisiatif masyarakat tak sekadar menumbuhkan kegemaran membaca
buku, tetapi bergerak maju untuk memberdayakan masyarakat. Episentrum
gerakan bermula di pos-pos ronda di kampung-kampung. Semua
digerakkan oleh energi masyarakat, kecintaan terhadap buku, dan
kerinduan akan terjadinya perubahan.
Berbekal
semangat menumbuhkan rasa suka membaca, Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) Cakruk Pintar hadir di atas bekas pembuangan sampah warga di tepi
Sungai Gajahwong di Dusun Nologaten, Catur Tunggal, Depok, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sebuah pos ronda sederhana dari bambu berukuran 5
meter x 10 meter didirikan di tepi Sungai Gajahwong pada 2003. Pos
ronda itulah yang merangkap sebagai taman bacaan.
Meskipun masih
ada penolakan, pos ronda yang berfungsi sebagai perpustakaan itu bisa
dihadirkan. Koleksi buku milik penggagas taman bacaan itu, Muhsin
Kalida, menghiasi dinding-dinding bambu. Muhsin yang warga di kawasan
itu juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Membangun gerakan literasi untuk
menumbuhkan minat baca sekaligus memberdayakan masyarakat sesungguhnya
bisa dimulai dari hal sederhana. Muhsin Kalida (45), dosen di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memulainya dengan
mengajak masyarakat Dusun Nologaten, Caturtunggal, Depok, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyulap tempat pembuangan sampah di
sekitar permukiman warga jadi perpustakaan masyarakat dengan konsep
bangunan pos ronda.
Meskipun awalnya tidak mudah mengubah kebiasaan warga membuang sampah
sembarangan di Sungai Gajahwong yang tidak jauh dari rumah Muhsin, pada
2003 akhirnya bisa dibangun perpustakaan. Lokasinya, disatukan dengan
pos ronda. Perpustakaan yang berisi buku koleksi Muhsin ini, dikenal
dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar.
Kehadiran TBM Cakruk Pintar mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang
awalnya tak banyak bersentuhan dengan buku, jadi mulai suka membaca.
YOGYAKARTA, KOMPAS
— Budaya membaca masih perlu ditingkatkan bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan membaca di
keluarga oleh orangtua kepada anak-anaknya. Langkah ini diyakini efektif
untuk menumbuhkan minat, kegemaran, hingga budaya baca.
"Mengajak
anak untuk membaca buku bersama sejak kecil merupakan investasi yang
berharga untuk masa depan anak. Kami menyambut senang jika 'Gerakan
Membaca 10 Menit' didukung Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) supaya bisa diterapkan di semua keluarga," kata Heni
Wardatur Rohmah, pendiri Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam
acara seminar "Membangun Kebiasaan Membaca Anak sejak Dini" di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Heni dan
suaminya, Nuradi Indra Wijaya, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Mata
Aksara untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kedua anak mereka dalam
kandungan. Hingga kini, kedua buah hati mereka yang duduk di bangku SMP
dan SD itu sangat suka membaca.
Pada 7 Mei 2015, Universitas
Negeri Jakarta mengadakan pertemuan bedah buku karya teman terbaik, Prof
HAR Tilaar. Dalam pertemuan tersebut, antara lain, konsep ilmu
pendidikan dipersoalkan, khususnya untuk bangsa Indonesia. Persoalan
tersebut terefleksikan dalam judul buku.
Berikut analisis penulis.
Sebagai seorang pendidik di Indonesia, perlu diutarakan dan dibuktikan
bahwa pernyataan yang tertera dalam judul itu salah. Selain itu, perlu
diinformasikan, perkembangan ilmu pendidikan, sebagaimana sudah terjadi
sekarang, belum sepenuhnya disadari oleh tokoh-tokoh tertentu.
Tantangan dari teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya
interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari
modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran
baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap
kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas kehidupan
ataupun terhadap diri sendiri (Semiawan, C, 2011).
Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang adalah neuro-education. Tulisan penulis pernah dimuat di Kompas (17/2/2011) yang berjudul ”Neuro-education,
Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan”. Pendapat penulis bertolak dari
premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan luarbiasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru.
JAKARTA, KOMPAS — -
Hingga sekarang minat baca pada anak-anak di Indonesia masih rendah.
Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang dapat menarik minat anak-anak
kepada buku, salah satunya lewat mendongeng.
Terkait
dengan persoalan tersebut, akan digelar Festival Storytelling
Internasional bertajuk "The First Indonesia Internasional Storytelling
Festival 2015" pada 10-11 Oktober 2015. Acara ini bertujuan untuk
memopulerkan mendongeng serta meningkatkan minat baca anak-anak.
"Anak-anak
dapat menikmati alur cerita dengan senang. Itu juga metode yang efektif
untuk menyampaikan pesan dalam cerita," kata Ketua Panitia Pelaksana
BookStech 2015, Rismadhani Chaniago.
Selama ini,
banyak orangtua yang menganggap berdongeng butuh keterampilan khusus.
Akibatnya, mereka enggan mendongengkan cerita rakyat pada anak-anak.
Padahal, mendongeng bisa dilakukan oleh siapa pun.
"Orangtua
perlu diajak untuk membiasakan dongeng sebelum tidur. Mereka bisa
mengarang cerita atau membacakan buku cerita pada anak," katanya.
Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang
dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung
paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan
wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari
ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir.
Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian
terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang
sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan
lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang
lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang
tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama
itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci.
Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki
sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu
membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya,
sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri
karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu
tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang
menciptakannya.
Indonesia telah diberkahi, tak
hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayaan, tetapi juga oleh
sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang.
Berbagai gagasan ini merupakan hasil persaingan sekaligus percampuran
berbagai pandangan dari orang-orang berwawasan kosmopolitan yang
berupaya menjelajahi bentuk lokal modernitas hybrid.
”Sayangnya sejak pertengahan abad lampau, kekayaan budaya ini banyak
yang telah dihapus dari sejarah resmi ingatan bersama,” ujar Prof Ariel
Heryanto (61), peneliti, pengajar pada Jurusan Budaya, Sejarah dan
Bahasa, College Asia-Pasifik, The Australian University, di Canberra,
Australia.
Itulah pesan utama bukunya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, 2015), hasil terjemahan kritikus film Eric Sasono dari buku Identity and Pleasure: The Politics of Indonesia Screen Culture (NUS Press, 2014).
Ariel ditemui seusai peluncuran bukunya di Jakarta, awal Juli 2015.
Dua hari lalu, Minggu (17/5), Indonesia merayakan
Hari Buku Nasional. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
peringatan kali ini berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun
subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar mengentak atau menyulut
kesadaran baru tentang buku.
Perhatian
kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya,
kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar
akan me-reshuffle
Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja
yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor
sekian.