Helvry Sinaga


Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir. Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci. Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya, sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang menciptakannya.


Lelaki itu kerap mengajakku bercakap. Tentang apa saja. Tentang dunia dan kehidupan. Tentang kisah-kisah yang tak dikenal. Tentang cerita romantisme yang dangkal. Tapi cerita paling banyak—yang ia ceritakan adalah cerita tentang Yuri. Cerita tentangku sendiri.
Kau tahu, Yuri menyukai kenanga, ia menatap wajahku, tepat di mata, dan aku pun jadi menyukai kenanga. Padahal aroma kenanga selalu membuat kepalaku pusing. Aku tahu, diam-diam Yuri suka memetik bunga kuning muda itu dari pohon kenanga kerdil di tikungan jalan dekat kampus. Pohon itu hampir mati karena tak ada yang mengurus, maka diam-diam pula, aku selalu membawa botol air mineral dari rumah dan menyiramkannya ke pohon itu setiap kali melewatinya. Bunga itu harus terus mekar untuk Yuriku.
Lelaki itu tampak bangga. Seperti kuncup yang mengembang oleh sinar matahari pagi. Setiap kali bercerita tentang Yuri, ia memang selalu bangga. Seolah, semua hal yang ia lakukan secara diam-diam itu akan membantunya. Aku benar-benar tak paham. Cara lelaki itu mengagumi Yuri membuatku berpikir bahwa jatuh cinta berarti jatuh tolol.
Maukah kau menikah denganku, Manis? Suatu ketika, tiba-tiba lelaki itu berlutut di hadapanku. Dengan sebuah cincin dan setangkai mawar. Sejak pertama aku sudah menduga: lelaki itu gila.
Kita akan menikah dan memiliki tiga anak, ungkapnya lagi. Kita akan membangun rumah di perkampungan, di kaki gunung. Kita akan beternak itik dan memelihara koi. Kita akan menanam mentimun juga paprika. Apa kau mau menikah denganku, Manis? Lelaki itu menciumku. Mencium bibir patung yang bisu—untuk kesekian kalinya. Tentu saja aku hanya diam. Aku hanya seonggok patung. Patung yang nahas.

Ia memang kelewat bodoh. Dan ia seorang pengecut sejati. Ia mengagumi Yuri dari kejauhan dan tak pernah berani mendekat. Ia tahu segala tentang Yuri, tapi Yuri, bahkan mungkin tak tahu siapa namanya. Ia lebih menyedihkan dari seekor pungguk yang merindukan bulan. Ia lebih menyedihkan dari perumpamaan apa pun.
Setiap hari lelaki bodoh itu membawa sesuatu yang berhubungan dengan Yuri dan menyematkannya di tubuhku. Kalung, gelang, cincin, pakaian yang sama dengan yang dipakai Yuri, mengubah tatanan rambut, dan seterusnya.... Hari ini Yuri mengenakan pita yang serupa bunga ilalang di rambutnya, cantik sekali…. Aku sudah mencari pita yang seperti itu ke mana-mana, tapi tak mendapatkannya, aku minta maaf, untuk kesekian kali pula lelaki bodoh itu berkata padaku. Dan aku tetaplah patung, yang terus bisu namun terus tersenyum—lelaki itu merancangku begitu: terus tersenyum. Senyum yang terinspirasi dari senyuman seorang bidadari bernama Yuri.
Dalam hitungan tahun aku menemani lelaki bodoh itu. Dan aku tak tahan lagi. Aku menyesal menjadi patung yang bisa memikirkan sesuatu, melihat sesuatu, mendengar sesuatu, tapi tak bisa bergerak ataupun mengatakan sesuatu. Barangkali keadaanku sama menyedihkannya dengan lelaki itu, lelaki yang memahatku.
Hingga suatu malam, setelah hampir seharian tidak menampakkan muka naifnya, lelaki itu pulang dengan langkah terseret dan raut rupa menyedihkan. Ia berdiri di hadapanku dengan tatapan mengerikan. Matanya seperti sepasang samurai yang siap menebas leherku, mencincang tubuhku. Kau mengkhianatiku, Yuri, kau mengkhianatiku, dengus napasnya penuh kekecewaan. Aromanya berkelebat dendam.

Rupanya, hari itu, Yuri dipinang seorang lelaki Jepang yang tampan dan tidak pengecut. Konon, lelaki itu akan segera memboyong Yuri ke Jepang. Mereka berencana menikah pada bulan-bulan ketika sakura bermekaran (membayangkan hal-hal indah seperti itu terkadang membuatku ingin hidup, menjadi manusia seutuhnya—dan bukan hanya seonggok patung). Lelaki pengecut itu tahu semuanya, dan ia menceritakannya padaku. Lelaki Jepang itu, ia merebut Yuriku, ia merebut Yuriku, ia membawa lari Yuriku, ia merengek seperti anak kecil. Ia merebutmu dariku, ia membawamu lari. Kenapa kau diam saja, Yuri, bicaralah, katakanlah sesuatu, ia yang sudah gila semakin gila.

Aku menatapnya penuh kejenuhan. Saat itu aku berharap tubuhku meledak dan penderitaanku sebagai patung segera berakhir. Aku menyumpahi lelaki itu, Yuri bukan milikmu. Kau hanya lelaki tolol, kau tak pantas untuk Yuri. Bahkan aku, seonggok patung yang tak bisa apa-apa ini, takkan sudi menerima lelaki menyedihkan sepertimu. Tuhan memberimu banyak waktu untuk mengenal Yuri lebih dekat dan mengungkapkan perasaanmu, dan kau malah memilih berbicara dengan patung sepanjang hari, sepanjang tahun. Apa itu namanya kalau bukan tolol? Sebaiknya kau pergi saja ke neraka.

Dengan air mata yang membasahi wajahnya, tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, membaringkanku di atas ranjang. Ingatlah! Aku masih patung yang tak bisa menolak apa pun. Lelaki itu menangis, sambil terus memandangiku. Memelukku. Menciumku. Bibirnya bergumam, Yuri, Yuri, Yuri…. beberapa menit kemudian ia beranjak entah ke mana dan kembali dengan sebilah pisau pemotong kertas. Ia mengiris nadinya sendiri dan memeluk tubuhku lebih erat lagi.
Darah meleleh membasahi dadaku, tepat di tempat hati seseorang tersemat. Tempat segala sesuatu terasa. Lelaki itu pernah bilang, di situlah tempatnya, sebuah benda berwarna merah tua. Benda yang acap kali menyengsarakan manusia. Seperti dirinya. Aku tak berkutik. Diapit lengan lelaki itu. Hingga pada detik kesekian, pelukan lelaki itu melonggar. Ia terkulai tanpa daya, memeluk patung pahatannya, memeluk Yurinya.
Ketika lelaki itu mengembuskan napas terakhirnya, udara hangat dan panjang seperti berkelebat menyentak pipiku. Sesuatu mulai menghentak, mendesak, memasuki tubuhku. Aku tergagap. Sesuatu yang hangat menyembul di antara mulut dan ujung hidungku. Apa aku mengembuskan napas pertamaku? Apakah ini yang disebut bernapas? Tubuhku menghangat. Seperti tanah basah yang dirayapi matahari pagi.

Darah lelaki itu telah melekat di tubuhku. Partikel-partikel paling kecil mulai meresap ke kedalaman, perlahan-lahan. Dan sesuatu di balik dadaku mulai berdetak. Cuping hidungku mulai mengendus. Sepasang tungkaiku mulai menggeliat. Jari-jemariku mulai bergerak. Kedua mataku mulai berkedip. Dan….
”Yuri,” aku pun mulai bisa mengatakan sesuatu, ”Namaku Yuri.”
Aku bangkit, menyingkirkan lengan lelaki itu dan beranjak ke depan cermin. Aku tak percaya. Aku bisa menyentuhnya. Tubuh itu. Mata itu. Bibir itu. Aku pun berujar lagi, ”Kau Yuri. Namamu Yuri.”
Ya, kau Yuri. Namamu Yuri. Dan aku mengagumimu.

Malang, 2015
Karya: Adinda Maya

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment