Novel Sastra Populer untuk Tumbuhkan Minat Baca
JAKARTA, KOMPAS
— Novel fiksi bergaya bahasa ringan kian laris di pasaran. Beberapa
penerbit menjadikan jenis buku ini sebagai salah satu produk unggulan.
Novel jenis ini cocok untuk dijadikan media untuk menumbuhkan minat baca
seseorang.
"Untuk penyerapannya sendiri berkisar 13.000 per bulan. Dalam kondisi ekonomi seperti ini, penjualan sebesar itu masih bisa dikatakan sukses," ujarnya.
Tingginya penyerapan buku sastra populer ini membuktikan bahwa minat masyarakat untuk membaca buku yang bergaya bahasa ringan dan menekankan unsur rekreatif cukup besar.
Sari mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan buku jenis ini semakin populer, antara lain ketenaran novelis. Terdapat pembaca novel yang sangat fanatik pada karya novelis tertentu.
Hal ini terlihat dari beberapa nama yang selalu ditunggu hasil ciptaannya. Andrea Hirata, misalnya, karyanya yang berjudul Ayah kini termasuk menjadi salah satu novel terlaris. Itu tidak lepas dari banyaknya penggemar novel yang menilai karya Andrea sangat inspiratif, salah satu karya yang paling populer adalah Laskar Pelangi. "Bahkan, buku Laskar Pelangi diperkirakan terjual hingga 5 juta eksemplar," ujarnya.
Keterkaitan film dan novel juga tak bisa dipisahkan, keduanya seakan memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saat novel itu laku di pasaran, maka akan diangkat ke perfilman. Sebaliknya, novel ada juga yang sebelumnya tidak dikenal tetapi setelah dibuat versi filmnya akan laku di pasaran.
Komunitas dan media sosial
Keberadaan komunitas juga cukup berpengaruh pada minat seseorang untuk membaca sebuah novel. Hal ini terlihat pada novel Dia adalah Dilanku. Selain gaya bahasanya yang unik dan ringan untuk dibaca, peran komunitas juga cukup berpengaruh. "Bahkan, ada kelompok yang membela Dilan, ada juga kelompok yang membela Milea. Secara tidak langsung perdebatan ini akan menimbulkan rasa penasaran bagi orang yang belum membacanya," kata Sari.
Sang penulis, Pidi Baiq, pun merupakan novelis yang aktif di media sosial membuat karyanya semakin populer. Ada beberapa penulis yang belum begitu dikenal, tetapi karyanya dibaca banyak orang karena media sosial.
Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Candra Gautama mengatakan, tingginya angka penjualan novel fiksi bergaya bahasa ringan menunjukkan bahwa kecenderungan minat baca masyarakat tidak lagi mementingkan kedalaman cerita. "Kaum muda saat ini lebih memilih bacaan yang tidak perlu mengerutkan dahi," katanya.
Bahkan, beberapa buku yang isinya hanya berupa kutipan pun tetap diburu, seperti buku 88 Love Life karya Diana Rikasari, misalnya, sudah dicetak hingga berkali-kali karena jumlah peminatnya tergolong tinggi. "Buku jenis ini diminati karena berisi tentang resep-resep bagaimana menjalankan kehidupan," kata Candra.
Buku bernilai sejarah
Candra
mengatakan, selain novel percintaan bergaya bahasa ringan, buku yang
berisikan tentang kisah-kisah sejarah juga diminati. Ada beberapa buku
terbitan KPG yang laris, seperti Kota di Djawa Tempo Doeloe, Seri Tempo: Aidit, Seri Tempo Tan Malaka, Seri Tempo Benny Moerdani, Sejarah Melayu, dan buku berisi kisah sejarah lainnya.Hal ini membuktikan ada kerinduan dari sebagian kalangan untuk mengingat kembali sejarah masa lalunya dan mengambil inspirasi dari tokoh tersebut. Mereka menganggap kehidupan masa lalu jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan zaman sekarang. "Dengan membaca buku jenis ini, biasanya mereka kerinduan untuk mencari akar bangsa," ujar Candra.
Pengamat sastra Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, tren ini bukanlah hal-hal baru karena sejak dulu novel jenis ini memang sudah digemari.
Misalnya novel Lupus yang menceritakan kehidupan remaja, termasuk cerita-cerita cinta khas SMA. Novel itu bisa bertahan hingga satu dasawarsa. Novel jenis ini menekankan pada fungsi rekreatif, yaitu menghadirkan hiburan dan rasa senang bagi pembacanya karena jalan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Tak heran, banyak buku jenis ini lebih dicetak hingga berkali-kali.
Namun, ada beberapa kelemahan dari novel populer ini, yakni kebanyakan ceritanya tidak berdasarkan realitas yang terjadi. Kebanyakan dari novel seperti ini menghadirkan cerita yang menjual mimpi.
Berbeda dengan buku sastra yang lebih mengedepankan realitas dan menggiring pembacanya untuk berpikir, merenungkan bahkan menguat pada cerita yang disajikan. Misalnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Slamet Hidayat Adrai yang berisikan tentang kehidupan anak jalanan yang berada di pinggiran rel. "Kisah ini menampilkan kehidupan yang benar-benar terjadi di masyarakat," ujarnya.
Maman mengatakan, tidak ada yang salah dengan cerita yang disajikan karena memang memiliki pangsa pasar yang berbeda. Bahkan, keduanya bisa saling melengkapi. Maman menjelaskan, untuk pembaca pemula, cerita populer memang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan minat baca. Jika telah terbiasa, mereka akan tertantang untuk membaca buku yang lebih berkualitas dan memancing pembaca untuk lebih berpikir.