CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian
Oleh: Gunawan Raharja
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.
Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
TERTIDUR
di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu
saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti
sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya terus saja kuliah dengan prinsip
mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya
adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu. Meski demikian, saya merasa tertampar
sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga
ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika
dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis
interaktif.
Harapan untuk menjadi bagian dari sastra dunia, sejak beberapa tahun
belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam ranah sastra Indonesia.
Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk penerjemahan
karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih
tampak berperan sebagai EO (event organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur, guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia.
Begitu juga lembaga pemerintah yang berperan menjalankan kerja
diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan perhatian pada sastra, sebagai
bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel Indonesia telah
diterbitkan oleh penerbit major label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang bersangkutan.
Para sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang
terseleksi oleh komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh
tradisi sastra di negara-negara Asia lainnya. Inferioritas semacam ini
cukup membebani
iklim kekaryaan. Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international.
Muncul kesan, sastra Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika
belum tersedia dalam bahasa asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku
sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Bagi masyarakat Karo, uis gara (ulos dalam bahasa Batak) telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama berkaitan dengan acara adat,
termasuk upacara pemakaman.
Aktivitas
pekerja di usaha tenun menggunakan alat tenun mesin di Balige, Toba
Samosir, Sumatera Utara. Usaha ini terkena imbas pemadaman listrik
bergilir di Sumatera Utara yang menyebabkan produksi tenun turun.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bagi masyarakat Karo ulos telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari terutama terkait acara adat termasuk upacara pemakaman.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja
menunjukan contoh cetakan untuk motif tenun uis (ulos) Karo di usaha
tenun menggunakan alat tenun bukan mesin TriasTambun di Kabupaten Tanah
Karo, Sumatera Utara.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Proses menyirat ulos
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Perajin ulos di Meat, Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Sebagai artefak
budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan
kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab,
tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.Kabut
pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga
petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon
(24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring
sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa
Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi
solusi praktis.
Sambil mencuci baju, Nani
menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I
Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian
danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di
danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.
Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah?
Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia
untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu
menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.
Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan
sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara
lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada
posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi
status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah
di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang
bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski
dipuja tetapi tak cukup didengar.
Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu,
kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan
meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga
dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair
dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik,
beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita
filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori”
kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.
KEHIDUPAN politik di Indonesia saat ini telah dicederai oleh suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat cepat, yaitu korupsi.
Gejala ini meluas karena hampir segala lapisan masyarakat, dan khususnya lapisan birokrasi pemerintahan, telah dihinggapi oleh kecenderungan korupsi. Dikatakan meningkat karena korupsi bukanlah sekadar gejala kurangnya pendapatan untuk hidup seseorang atau masalah every man’s need, sebagaimana dikatakan M Gandhi, melainkan masalah melemahnya kontrol dan lumpuhnya pengekangan diri atau, dalam kata-kata Gandhi, masalah every man’s greed. Meningkatnya praktik korupsi tidak saja terlihat dari kian besarnya dana publik yang dikorupsi, tetapi juga meningkatnya posisi dan status pejabat publik dan politisi yang melakukannya.
Kita dapat menyebut beberapa contoh. Pejabat publik yang terlibat korupsi atau disangka terlibat. Dari kalangan legislatif ada anggota DPR, dari kalangan eksekutif ada menteri, wakil menteri, gubernur, bupati, atau wali kota, serta dari kalangan yudikatif para hakim (dalam proses pengadilan dipanggil Yang Mulia) dan bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan harus dilaksanakan. Dari kalangan parpol, beberapa ketua umum partai terlibat dugaan kasus korupsi dalam ukuran besar.
Melawan Budaya Korupsi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
SUDAH terlalu banyak korupsi di negeri ini. Dari korupsi mini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena gaji yang juga mini sampai korupsi sistemik, yaitu korupsi yang sudah dianggap sebagai bagian dari sistem, misalnya: gratifikasi. Bahkan korupsi maksi (di atas Rp 1 miliar) karena nafsu serakah seperti yang dilakukan para terpidana KPK.
KPK memang sudah bekerja keras. Sejauh ini hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Vonis hakim memang bersifat relatif, bisa dianggap adil atau tidak adil, karena keadilan itu banyak versinya. Namun, yang jelas, korupsi tetap saja berlanjut. Tidak ada efek jera seperti yang diharapkan, apalagi mengingat keterbatasan jumlah tenaga dan dana. KPK mesti bikin prioritas dan prioritas ini dalam dunia politik artinya tebang-pilih.
Baru-baru ini saya mengikuti sebuah diskusi intern yang diadakan di suatu kementerian dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi. Di situ dibahas beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) tentang pemberantasan korupsi.
Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.
Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.
Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.
Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang langsung bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan rujukan, tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.
Tabrakan maut mengentak kita lagi. Selain berbelasungkawa kepada para korban, marilah kita melihatnya dari perspektif lain. Selama ini para ”pelaku kecelakaan” berasal dari papan atas dan korbannya rakyat biasa. Apa yang terjadi jika posisinya terbalik?
Bagaimana jadinya kalau si ”biasa” menubruk si ”istimewa”? Mungkin alur narasi berbeda: tidak mungkin si biasa membiayai hidup keluarga si istimewa.
Peristiwa berulang itu seolah mengirim pesan ”Marxian” bahwa pertentangan kelas masyarakat sedang terjadi di atas jalan raya, meski obsesi Karl Marx gagal dalam kasus ini: bukan kelas tuan yang kalah, justru kelas hamba yang lumat.
Tubuh yang ditundukkan
Di negeri ini, khususnya Jawa, sejarah jalan raya baru mulai abad ke-19 (Denys Lombard, 2005). Jadi, dibangunnya jalan raya menjadi titik balik peradaban yang amat penting.
Jalan raya adalah salah satu awal modernisasi. Kehadiran sepeda motor dan kendaraan roda empat tidak hanya menggantikan kuda, tetapi juga memunculkan gaya hidup baru.
Di Kompas edisi 17 September lalu, pada halaman 7, Andrianto Handojo, yang Ketua Dewan Riset Nasional, mencerahkan kita dengan opini yang ringkas, bernas, dan jelas tentang ruh pendidikan tinggi.
Guru Besar Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung itu, antara lain, mengatakan, dalam melakukan penelitian, pikiran mesti terbuka, tetapi dingin dan tanpa pamrih serta dalam berbagi hasil penelitian melalui publikasi atau presentasi, kita harus obyektif, jujur dan rendah hati. Itulah, kata Andrianto, yang disebut disinterestedness oleh Daoed Joesoef.
Memang pada masa Orde Baru ketika CSIS berpengaruh dalam pemerintahan dan Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, ia menekankan bahwa ilmu itu ya proses, ya produk, ya paradigma. Paradigma itulah yang bagaikan bintang pemandu, Leitstern, menuntun proses menuju ke produk.
Begitulah gambaran tentang apa yang oleh Thomas Kuhn disebut masa normal atau masa pemecahan teka-teki. Belum terjadi krisis. Anomali ¾ kalau ada ¾ ya satu atau dua saja, dan dapat ditempelkan secara ad hoc pada teori yang ada sebagai perkecualian kecil.