Helvry Sinaga
http://www.ecocentricblog.org/
Al Andang L Binawan


Produk ramah lingkungan menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Vladivostok yang baru saja berlalu (Kompas, 7/9).

Topik jelas terkait dengan pertumbuhan hijau (green growth) dan juga konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep ekonomi hijau inilah yang ramai didiskusikan lima tahun terakhir, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membahas hal ini dalam pertemuan Rio+20 Juni lalu.

Munculnya konsep ekonomi hijau tak lepas dari kegagapan dunia menghadapi dampak buruk sistem ekonomi: kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial. Semakin disadari bahwa konsep ekonomi zaman ini adalah ekonomi yang serakah. Inilah konsep ekonomi egosentris.
Helvry Sinaga

TUGAS KEMANUSIAAN
Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy


Manusia adalah fenomena ajaib. Jika keajaiban itu dieksplorasi maksimal, akan tercipta apa yang dikategori sebagai mukjizat. Namun, meski semua manusia memiliki potensi sama, hanya sedikit yang menyadarinya. Sebagian besar lainnya menyerah di sandaran ”nasib”.

Satu dari sangat sedikit orang yang menyadari potensi dan keajaiban itu adalah budayawan Radhar Panca Dahana (47). Dengan 20 penyakit permanen stadium akut yang muncul setelah cuci darah tiga kali seminggu, 11 tahun terakhir, Radhar terus berkarya. Ia bahkan sangat produktif di puncak-puncak kesakitannya.

”Setiap hari, enam dari 20 penyakit itu, gejalanya keluar,” ujar Radhar. Seluruh bagian tubuh diganggu oleh kehadiran penyakit ikutan itu, termasuk panca indranya. ”Kalau saya diam, sebagian keluar. Begitu keluar, saya tahu metabolisme saya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Jadi, saya tak bisa membiarkan diri saya tidak aktif karena metabolismenya pun akan menyusut.”
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Norman Erikson Pasaribu
Gambar: Denden Hendan Durahman
Kompas, 9 September 2012

Bagaimana rasanya menjadi benda-benda yang dekat dengan kehidupan manusia seperti handphone, blackberry, kendaraan, dan sebagainya. Seandainya mereka dapat berdialog, tentu saja mereka akan memberi kesaksian tentang bagaimana perilaku majikannya. Kadangkala ketika kita menyelami hal-hal seperti yang diceritakan Norman ini, yang dinamakan benda-benda 'mati' pun punya permasalahannya sendiri.



KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Helvry Sinaga

sumber:  http://markexton.edublogs.org/

Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.

Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.

Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.

Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Seberapa tahukah kita akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia? Seberapa banyak saluran informasi yang tersedia untuk mengabarkannya pada kita? Pengalaman saya selama ini dalam mengunjungi tempat-tempat menarik, kebanyakan bersumber dari para traveller yang menulis kisah perjalanan mereka atau dari mereka langsung. Sebagai contoh, objek wisata pantai di Kiluan, Lampung, pertama kali saya dengar dari buku "Meraba Indonesia" Farid Gaban. Beberapa traveller menuliskan di blog mereka atau menerbitkan buku kisah perjalanan mereka. Tetapi itu masih jauh dari cukup. Coba lakukan survey sederhana di sekitar kita, teman-teman Anda lebih banyak tahu mana, tempat-tempat wisata di luar negeri atau dalam negeri?
Labels: , 6 comments | | edit post
Helvry Sinaga




Saat Lebaran, banyak orang mensyukuri lengangnya jalanan Jakarta. Enak kalau begini terus. Tidak macet.

Seperti para majikan yang mensyukuri kelengangan Jakarta di satu pihak, sementara di lain pihak merindukan para pembantu segera balik, itulah sifat mendua kita. Tak mungkin kalangan profesional menikmati kemakmuran dan kemudahan, tanpa ditopang faktor penunjang, di antaranya urusan domestik yang sehari-hari diambil-alih para pembantu. Bentuk paling banal dari kepentingan praktis-pragmatis itulah dia: enaknya sendiri.

Dunia pasca-ideologi sejatinya memang cuma berisi kepentingan-kepentingan pragmatik. Sifat permukaan kepentingan ini mengaburkan kepentingan bersama yang lebih dalam, lebih luas. Tidak usah merasa ini sebagai serangan terhadap pribadi-pribadi. Lingkungan sosial kita sehari-hari mengisyaratkan bagaimana pragmatisme mengatasi segala-galanya sekarang.
Helvry Sinaga

Penakluk Lebah
Penulis: S Prasetyo Utomo
Gambar: Yuswantoro Adi
Kompas, 2 September 2012

Saya bingung menarik kesimpulan tentang apa pesan yang hendak diutarakan oleh penulis. Kisahnya menurut saya sangat biasa, dan sangat cocok diceritakan kepada anak-anak. Barangkali pesan yang bisa disampaikan adalah pertama, agar tidak mengganggu hewan-hewan yang secara insting juga tidak mengganggu kita. Kedua, agar bermurah hati kepada orang yang memerlukan pertolongan, dan ketiga agar menggunakan akal sehat dalam menimbang sesuatu. Kiai Sodik sepertinya hanya beruntung didatangi lebah, bagaimana jika tidak? mungkin lain ceritanya.


Aku
Helvry Sinaga

Aku
Penulis: Adi Zamzam
Gambar:K Nawasanga
Kompas, 26 Agustus 2012

Agak absurd menerjemahkan siapakah aku ini? Tetapi dari uraian-uraian yang disajikan, tokoh yang dinamakan aku ini adalah 'cermin' dari apa yang ada di dunia nyata ini. Sesuatu yang di luar dunia sana memandang ke dunia nyata ini seperti melihat sebuah akuarium. Sesuatu yang sifatnya abstrak namun memiliki kelanjutan hidup yang abadi, sepertinya ia lebih tua dari dunia ini. Siapakah dia? mungkin Ia yang tinggal di hati kita.
Helvry Sinaga

Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.

Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep ”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Genetika Pulang
Oleh Acep Iwan Saidi

Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.

Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.

Akan tetapi, barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.

Labels: 0 comments | | edit post