Helvry Sinaga
Buku-buku Laris Manis, Selarik Cerita Berbeda

Suhartono

Hari pertama di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 24 tahun lampau, Ahmad Fuadi (39) terkejut dengan kata-kata man jadda wajada yang diteriakkan seorang guru saat mengajar dalam bahasa Arab.

Kata-kata itu kemudian diikuti para santri setiap pelajaran tersebut.

Fuadi yang kini dikenal sebagai penulis novel terlaris Negeri 5 Menara memiliki kenangan peristiwa itu. ”Seru juga waktu pertama kali diteriakkan man jadda wajada. Sebab, itu hal baru dan kita harus mengulang-ulang teriakannya. Waktu itu kita belum tahu apa artinya, sampai kemudian dijelaskan oleh guru,” ungkap Fuadi kepada Kompas, Rabu (27/6).

Helvry Sinaga

Oleh NURUL FATCHIATI

Seiring dengan kemajuan zaman, cepat atau lambat buku elektronik akan semakin populer di masyarakat. Apalagi berbagai macam gadget elektronik bukan barang asing lagi. Pertanyaan yang muncul, apakah e-book akan mampu mendongkrak minat masyarakat untuk membaca buku dan mengembangkan industri perbukuan?

Bukanlah pemandangan aneh, ketika orangtua asyik membaca buku, anak-anaknya sibuk memainkan gadget. Ini adalah potret perbedaan gaya hidup antara generasi tua dan muda, terutama merebak di kelas menengah di kota besar.

Helvry Sinaga
Penerbitan "Indie" Jadi Kanal

Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.

Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.

Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.

Helvry Sinaga

Oleh ORIN BASUKI

Munculnya beragam gadget elektronis yang mampu membaca setiap jenis dokumen digital telah membuat kecenderungan peralihan dari buku cetak ke buku elektronik tak terbendung lagi. Biaya produksi buku elektronik pun bisa memangkas separuh ongkos penerbitan buku cetak, terutama ongkos percetakannya, sehingga era digitalisasi isi buku menjadi keniscayaan.

Namun, kondisi itu bukan berarti kematian bagi buku cetak menjadi dekat. Setidaknya butuh waktu 20 tahun untuk industri buku elektronik atau e-book berkembang di Indonesia.

Eksekutif Pemasaran Bukukita.com Heru Oktaprianto di Jakarta, Selasa (26/6), mengantongi tiga alasan mengapa e-book tidak akan segera menggeser buku cetak. Pertama, pemilik gadget elektronik masih sangat terbatas pada masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas.

Kedua, pihak penerbit buku belum selesai membuat perhitungan bagi hasil dan margin dari penjualan e-book. Ketiga, orang masih cenderung menjadikan buku sebagai koleksi.

Helvry Sinaga
Pemerintah Tidak Serius Urusi Perbukuan

Membahas perbukuan di negeri ini belum beranjak dari problem klasik industri perbukuan. Kini, belitan masalah pengembangan industri perbukuan bertambah dengan ketidakjelasan siapa sang penanggung jawab utama.

Di tengah kemelut perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya, lembaga nonstruktural tidak menunjukkan kinerja baik.

Keputusan ini tentu mengagetkan kalangan perbukuan, seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Meskipun kiprah Dewan Buku Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 1999 belum nyata, pembubaran itu tetap disayangkan.

Helvry Sinaga
sumber: cetak.kompas.com
Oleh ST SULARTO

Dalam perubahan super cepat industri buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah, buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sektor industri lain.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.

Helvry Sinaga

Judul: Perempuan Balian
Pengarang: Sandi Firly
Gambar: Samuel Indratma
Kompas, 24 Juni 2012

Cerita gaib dari daerah Kalimantan tidak pernah habis. Sekalipun kemodernan yang dibawa oleh perusahaan tambang telah mencapainya, namun masih ditemukan bahwa masyarakat asli tetap mempertahankan budayanya. Saya tidak mengerti apakah profesi "orang pintar" di kalimantan juga dominasi dari laki-laki? tetapi dari cerita ini tampaknya demikian. Permasalahan utama cerita ini adalah ketidakseimbangan yang terjadi akibat ketidakpedulian manusia terhadap alam dan lingkungan. Masyarakat sepertinya menolak kehadiran Idang yang dianggap tidak waras dan membawa kesialan bagi orang kampung, sementara kehadiran perusahaan tambang yang akan merambah hutan mereka tetap dibiarkan.

Helvry Sinaga
Jakarta untuk Manusia
Oleh Yonky Karman

Kompas,23 Juni 2012

Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
(Bukan) Nasionalisme Musiman

Oleh Imam Cahyono


"History is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or national culture. It is determined by people."

(Alan Beattie)

Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi, denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.

Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara, perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam. Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan penjajah.

Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat berjaya menggenggam kedaulatan energi. Pada masa Soeharto, Pertamina terempas oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.

”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.

Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar. Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Bahasa Puitis

ANDRÉ MÖLLER

Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Walaupun memayahkan, menjemukan, dan sesekali menjengkelkan, bergaul dengan kamus-kamus setiap hari juga bukan kegiatan yang tidak membawa manfaat atau dapat membuka mata dengan lebih lebar. Kamus-kamus akhirnya jadi teman setia yang selalu sudi memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam.

Labels: 2 comments | | edit post