Penerbitan "Indie" Jadi Kanal
Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.
Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.
Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.
Buku Sajak Bunga Vanili karya sastrawan Solo, Puitri Hati Ningsih, misalnya, diterbitkan secara indie dengan bantuan komunitas. Puitri membuka pemesanan awal melalui media sosial, seperti Facebook, sebelum buku diterbitkan. Setelah terkumpul pesanan yang cukup banyak, buku pun dicetak. Ini biasa disebut sebagai print on demand.
”Setelah transfer uang, kirim soft file, buku langsung dicetak dan hasilnya dikirimkan ke kami lewat ekspedisi,” papar Yudhi yang membantu perancangan wajah (lay out) buku Puitri. Buku itu sempat dipromosikan melalui acara bedah buku di Balai Soedjatmoko, Solo, bersama dua buku terbitan penerbit arus utama.
Biaya cetak digital buku Puitri setebal 156 halaman mencapai Rp 26.000 per eksemplar. Kualitas cetaknya sangat baik menggunakan jenis kertas finland. Hingga kini, buku yang dibanderol Rp 35.000 per eksemplar ini telah dicetak 50 eksemplar dan rencananya akan kembali dicetak 20 eksemplar.
Fotografer G Nugroho Adi ingin menerbitkan buku fotografi tentang Kota Solo. Rencananya, distribusi dilakukan dari tangan ke tangan. Untuk itu, ia butuh Rp 20 juta-Rp 30 juta karena buku akan dicetak dengan kertas luks sedikitnya 250 eksemplar. Menurut dia, penerbitan buku ini lebih untuk aktualisasi.
”Penerbit besar rasanya kurang berminat sehingga saya coba terbitkan sendiri dulu dengan bantuan percetakan milik teman,” kata Nugroho.
Penerbit ”kaki lima”
Di Yogyakarta, penerbit-penerbit buku berskala kecil menyebut diri mereka sebagai penerbit ”kaki lima”. Pengelolanya hanya satu atau sedikit orang.
Fotografer freelance Danu Primanto (32), misalnya, setahun terakhir ini mendirikan penerbitan Pustaka Ananda Srva yang ditanganinya sendiri, mulai pencarian penulis, editing, hingga manajemen keuangan.
”Kantor kami di rumah, hubungan kami dengan penulis lewat dunia maya. Kalau sesekali perlu bertemu penulis, ya bisa di warung atau di mana saja,” kata Danu yang telah menerbitkan enam buku dengan tema fotografi untuk remaja 13-19 tahun.
Sebagai penerbit ”kaki lima”, modal awal penerbitan bukunya juga pas-pasan. Untuk mencetak 1.500 buku fotografi full colour dengan kertas relatif bagus dibutuhkan dana Rp 17,5 juta. Artinya, biaya cetak sekitar Rp 11.500 per buku. Di pasar, buku itu bisa dijual Rp 38.000-Rp 48.000 per eksemplar dengan pembagian 35 persen untuk penerbit buku, 40 persen toko buku, 15 persen distributor, dan 10 persen untuk royalti penulis.
”Kalau sebulan bisa terjual di atas 100 buku, kemungkinan bisa untung dan modal kembali,” ujar Danu.
Hal serupa dilakukan Wendratama (32). Sejak 10 bulan terakhir, bersama seorang teman yang ahli dalam percetakan, mantan editor sebuah perusahaan penerbitan buku ini mendirikan penerbitan buku Graita. Konsentrasinya pada jenis buku yang tren penjualannya tak terlalu kencang tetapi kontinu dan berlangsung lama.
”Kami lebih fokus kepada penulisan buku-buku berumur panjang,” ujarnya.
Sekali cetak Wendra memproduksi sekitar 1.000 eksemplar per judul dengan rata-rata penjualan sekitar 200 buku per bulan. Untuk menyiasati biaya produksi, ia mendistribusikan sendiri buku-buku terbitannya yang dijual dengan harga Rp 30.000-Rp 50.000 per buah.
Buku metal
Seperti di Solo dan Yogyakarta, gairah penerbitan buku indie di Bandung juga berkembang pesat. Ambil contoh Minor Books, penerbit buku yang dikelola secara mandiri oleh Iman Rahman Anggakusuma alias Kimung.
Penerbit ini menjadi kanal bagi musisi metal dan komunitasnya untuk menulis sendiri sejarah musik metal dari daerah Ujungberung, Bandung. Salah satu terbitannya adalah Memoar Melawan Lupa yang mengisahkan insiden meninggalnya 11 penonton konser band Beside di Asia Africa Culture Centre, 9 Februari 2008.
Dengan sekitar 1.000 eksemplar per judul, buku-buku itu dijual lewat jaringan toko musik di Bandung, yang lantas menyalurkannya ke luar Pulau Jawa. Mahalnya pola distribusi itu membuat penulis hanya mendapat royalti 20 persen. Buku setebal 200 halaman dicetak dengan biaya Rp 5 juta untuk 1.000 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 25.000 per buku.
Meski pemasarannya terbatas, penerbitan buku indie bisa menjadi alternatif bagi para penulis buku untuk menyalurkan karya kreatifnya. Bagi konsumen, ini juga alternatif lain di luar produk terbitan penerbit besar. (Sri Rezeki/Aloysius B Kurniawan/Didit Putra Erlangga/Try Harijono)
sumber: Kompas, 29 Juni 2012
Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.
Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.
Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.
Buku Sajak Bunga Vanili karya sastrawan Solo, Puitri Hati Ningsih, misalnya, diterbitkan secara indie dengan bantuan komunitas. Puitri membuka pemesanan awal melalui media sosial, seperti Facebook, sebelum buku diterbitkan. Setelah terkumpul pesanan yang cukup banyak, buku pun dicetak. Ini biasa disebut sebagai print on demand.
”Setelah transfer uang, kirim soft file, buku langsung dicetak dan hasilnya dikirimkan ke kami lewat ekspedisi,” papar Yudhi yang membantu perancangan wajah (lay out) buku Puitri. Buku itu sempat dipromosikan melalui acara bedah buku di Balai Soedjatmoko, Solo, bersama dua buku terbitan penerbit arus utama.
Biaya cetak digital buku Puitri setebal 156 halaman mencapai Rp 26.000 per eksemplar. Kualitas cetaknya sangat baik menggunakan jenis kertas finland. Hingga kini, buku yang dibanderol Rp 35.000 per eksemplar ini telah dicetak 50 eksemplar dan rencananya akan kembali dicetak 20 eksemplar.
Fotografer G Nugroho Adi ingin menerbitkan buku fotografi tentang Kota Solo. Rencananya, distribusi dilakukan dari tangan ke tangan. Untuk itu, ia butuh Rp 20 juta-Rp 30 juta karena buku akan dicetak dengan kertas luks sedikitnya 250 eksemplar. Menurut dia, penerbitan buku ini lebih untuk aktualisasi.
”Penerbit besar rasanya kurang berminat sehingga saya coba terbitkan sendiri dulu dengan bantuan percetakan milik teman,” kata Nugroho.
Penerbit ”kaki lima”
Di Yogyakarta, penerbit-penerbit buku berskala kecil menyebut diri mereka sebagai penerbit ”kaki lima”. Pengelolanya hanya satu atau sedikit orang.
Fotografer freelance Danu Primanto (32), misalnya, setahun terakhir ini mendirikan penerbitan Pustaka Ananda Srva yang ditanganinya sendiri, mulai pencarian penulis, editing, hingga manajemen keuangan.
”Kantor kami di rumah, hubungan kami dengan penulis lewat dunia maya. Kalau sesekali perlu bertemu penulis, ya bisa di warung atau di mana saja,” kata Danu yang telah menerbitkan enam buku dengan tema fotografi untuk remaja 13-19 tahun.
Sebagai penerbit ”kaki lima”, modal awal penerbitan bukunya juga pas-pasan. Untuk mencetak 1.500 buku fotografi full colour dengan kertas relatif bagus dibutuhkan dana Rp 17,5 juta. Artinya, biaya cetak sekitar Rp 11.500 per buku. Di pasar, buku itu bisa dijual Rp 38.000-Rp 48.000 per eksemplar dengan pembagian 35 persen untuk penerbit buku, 40 persen toko buku, 15 persen distributor, dan 10 persen untuk royalti penulis.
”Kalau sebulan bisa terjual di atas 100 buku, kemungkinan bisa untung dan modal kembali,” ujar Danu.
Hal serupa dilakukan Wendratama (32). Sejak 10 bulan terakhir, bersama seorang teman yang ahli dalam percetakan, mantan editor sebuah perusahaan penerbitan buku ini mendirikan penerbitan buku Graita. Konsentrasinya pada jenis buku yang tren penjualannya tak terlalu kencang tetapi kontinu dan berlangsung lama.
”Kami lebih fokus kepada penulisan buku-buku berumur panjang,” ujarnya.
Sekali cetak Wendra memproduksi sekitar 1.000 eksemplar per judul dengan rata-rata penjualan sekitar 200 buku per bulan. Untuk menyiasati biaya produksi, ia mendistribusikan sendiri buku-buku terbitannya yang dijual dengan harga Rp 30.000-Rp 50.000 per buah.
Buku metal
Seperti di Solo dan Yogyakarta, gairah penerbitan buku indie di Bandung juga berkembang pesat. Ambil contoh Minor Books, penerbit buku yang dikelola secara mandiri oleh Iman Rahman Anggakusuma alias Kimung.
Penerbit ini menjadi kanal bagi musisi metal dan komunitasnya untuk menulis sendiri sejarah musik metal dari daerah Ujungberung, Bandung. Salah satu terbitannya adalah Memoar Melawan Lupa yang mengisahkan insiden meninggalnya 11 penonton konser band Beside di Asia Africa Culture Centre, 9 Februari 2008.
Dengan sekitar 1.000 eksemplar per judul, buku-buku itu dijual lewat jaringan toko musik di Bandung, yang lantas menyalurkannya ke luar Pulau Jawa. Mahalnya pola distribusi itu membuat penulis hanya mendapat royalti 20 persen. Buku setebal 200 halaman dicetak dengan biaya Rp 5 juta untuk 1.000 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 25.000 per buku.
Meski pemasarannya terbatas, penerbitan buku indie bisa menjadi alternatif bagi para penulis buku untuk menyalurkan karya kreatifnya. Bagi konsumen, ini juga alternatif lain di luar produk terbitan penerbit besar. (Sri Rezeki/Aloysius B Kurniawan/Didit Putra Erlangga/Try Harijono)
sumber: Kompas, 29 Juni 2012
Mantab punya mbak Puitri. Saya sudah membelinya, tapi belum sempet membaca utuh. Dipinjam temen :D
Jalur indie memang solusi yang terbaik untuk saat ini, dan mungkin untuk kedepannya.
Salam sastra