Helvry Sinaga
sumber: cetak.kompas.com
Oleh ST SULARTO

Dalam perubahan super cepat industri buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah, buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sektor industri lain.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.


Di saat yang sama, serupa pada industri media massa cetak, ramalan Thomas Meyer bahwa industri cetak akan mati, tetap jadi prediksi yang terus menghantui. Cetak tidak akan mati, ya, tetapi ketika tren penurunan media cetak termasuk buku terus merosot, yang diperlukan bukan hanya keyakinan, malainkan juga upaya supaya tidak melorot dan apalagi benar-benar habis.

Banyak dilakukan terobosan yang di kalangan industri media massa dikembangkan strategi multimedia, multiplatform, multichannel (3M). Kehadiran digital dan elektronik menjadi komplementer dan tidak saling mengerkah. Sinergi menjadi keniscayaan agar bisa bertahan dan berkembang. Strategi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun lebih awal dibanding Indonesia oleh para penerbit luar negeri.

Dari pameran tahunan perbukuan dunia, Frankfurt Bookfair, selalu terpajang jutaan penerbit buku dunia bergulat mempelajari perkembangan dan kecenderungan, seperti teknologi, desain, minat pembaca, bahkan trik-trik pemasaran buku.

Dari pameran terakhir, Oktober 2011, tersaji terjadinya perubahan signifikan yang menyangkut teknologi dan kebiasaan pembaca. Industri buku dunia—dari sisi ekonomis—sejak beberapa tahun lalu sudah dirasakan terus merosot. Terjadi misalnya di Inggris sebesar 6,1 persen, Amerika Serikat (AS) 5,7 persen, Spanyol 2,3 persen. Jepang, negara dengan kultur baca tinggi baik lewat cetak maupun elektronik, walaupun penjualan buku naik 1 persen, tetapi pendapatan turun 1,5 persen (Patricius Cahanar, Kompas, 9/12/2011).

Lewat internet

Di banyak negara mulai berlangsung bentuk baru penjualan lewat media internet, elektronik, ataupun cetak. Hadirnya media sosial, seperti Facebook dan Twitter, pun dijadikan sarana memperluas pasar. Bermunculan penerbit buku independen, yakni penulis sekaligus menjadi penerbit, bahkan provider menjadi penerbit. Amazon misalnya, tidak hanya mengunggah naskah ke internet, tetapi juga menjadi penerbit—tren yang semakin menonjol terjadi di Jerman dan AS.

Di Indonesia tidak ada data pasti tentang jumlah judul dan eksemplar yang terbit setiap tahun. Akan tetapi, angka berkisar pada 15.000-25.000 judul dengan rata-rata cetak setiap judul 3.000-4.000 eksemplar.

Sementara itu data di Ikapi Pusat tahun 2010 mematok angka sekitar 25.000 judul buku baru di Indonesia, 16.000 di Malaysia, 189.295 di China, AS 75.000, India 60.000, Jepang 40.000, Vietnam 15.000, dan Malaysia 10.000 judul.

Lemahnya budaya baca?

Benarkah kondisi perbukuan di Indonesia disebabkan oleh, antara lain, lemahnya budaya baca? Barangkali begitu, apalagi ketika mulai berkembang budaya baca bersamaan dengan budaya omong berkembang pula budaya elektronik. Yang terjadi adalah besarnya pemakaian telepon seluler.

Kisaran jumlah judul tidak beranjak dari tahun ke tahun, begitu juga jumlah eksemplar, tetapi dengan semakin lebarnya ratio jumlah penduduk, jumlah judul buku, dan jumlah eksemplar, dunia perbukuan di Indonesia semakin merosot. Sementara itu di saat yang sama, melonjak pemakaian telepon seluler.

Tidak hanya merosot dari sisi kuantitas, merosot pula jumlah penulis dan mereka yang ingin melakoni kerja sebagai penulis buku. Menjadi penulis buku menuntut kesiapan bahan lebih komprehensif dibandingkan dengan menjadi penulis koran atau majalah, begitu juga penulis berbagai gaman lain. Dituntut sikap kerja asketis. Dituntut napas panjang, sementara perolehan dari sisi finansial kurang sebanding dengan menulis artikel pendek.

Gelapkah industri perbukuan? Tidak, asalkan dipenuhi beberapa syarat, termasuk bagaimana menghidupkan perpustakaan dan toko buku, yang melayani tiga sarana media sekaligus, yakni multimedia, multichannel, dan multiplatform.

Pertama, peningkatan peran pemerintah dalam mengembangkan industri perbukuan. Perlu dekonstruksi mindset , bahwa industri buku selain bisnis juga idealisme. Dengan mindset itu menjadi keharusan meninjau kembali jenis-jenis pajak ataupun besaran persentase yang dikenakan pada industri buku.

Kedua, terus dikembangkan dan diperluas strategi 3M seperti yang sudah dikembangkan dalam industri media cetak. Strategi 3M diperlukan, selain sebagai bagian dari jurus terus bertahan agar tidak cepat mati, juga bagian dari memberikan sumbangan besar industri ilmu pengetahuan sebagai bagian dari peradaban manusia.

Ketiga, karena industri buku berjalan seiring dengan tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan—beberapa negara maju hasil ilmu-ilmu baru sebanding dengan perkembangan jumlah judul dan eksemplar buku—penghargaan pada pemangku profesi keilmuan yang bekerja dalam sepi, jauh dari hiruk-pikuk publikasi dan terus tekun bersemangat asketis, memperoleh perhatian yang dijabarkan dalam bentuk konkret kesejahteraan.

Keempat, di saat yang sama perlu diberikan perlindungan pada para pemegang hak cipta intelektual, dan memberikan sanksi yuridis bagi para pelanggar ataupun pelaku pembajakan. Pembajakan memang salah satu penghambat berkembangnya profesi penulis, perilaku yang dalam kenyataan selalu pembajak lebih diuntungkan daripada penggugat, penerbit yang bukunya dibajak.

Kelima, hadirnya Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia, sebuah yayasan nirlaba yang tujuannya memberikan perlindungan kepada pemegang hak cipta, dan Yayasan Nusa Membaca—sesama yayasan nirlaba—yang ingin ikut serta terlibat dalam pengembangan minat baca masyarakat, merupakan dua gerakan yang perlu memperoleh dukungan luas.

sumber: harian Kompas, 29 Juni 2012
0 Responses

Post a Comment