Helvry Sinaga

Oleh ORIN BASUKI

Munculnya beragam gadget elektronis yang mampu membaca setiap jenis dokumen digital telah membuat kecenderungan peralihan dari buku cetak ke buku elektronik tak terbendung lagi. Biaya produksi buku elektronik pun bisa memangkas separuh ongkos penerbitan buku cetak, terutama ongkos percetakannya, sehingga era digitalisasi isi buku menjadi keniscayaan.

Namun, kondisi itu bukan berarti kematian bagi buku cetak menjadi dekat. Setidaknya butuh waktu 20 tahun untuk industri buku elektronik atau e-book berkembang di Indonesia.

Eksekutif Pemasaran Bukukita.com Heru Oktaprianto di Jakarta, Selasa (26/6), mengantongi tiga alasan mengapa e-book tidak akan segera menggeser buku cetak. Pertama, pemilik gadget elektronik masih sangat terbatas pada masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas.

Kedua, pihak penerbit buku belum selesai membuat perhitungan bagi hasil dan margin dari penjualan e-book. Ketiga, orang masih cenderung menjadikan buku sebagai koleksi.


Bukukita.com bercokol pada bisnis agen penjualan buku cetak dengan penerbit besar di Indonesia sejak tahun 2006. Situs yang sudah mencatatkan 130.000 anggota ini memperoleh margin kotor 10-15 persen dari harga jual buku.

Meskipun belum mendesak, Bukukita.com pun telah mengantisipasi e-book dengan menyediakan jalur khusus ke beberapa produk e-book di Indonesia. Sementara ini hanya e-book mata pelajaran terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ada pada jalur e-book itu dengan harga gratis.

Optimisme pada buku cetak juga ditunjukkan dengan memberikan margin lebih tinggi kepada penulis buku yang tidak memiliki akses menguntungkan ke penerbit besar. Penulis biasanya hanya akan menerima 50 persen dari hasil penjualan jika bekerja sama dengan penerbit besar. Adapun di Bukukita.com bisa memperoleh 60-65 persen.

Buku antik

Atas dasar itu, Dani S, Pendiri Pasar Buku Langka Taman Mini Indonesia Indah, berpikir tidak perlu khawatir pada era digitalisasi buku. Pasalnya, buku dalam bentuk cetak justru memberikan peningkatan nilai jual. Kian antik dan langka, kian mahal.

Apalagi tidak ada permintaan atas buku langka dalam bentuk digital. Konsumen Dani seluruhnya adalah pemburu buku langka berbentuk cetak. Dani tidak berniat mendigitalkan koleksi buku langkanya dengan pemindai.

Ada enam alasan orang tetap mengoleksi buku cetak. Pertama, melengkapi cetakan yang hilang. Kedua, nostalgia masa lalu. Ketiga, mengamankan karya cipta yang bernilai. Keempat, buku menjadi bagian desain interior ruangan. Kelima, penerbit butuh buku lama untuk dicetak ulang. Keenam, banyak penyusun karya ilmiah akhir, seperti skripsi atau tesis, yang membutuhkan literatur langka.

Dani menyebutkan, ada 15 perpustakaan dari Amerika Serikat yang rutin meminta dipasok buku lama dari Indonesia. Permintaan rutin juga datang dari Jepang, Perancis, Australia, dan Belanda.

Permintaan buku cetak langka sangat besar. Jepang bisa membawa anggaran Rp 200 juta sekali pembeliannya. Tinggal kesanggupan pebisnis buku langka menyiapkan stok bukunya. Jika penulis buku Indonesia kian langka, buku cetak berbahasa Indonesia bisa saja diterbitkan orang asing. Jika itu terjadi, penjual buku langka akan berburu buku cetak ke luar negeri.

”Ini bisnis yang terkadang mengharukan. Ada orang yang mencari komik Tintin edisi tertentu menangis karena kehabisan,” tandas Dani.

Harga juga menjanjikan. Sebagai contoh, majalah Bobo terbitan tahun 1975 yang dijual Rp 65, kini dijual Rp 15.000. Lalu, komik Deni Manusia Ikan 16 jilid bisa laku Rp 4 juta. Sementara itu buku tipis karangan DN Aidit dipatok Rp 500.000.

Unit khusus

Penanggung jawab Pemasaran Kelompok Usaha Bumi Aksara Zuherman di Jakarta, Selasa (26/6), mengatakan, cara bertahan di bisnis buku salah satunya adalah mulai menyentuh bisnis buku elektronik. Untuk tahap awal, Bumi Aksara hanya menyentuh sisi pemasaran saja. Artinya, penjualan mulai dilakukan melalui internet, sementara buku tetap dijual dalam bentuk cetak.

”Kami sudah lima tahun membangun situs penjualan. Namun, kami baru merekrut tenaga pemasaran khusus untuk menangani penjualan online. Kami beri anggaran khusus untuk itu mulai 2012,” ujarnya.

Dengan anggaran khusus itu, Bumi Aksara berharap akan ada pertumbuhan penjualan buku melalui internet 10 persen setahun. Namun, untuk menjual e-book, Bumi Aksara belum menentukan langkah karena masih menunggu perkembangan.

Di sisi lain, pembuatan situs internet khusus penjualan barang semakin mudah. Sebuah lembaga pengembang situs dan pendidikan online Babastudio.com memberikan biaya gratis bagi siapa saja yang mendaftar di sepanjang pameran buku Jakarta Bookfair 2012 hingga 1 Juli 2012. Padahal nilainya mencapai Rp 1 juta per situs. Ini salah satu tanda era digitalisasi isi dan penjualan buka semakin dekat.

sumber: Kompas, 29 Juni 2012

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment