Helvry Sinaga
Pemerintah Tidak Serius Urusi Perbukuan

Membahas perbukuan di negeri ini belum beranjak dari problem klasik industri perbukuan. Kini, belitan masalah pengembangan industri perbukuan bertambah dengan ketidakjelasan siapa sang penanggung jawab utama.

Di tengah kemelut perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya, lembaga nonstruktural tidak menunjukkan kinerja baik.

Keputusan ini tentu mengagetkan kalangan perbukuan, seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Meskipun kiprah Dewan Buku Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 1999 belum nyata, pembubaran itu tetap disayangkan.



”Ini menandakan pemerintah belum menganggap industri perbukuan adalah hal strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid.

Dewan Buku Nasional dibentuk atas rekomendasi Kongres Perbukuan Tahun 1995 dan Ikapi tahun 1998. Fungsi dewan ini untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan industri buku dan distribusi buku, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat, kemampuan sumber daya manusia, pengumpulan dan pengkajian data dan informasi perbukuan, kerja sama luar negeri, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan.

Pembubaran Dewan Buku Nasional, meski belum pernah berfungsi efektif membuat industri perbukuan, seperti kehilangan ”induk semang” untuk mencari arah hendak ke mana industri ini akan dibangun.

Perpajakan terkait buku yang ditetapkan pemerintah belum juga menemukan titik terang penyelesaian. Pungutan pajak buku jadi ”hantu” bagi penerbit, mulai dari pajak kertas, pajak percetakan, hingga pajak penulis.

Sudah dikenai pajak, pasokan kertas pun persediaannya tidak pasti dan harganya labil. Ada pula soal distribusi buku yang tidak merata. Peredaran buku di Pulau Jawa mencapai 70 persen, sedangkan di daerah lain minim. Ada lagi masalah toko buku yang tak tumbuh sehingga minat baca rendah.

Data penerbitan buku secara resmi sulit didapat. Perkiraan ada 1.500-2.000 judul buku per bulan, dengan cetakan satu buku kira-kira 3.000 eksemplar. Toko buku justru banyak yang gulung tikar. Kini tinggal separuh dari 5.000 toko buku yang pernah ada.

Firdaus Oemar, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia (Gatbi) dan Ketua Pusat Buku Indonesia menyebutkan, peran pemerintah makin tidak tertata. ”Tidak ada lagi kejelasan kebijakan apa yang harus diikuti,” kata Firdaus,

Sementara itu,Ketua Umum Ikapi Pusat Lucya Andam Dewi mengatakan, pemerintah selama ini terkesan kurang serius mengembangkan perbukuan. Pemerintah hanya peduli pada buku-buku sekolah.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbukuan yang dibahas di DPR pada 2011 awalnya menggembirakan industri perbukuan. Setidaknya, ada payung hukum yang mengatur sistem perbukuan, terutama tanggung jawab dan kewajiban yang jelas dari pemerintah dan pemerintah daerah. Akan tetapi sayang, lagi-lagi persoalan perbukuan ”terlempar” dari agenda pembahasan di Komisi X DPR.

Diah Harianti, Kepala Kurkulum dan Perbukuan di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, mengaku tidak memahami siapa yang bertanggung jawab untuk mengurusi perbukuan nasional. Pusat Perbukuan yang kemudian disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan memang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.

Menurut Diah, ada juga pemberian block grant untuk membantu penulis-penulis meningkatkan kualitas penulisan buku. Akan tetapi, ini lagi-lagi terkait dengan jenis buku-buku yang layak untuk masuk ke sekolah.

”Indonesia harus mulai punya lembaga yang memikirkan buku secara serius. Bukan cuma menyelesaikan masalah perbukuan yang tak kunjung berujung, tetapi juga menyiapkan industri perbukuan menghadapi era digital,” kata Lucya. (ELN)

sumber: Kompas, 29 Juni 2012
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment