Helvry Sinaga
Menerawang Kotak Hitam Nusantara
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012
Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.
Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.
Helvry Sinaga
|
Jalan Panjang Sang Sastrawan MELODIA 50 X 70 CM Akrilik di atas kertas |
Tentang Sebuah Rumah
Perempuan itu masuk ke dalam ruang yang kosong dan berkata:
Mari kita mulai tinggal di sini.
Laki-laki itu menggeleng dan menjawab:
Ruang ini bahkan belum menjadi ruang. Ia hanya sesuatu yang
kosong.
*
Perempuan:
Mengapa kamu membangun dinding di sekeliling rumah kita?
Laki-laki:
Agar ia jadi sebuah rumah. Bukan dua buah.
Helvry Sinaga
Banjir di Cibaresah
Aba Mardjani
Gambar: Zusfa Roihan
Jika manusia memperlakukan alam dalam status yang sejajar sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, maka akan tercipta keseimbangan yang harmonis. Istilah alam sedang murka, atau alam tidak bersahabat, seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya alam juga makhluk yang dapat bersahabat. Banjir bukanlah datang begitu saja, tanpa sebab. Ia datang, karena keseimbangannya terganggu.
Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Helvry Sinaga
Tipikal cerita yang dibuat oleh Sori Siregar adalah menceritakan kehidupan nyata. Saya berpikir ada apakah yang terjadi dengan kondisi nyaman dan terjamin? apakah justru itu akan membuat nilai-nilai prinsipil menjadi tidak dikritisi lagi ataukah tetap kuno? Dalam cerita ini siapakah yang harus berubah? Dan apa yang berubah? Apakah dengan konsekwensi pahit, baru akan mengerti?
Malam telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.
Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.
Helvry Sinaga
Lantangnya Si "Jangan Bicara"
Aryo Wisanggeni
Terlahir sebagai anak petani, putus sekolah pada usia 12 tahun, meraih Nobel Sastra pada usia 57. Hidupnya penuh kontroversi. Dikritik aktivis hak asasi manusia karena dianggap dekat dengan Partai Komunis China, Mo Yan yang artinya ’jangan bicara’ juga pernah dituding subversif karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.
”Seorang penulis haruslah menyampaikan kritik dan kegelisahannya atas sisi gelap masyarakat dan keburukan sifat manusia,” ujar Mo Yan saat berbicara pada Frankfurt Book Fair 2009. Pernyataan itu menggambarkan bagaimana dan seperti apa karya Mo.
Mo seperti muncul sebagai sebuah kejutan di tengah spekulasi siapa penerima Nobel Sastra 2012. Akademi Swedia, sebagai lembaga yang menyeleksi penerima Nobel Sastra, selalu merahasiakan siapa yang menjadi nomine pemenang. Itu sebabnya setiap perhelatan Nobel selalu memunculkan spekulasi, bahkan taruhan.
Mo Yan menjadi warga negara China pertama dan orang China kedua yang meraih Nobel Sastra. Sastrawan kelahiran China dan berkewarganegaraan Perancis, Gao Xingjian, meraih penghargaan yang sama pada 2000. Kisah hidup Mo memang berbeda dari pendahulunya itu.
Helvry Sinaga
Syafiq Basri Assegaff
Media sosial kini makin diperhitungkan. Ramainya perbincangan soal Komisi Pemberantasan Korupsi di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, berhasil menarik perhatian presiden, yang rupanya cepat menyadari bahwa makin banyak orang geram pada upaya yang dianggap akan melemahkan KPK.
Riuhnya kicau (tweet) di Twittersphere, misalnya, menunjukkan adanya kekompakan rakyat untuk membangun kekuatan bersama. Tak kalah seru dibandingkan aksi demo di jalan atau di depan Gedung KPK, di media sosial itu rakyat ”memberontak” menjadi pembela KPK.
Kicau pengguna Twitter di Indonesia, yang kini diperkirakan berjumlah 28 jutaan orang, saling bersambut. Ada kicau murni dari akun yang jelas. Ada pula tweet dari akun palsu yang mengatasnamakan Ketua KPK Abraham Samad. Dengan sekitar 28.000 pengikut (follower), akun @SamadAbraham terang-terangan menuduh Presiden SBY korup. Ternyata itu bohong. ”Tidak benar Ketua KPK pernah menyatakan menyerang Presiden. Ketua KPK tak punya Twitter,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Helvry Sinaga
BS Mardiatmadja SJ
Anak yang diduga membunuh murid SMA Negeri 6 Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk tangan. Perlukah? Ya, sebab sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum. Kalau bisa seberat mungkin: untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita sekadar membelah cermin, walau sebenarnya ”buruk muka” kita.
Seorang ahli pendidikan di suatu radio swasta berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita adalah cermin kita—para orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin tingkah laku orangtua”. Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin dibelah”? Cukup edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di televisi—”kita sikat”?