Helvry Sinaga
Febri Diansyah
Hujan
di bulan November ini membawa ingatan saya pada tanggal-tanggal sibuk
empat tahun lalu. Bank Century, yang notabene sebuah bank kecil,
”disuntik” dana segar lebih dari Rp 6,7 triliun.
Tidak boleh ada
bank gagal saat itu karena membahayakan perekonomian Indonesia. Mereka
menyebutnya dengan istilah risiko dan dampak sistemik.
Setidaknya
ada 18 peristiwa penting terkait kasus Bank Century saat itu, sebagian
penuh kejanggalan. Sebut saja sederet kejadian 14 November 2008 ketika
kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank
Century sebesar Rp 689,34 miliar diputuskan.
Hari itu
terjadi sejumlah hal yang nyaris tak masuk akal, mulai dari pelaksanaan
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia lanjutan, yang membicarakan
perubahan peraturan Bank Indonesia (PBI). Ini diduga sebagai upaya
memuluskan talangan untuk Bank Century. Lalu, penyusunan draf revisi
PBI; penyampaian kepada Menteri Hukum dan HAM untuk diteliti; penerbitan
PBI No 10/30/PBI/2008 yang mengubah PBI No 10/26/ PBI/2006; penerbitan
surat edaran tentang petunjuk pemberian FPJP, pengajuan oleh Bank
Century, penelitian persyaratan FPJP oleh BI; perjanjian FPJP di depan
notaris antara BI dan Bank Century, hingga pencairan FPJP pertama Rp
356,81 miliar. Semua terjadi di satu hari yang sibuk.
|
Helvry Sinaga
Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata
Putu Fajar Arcana
Penyair selalu menempuh jalan sunyi dengan misi suci. Sunyilah yang menginspirasi untuk melahirkan buah berkah bagi kedalaman kemanusiaan. Percik permenungan yang dituliskannya adalah sari-sari dari kejujuran untuk membangun moralitas.
Umbu Wulang Landu Paranggi (69) masih seperti dulu. Cuma dalam dua pertemuan akhir Oktober 2012 di Denpasar, ia tampak lebih kurus. Tetapi, jelas, riak-riak kreativitas dan simpanan energi di dalam dirinya seperti empasan ombak Pantai Sindu, Sanur, tempat kami bertemu.
Umbu memilih Pantai Sanur bukan tanpa alasan. Cuaca malam hari di Sanur selalu penuh misteri. Gerak pepohonan, lorong-lorong desa, derit rumpun bambu, kunang-kunang di belukar liar, serta kerlap-kerlip bintang di kejauhan seakan berpadu dengan gemuruh ombak sepanjang pantai. ”Sanur masih saja mistis…,” kata penyair yang sudah lebih dari 50 tahun mengabdikan dirinya pada puisi.
Helvry Sinaga
Bre Redana
Secara alami manusia adalah makhluk politik, kata Aristoteles. Oleh karenanya, kehidupan publik dari masyarakat yang ”baik” alias nggenah tentulah merupakan cerminan para anggotanya.
Karena adanya sifat alami itu pula, mustahil berhasil sifat kepemimpinan yang mendasarkan diri pada sifat yang bertentangan dengannya. Contoh dari kepemimpinan yang tidak alami adalah kepemimpinan yang pretensius, lamis, kini populer disebut orang sebagai ”pencitraan”.
Hanyut terbawa arus teknologi visual yang membuat banyak orang tidak lagi bisa membedakan mana nyata, mana tidak nyata, sejumlah pemimpin mengalami deformasi kepribadian menyerupai para remaja yang ngetop secara mendadak di televisi. Bahasa tubuh seperti lulusan pelatihan etiket. Lambaian meniru finalis ratu kecantikan, telapak tangan tidak boleh lebih tinggi dari pundak. Seluruh gerak tertata, bahkan cara menarik napas.
Helvry Sinaga
Pasar Sejarah Nusantara
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)
Ahda Imran
ESAI Binhad Nurrohmat atau BN
”Menerawang Kotak Hitam Nusantara” (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan data sejarah.
Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu, BN seolah membuat semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah melalui novel.
Helvry Sinaga
Menerawang Kotak Hitam Nusantara
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012
Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.
Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.
Helvry Sinaga
|
Jalan Panjang Sang Sastrawan MELODIA 50 X 70 CM Akrilik di atas kertas |
Tentang Sebuah Rumah
Perempuan itu masuk ke dalam ruang yang kosong dan berkata:
Mari kita mulai tinggal di sini.
Laki-laki itu menggeleng dan menjawab:
Ruang ini bahkan belum menjadi ruang. Ia hanya sesuatu yang
kosong.
*
Perempuan:
Mengapa kamu membangun dinding di sekeliling rumah kita?
Laki-laki:
Agar ia jadi sebuah rumah. Bukan dua buah.
Helvry Sinaga
Banjir di Cibaresah
Aba Mardjani
Gambar: Zusfa Roihan
Jika manusia memperlakukan alam dalam status yang sejajar sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, maka akan tercipta keseimbangan yang harmonis. Istilah alam sedang murka, atau alam tidak bersahabat, seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya alam juga makhluk yang dapat bersahabat. Banjir bukanlah datang begitu saja, tanpa sebab. Ia datang, karena keseimbangannya terganggu.
Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Helvry Sinaga
Tipikal cerita yang dibuat oleh Sori Siregar adalah menceritakan kehidupan nyata. Saya berpikir ada apakah yang terjadi dengan kondisi nyaman dan terjamin? apakah justru itu akan membuat nilai-nilai prinsipil menjadi tidak dikritisi lagi ataukah tetap kuno? Dalam cerita ini siapakah yang harus berubah? Dan apa yang berubah? Apakah dengan konsekwensi pahit, baru akan mengerti?
Malam telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.
Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.