YOGYAKARTA, KOMPAS
— Budaya membaca masih perlu ditingkatkan bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan membaca di
keluarga oleh orangtua kepada anak-anaknya. Langkah ini diyakini efektif
untuk menumbuhkan minat, kegemaran, hingga budaya baca.
"Mengajak
anak untuk membaca buku bersama sejak kecil merupakan investasi yang
berharga untuk masa depan anak. Kami menyambut senang jika 'Gerakan
Membaca 10 Menit' didukung Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) supaya bisa diterapkan di semua keluarga," kata Heni
Wardatur Rohmah, pendiri Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam
acara seminar "Membangun Kebiasaan Membaca Anak sejak Dini" di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Heni dan
suaminya, Nuradi Indra Wijaya, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Mata
Aksara untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kedua anak mereka dalam
kandungan. Hingga kini, kedua buah hati mereka yang duduk di bangku SMP
dan SD itu sangat suka membaca.
Pada 7 Mei 2015, Universitas
Negeri Jakarta mengadakan pertemuan bedah buku karya teman terbaik, Prof
HAR Tilaar. Dalam pertemuan tersebut, antara lain, konsep ilmu
pendidikan dipersoalkan, khususnya untuk bangsa Indonesia. Persoalan
tersebut terefleksikan dalam judul buku.
Berikut analisis penulis.
Sebagai seorang pendidik di Indonesia, perlu diutarakan dan dibuktikan
bahwa pernyataan yang tertera dalam judul itu salah. Selain itu, perlu
diinformasikan, perkembangan ilmu pendidikan, sebagaimana sudah terjadi
sekarang, belum sepenuhnya disadari oleh tokoh-tokoh tertentu.
Tantangan dari teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya
interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari
modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran
baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap
kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas kehidupan
ataupun terhadap diri sendiri (Semiawan, C, 2011).
Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang adalah neuro-education. Tulisan penulis pernah dimuat di Kompas (17/2/2011) yang berjudul ”Neuro-education,
Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan”. Pendapat penulis bertolak dari
premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan luarbiasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru.
JAKARTA, KOMPAS — -
Hingga sekarang minat baca pada anak-anak di Indonesia masih rendah.
Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang dapat menarik minat anak-anak
kepada buku, salah satunya lewat mendongeng.
Terkait
dengan persoalan tersebut, akan digelar Festival Storytelling
Internasional bertajuk "The First Indonesia Internasional Storytelling
Festival 2015" pada 10-11 Oktober 2015. Acara ini bertujuan untuk
memopulerkan mendongeng serta meningkatkan minat baca anak-anak.
"Anak-anak
dapat menikmati alur cerita dengan senang. Itu juga metode yang efektif
untuk menyampaikan pesan dalam cerita," kata Ketua Panitia Pelaksana
BookStech 2015, Rismadhani Chaniago.
Selama ini,
banyak orangtua yang menganggap berdongeng butuh keterampilan khusus.
Akibatnya, mereka enggan mendongengkan cerita rakyat pada anak-anak.
Padahal, mendongeng bisa dilakukan oleh siapa pun.
"Orangtua
perlu diajak untuk membiasakan dongeng sebelum tidur. Mereka bisa
mengarang cerita atau membacakan buku cerita pada anak," katanya.
Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang
dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung
paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan
wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari
ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir.
Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian
terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang
sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan
lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang
lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang
tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama
itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci.
Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki
sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu
membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya,
sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri
karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu
tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang
menciptakannya.
Indonesia telah diberkahi, tak
hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayaan, tetapi juga oleh
sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang.
Berbagai gagasan ini merupakan hasil persaingan sekaligus percampuran
berbagai pandangan dari orang-orang berwawasan kosmopolitan yang
berupaya menjelajahi bentuk lokal modernitas hybrid.
”Sayangnya sejak pertengahan abad lampau, kekayaan budaya ini banyak
yang telah dihapus dari sejarah resmi ingatan bersama,” ujar Prof Ariel
Heryanto (61), peneliti, pengajar pada Jurusan Budaya, Sejarah dan
Bahasa, College Asia-Pasifik, The Australian University, di Canberra,
Australia.
Itulah pesan utama bukunya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, 2015), hasil terjemahan kritikus film Eric Sasono dari buku Identity and Pleasure: The Politics of Indonesia Screen Culture (NUS Press, 2014).
Ariel ditemui seusai peluncuran bukunya di Jakarta, awal Juli 2015.
Dua hari lalu, Minggu (17/5), Indonesia merayakan
Hari Buku Nasional. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
peringatan kali ini berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun
subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar mengentak atau menyulut
kesadaran baru tentang buku.
Perhatian
kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya,
kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar
akan me-reshuffle
Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja
yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor
sekian.
John W Gardner dalam bukunya Can We Be
Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat
menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang
diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan
peradabannya”.
Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas
sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik,
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan
membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika
Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan
diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.
Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk
bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas,
25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan
keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden
mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan
dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa
Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik
mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna
mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen
responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara
lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai
kepribadian bangsa diperlukan.
Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Tulisan Saut Poltak Tambunan bertajuk ”Bahasa Ibu, Apa Perlunya?” di
rubrik ini (28 Februari 2015), mengingatkan kembali ihwal ancaman
kepunahan bahasa-bahasa etnik. Saat ini, tersisa 746 bahasa daerah di
Indonesia dan pada akhir abad ke-21 diperkirakan hanya 75 bahasa daerah
yang bertahan. Sori Siregar menanggapi dengan tulisan bertajuk ”Pintu
Budaya Etnik” (14 Maret 2014). Ia mengaku baru bisa menikmati karya
Poltak, Mangongkal Holi,
yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage ”setelah buku pemenang itu
diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau
ada. ”Menurut Sori, ”Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa
ibu, seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal.”
Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu.
Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak
yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh
pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang,
ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang
Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai
bahasa Batak secara alamiah.
Bangsa Indonesia dikenal memiliki
banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun
sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi
demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata
kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian
kita.