Helvry Sinaga


Tulisan Kelinci Merah
Afrizal Malna
Kompas, 11 November 2012


Bau tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.

Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.

Helvry Sinaga
Jalan Panjang Sang Sastrawan MELODIA 50 X 70 CM Akrilik di atas kertas




Tentang Sebuah Rumah

Perempuan itu masuk ke dalam ruang yang kosong dan berkata:

Mari kita mulai tinggal di sini.

Laki-laki itu menggeleng dan menjawab:

Ruang ini bahkan belum menjadi ruang. Ia hanya sesuatu yang

kosong.

*

Perempuan:

Mengapa kamu membangun dinding di sekeliling rumah kita?

Laki-laki:

Agar ia jadi sebuah rumah. Bukan dua buah.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga



Banjir di Cibaresah
Aba Mardjani
Gambar: Zusfa Roihan

Jika manusia memperlakukan alam dalam status yang sejajar sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, maka akan tercipta keseimbangan yang harmonis. Istilah alam sedang murka, atau alam tidak bersahabat, seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya alam juga makhluk yang dapat bersahabat. Banjir bukanlah datang begitu saja, tanpa sebab. Ia datang, karena keseimbangannya terganggu.


Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Helvry Sinaga

Tipikal cerita yang dibuat oleh Sori Siregar adalah menceritakan kehidupan nyata. Saya berpikir ada apakah yang terjadi dengan kondisi nyaman dan terjamin? apakah justru itu akan membuat nilai-nilai prinsipil menjadi tidak dikritisi lagi ataukah tetap kuno? Dalam cerita ini siapakah yang harus berubah? Dan apa yang berubah? Apakah dengan konsekwensi pahit, baru akan mengerti?



Malam telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.

Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.
Helvry Sinaga
Lantangnya Si "Jangan Bicara"
Aryo Wisanggeni

Terlahir sebagai anak petani, putus sekolah pada usia 12 tahun, meraih Nobel Sastra pada usia 57. Hidupnya penuh kontroversi. Dikritik aktivis hak asasi manusia karena dianggap dekat dengan Partai Komunis China, Mo Yan yang artinya ’jangan bicara’ juga pernah dituding subversif karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.

”Seorang penulis haruslah menyampaikan kritik dan kegelisahannya atas sisi gelap masyarakat dan keburukan sifat manusia,” ujar Mo Yan saat berbicara pada Frankfurt Book Fair 2009. Pernyataan itu menggambarkan bagaimana dan seperti apa karya Mo.

Mo seperti muncul sebagai sebuah kejutan di tengah spekulasi siapa penerima Nobel Sastra 2012. Akademi Swedia, sebagai lembaga yang menyeleksi penerima Nobel Sastra, selalu merahasiakan siapa yang menjadi nomine pemenang. Itu sebabnya setiap perhelatan Nobel selalu memunculkan spekulasi, bahkan taruhan.

Mo Yan menjadi warga negara China pertama dan orang China kedua yang meraih Nobel Sastra. Sastrawan kelahiran China dan berkewarganegaraan Perancis, Gao Xingjian, meraih penghargaan yang sama pada 2000. Kisah hidup Mo memang berbeda dari pendahulunya itu.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga



Syafiq Basri Assegaff

Media sosial kini makin diperhitungkan. Ramainya perbincangan soal Komisi Pemberantasan Korupsi di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, berhasil menarik perhatian presiden, yang rupanya cepat menyadari bahwa makin banyak orang geram pada upaya yang dianggap akan melemahkan KPK.

Riuhnya kicau (tweet) di Twittersphere, misalnya, menunjukkan adanya kekompakan rakyat untuk membangun kekuatan bersama. Tak kalah seru dibandingkan aksi demo di jalan atau di depan Gedung KPK, di media sosial itu rakyat ”memberontak” menjadi pembela KPK.

Kicau pengguna Twitter di Indonesia, yang kini diperkirakan berjumlah 28 jutaan orang, saling bersambut. Ada kicau murni dari akun yang jelas. Ada pula tweet dari akun palsu yang mengatasnamakan Ketua KPK Abraham Samad. Dengan sekitar 28.000 pengikut (follower), akun @SamadAbraham terang-terangan menuduh Presiden SBY korup. Ternyata itu bohong. ”Tidak benar Ketua KPK pernah menyatakan menyerang Presiden. Ketua KPK tak punya Twitter,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga


Kurma Kiai Karnawi
Agus Noor
Kompas, 7 Oktober 2012
Gambar: Hanafi


TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan. Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa menyelamatkan.

Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astagfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang menyaksikan, ”Biarkan dia istirahat.”
Helvry Sinaga

BS Mardiatmadja SJ

Anak yang diduga membunuh murid SMA Negeri 6 Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk tangan. Perlukah? Ya, sebab sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum. Kalau bisa seberat mungkin: untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita sekadar membelah cermin, walau sebenarnya ”buruk muka” kita.

Seorang ahli pendidikan di suatu radio swasta berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita adalah cermin kita—para orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin tingkah laku orangtua”. Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin dibelah”? Cukup edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di televisi—”kita sikat”?
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Peristiwa G30S menyisakan banyak trauma dan kesedihan. Ketidakjernihan berpikir menyebabkan ketidakkritisan atas suatu keadaan. Dan bila disisipkan dengan dendam, maka tercipta suatu ramuan yang pas untuk menghilangkan seseorang dari bumi ini. Bagaimanakah rekonsiliasi tercipta? jika kebenaran yang mendahuluinya.
Helvry Sinaga

Setelah menunggu semalaman, kira-kira pukul 10.00 Wita di awal Juli 2012 lalu, Arie Smit membuka pintu. Ia keluar dari dalam bilik sisi kiri, di utara kolam renang Villa Sanggingan, Ubud, Bali, dibantu sebuah kruk. Pelan-pelan ia geser kakinya sebelum melemparkan tubuhnya yang besar di sebuah ”velbed” di beranda. Pelukis berdarah Belanda itu kini berusia 96 tahun!

Dari lantai dua sebuah cottage di lokasi yang sama, di mana saya menginap, terlihat Arie meregangkan tubuhnya beberapa saat. Tak sampai 5 menit ia masuk kembali ke dalam bilik. Kain pantai pembalut tubuhnya tertinggal di atas velbed. Pagi itu ia hanya mengenakan t-shirt yang dibungkus jaket lusuh, serta topi wol yang warnanya sudah pudar. Harapan untuk bisa bertemu sepertinya tipis. Sejak dulu Arie Smit sangat selektif menerima para tamu. Ia tidak terlampau menyukai keramaian.
Labels: 0 comments | | edit post