Helvry Sinaga
Sedihnya film Indonesia jka dibanding dengan film-film dari luar. Kelas film Indonesia sepertinya hanya seputar arwah, pocong, dan kemolekan tubuh.

Saya belum tahu apakah itu menggambarkan selera tontonan masyarakat pada umumnya, mengingat jumlah rakyat Indonesia yang terbesar justru di kalangan menengah ke bawah. Sama halnya seperti di televisi, penonton disuguhi dengan sinetron-sinetron yang memiliki jalan cerita tidak jelas. Akhirnya orang-orang (termasuk saya) beralih ke saluran televisi berbayar untuk menonton tayangan bermutu.

Terlalu naif jika kita mengatakan bahwa itu sepatutnya adalah tanggung jawab pemerintah. Anehnya, tidak ada masyarakat yang mengkritisi bahwa seharusnya perihal tontonan itu bagus atau tidak itu adalah hak kita sebagai konsumen. Dilihat dari segi ekonomi, seharusnya tidak ada barang yang gratis. Kalaupun gratis, kita membayarnya bukan dengan sejumlah uang, tapi dengan membuang waktu kita dengan percuma dengan menonton iklan komersil dari televisi tersebut.

Sebenarnya masyarakat kita terlalu enak dengan menikmati siaran olahraga sepakbola dengan gratis. menonton konser dengan gratis. Nah apakah berani kita bilang untuk tayangan lainnya, seperti sinetron atau reality show yang memuakkan adalah tanggung jawab pemerintah atau stasiun televisi itu juga?

Kembali ke film tadi. Semoga tayangan Indonesia semakin bermutu. Sudah banyak putra Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk belajar syuting, penyutradaraan, sinematografi, dan sebagainya, dan kabar baik lainnya banyak film yang diangkat ke layar lebar berasal dari novel-novel karya putra bangsa. Saya berharap karya seperti Laskar Pelangi, Rumah Tanpa Jendela. Ketika Cinta Bertasbih, dan sebagainya bisa menembus pasar internasional.

Semoga
@hws17032011
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment