Helvry Sinaga
Posted on March 29, 2011 by bukunya

by Okta Wiguna

Kerongkongan saya baru saja dimanjakan tegukan pertama ice cappuccino seorang kawan menyodorkan buku yang ditulis teman dekatnya. Tujuan pertemuan kami di sore itu memang buku yang berisi kisah perjalanan di mancanegara itu.

Kawan itu menyampaikan harapan penulis buku agar bisa mendapat kesempatan diresensi. “Cuma bisa meneruskan ya, tidak bisa janji akan dimuat,” kata saya. “Tidak apa-apa, dicoba saja,” jawabnya.

Buku itu memang terbilang unik dari segi isi, tapi desain sampulnya memang tak mendukung bahkan penulisnya sendiri tak terlalu menyukainya. Si penulis juga terbilang mau berkeringat. Berkeliling ke toko buku melihat bukunya, mengadakan kuis di akun Twitter sendiri dan juga lewat akun penerbitnya. Mati-matian dia berusaha agar bukunya itu terus hidup.



Upaya kerasnya itu rupanya disalahartikan penulis lainnya dari penerbit yang sama. Ada yang cemburu karena bukunya itu dipromosikan sementara miliknya tidak. Padahal memang penulisnya itu yang mati-matian terus berupaya menghidupkan bukunya.
Umur publisitas sebuah buku memang singkat. Saat baru terbit memang ada kehebohan, terutama karena penerbit rajin mempromosikannya. Jika beruntung, sebuah buku mendapat ruang resensi di surat kabar atau majalah. Tapi berminggu-minggu setelahnya, perlahan buku mulai tenggelam. Kalau penulisnya sendiri tak mau kerja keras memperpanjangnya, maka usia publisitas karya bakalan pendek.

Itu juga yang dirasakan novelis Miriam Gershow. Saat novelnya The Local News terbit, semua ramai membicarakan dan memujinya, bahkan media sekelas The New York Times meresensinya . “Tapi setelah itu sepi sunyi,” kata Miriam.

Miriam mengutip cerita editornya tentang dua hal yang menentukan kesuksesan penjualan buku: akses dan word of mouth. Akses adalah urusan penerbit untuk mendistribusikan buku ke toko besar dan kecil. Sementara kabar dari mulut ke mulut adalah “kewajiban” penulis.
Word of mouth bisa terjadi jika sebuah buku dimuat di media. Tapi media yang selalu menuntut kebaruan tak akan melirik lagi jika sudah lewat jauh dari waktu terbit. Dulu ketika saya menangani rubrik buku, ada aturan tak tertulis untuk tak memuat (resensi) jika sudah lewat dari tiga bulan sejak buku diterbitkan, betapapun bagusnya.

Lantas apa solusinya? Miriam memilih blogger buku. Ia bahkan secara khusus mengatur tur untuk bertemu para narablog yang secara khusus menulis soal buku. Selama empat bulan selepas tanggal terbit bukunya, cerita soal The Local News terus hidup.

Bahkan saat edisi paperback terbit –yang notabene isinya sama dengan versi hardcover– narablog masih mau membahasnya di blog mereka, sesuatu yang tak akan dilakukan suratkabar ataupun majalah. Miriam beruntung karena penerbitnya mendukung dengan menyuplai buku kepada para blogger secara cuma-cuma.

Buat Miriam, dari sudut pandang penulis blogger buku punya kelebihan daripada kritikus buku. Resensi yang mereka buat tak terlalu menyorot kualitas penulisan tapi soal seberapa nikmat buku itu: apakah mereka suka akhir ceritanya dan seperti apa perasaan mereka setelah membacanya. Hal-hal yang lebih menyentuh banyak pembaca.

Apakah dengan dimuat di blog penjualan buku terdongkrak? Tak ada yang tahu pasti karena memang belum ada penelitian yang sahih soal itu. Yang jelas pemuatan di blog membuat umur publisitas buku lebih panjang dari biasanya.

Kalau melihat gambar capture dari blog Surgabukuku di awal tulisan ini, bisa dilihat resensi The Thirteenth Tale terbitan 2008 yang masih ada di rak-rak toko buku namun sudah hampir tiga tahun berhenti dibicarakan. Dalam dunia blog waktu bergerak secara berbeda dari media konvensional.

Memang di Indonesia jumlah blogger buku memang belum sebanyak narablog yang menulis soal kuliner dan travel, namun mari simak kutipan komentar-komentar dari sebuah blog buku berikut:

“… Saya lebih suka resensi di cyber daripada di koran-koran karena mereka lebih jujur dibanding resensi di media-media cetak.” – Tanzil

“… resensi membantu penggemar buku memilih buku-buku terbaik. Meski saya enggak punya cukup waktu buat mengelola blog buku, tapi saya sering blogwalking mencari resensi.” – Lina

Mereka sebagian saja dari pecinta buku yang gemar menjelajahi resensi di dunia maya, mulai dari situs Goodreads hingga blog-blog pribadi. Mereka ini yang jadi pembaca setia resensi yang dibuat narablog buku. Blogger buku juga biasanya saling berjejaring dengan blogger buku lainnya. Mereka punya pengaruh di situs microblogging seperti Twitter dan jejaring social macam Facebook, serta siap melahap berbagai informasi terkini soal buku.

Sayangnya memang penulis ataupun penerbit belum memanfaatkan potensi ini. Memang ada sebuah penerbit yang berbaik hati memberikan buku kepada blogger yang datang mengetuk pintu, tapi sebagian besar masih memfokuskan promosi lewat media konvensional. Tapi dengan semakin sedikitnya suratkabar dan majalah yang mau menyediakan ruang untuk rubrik buku, strategi seperti itu bakalan semakin berat.

Lagipula selain soal publisitas Miriam berpandangan blogger buku sangat penting buat jiwa seorang penulis. Terlepas dari soal royalti, bukankah yang paling diinginkan penulis adalah karyanya dibaca dan diperbincangkan?

“Saya melihat blogger sebagai orang yang masih punya gairah besar terhadap buku, yang dengan rakus melahap bacaan, yang siang malam mendedikasikan waktu untuk membaca dan menulis soal buku,” kata Miriam. “Mereka mengingatkan saya bahwa yang saya lalukan tidaklah sia-sia.”

sumber : http://bukunya.wordpress.com
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment