Misteri Bola Bundar
Sindhunata
Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.
Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.
Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”
Sepak bola juga kaya filsafat. Tema inilah yang digarap dengan penuh humor oleh grup komiker Inggris, Monty Python, yang kemudian ditampilkan lagi oleh beberapa koran Jerman.
Sepak bola para filsuf, begitulah judul garapan video humor itu. Digambarkan, pertandingan itu terjadi tahun 1972 di Stadion Olympia, Muenchen. Dua kesebelasan yang berhadapan adalah Jerman dan Yunani.
Di pihak Jerman tidak bermain Gerd Mueller, Paul Breitner, atau Berti Vogts, tetapi pemikir-pemikir Jerman terkenal: Immanuel Kant, Schopenhauer, Schelling, Karl Jaspers, Schlegel, Wittgenstein, Nietzsche, dan Heidegger. Kapten kesebelasan Jerman adalah filsuf politik Hegel dan penjaga gawangnya adalah filsuf monisme Leibniz. Kata komentator, sebuah kejutan kecil adalah dipasangnya Franz Beckenbauer sebagai gelandang.
Di pihak Yunani, bertindak sebagai kapten dan penjaga gawang adalah Sokrates dan Plato. Sementara pasukan lain adalah filsuf-filsuf jagoan di zaman Yunani kuno: Epitet, Aristoteles, Sophokles, Empedokles, Plotinus, Epikurus, Herakleitos, Demokritos, dan Archimedes.
Pemain kedua kesebelasan tidak mengenakan kostum sepak bola, tetapi pakaian khas mereka sebagai filsuf dan manusia di zaman itu. Yang mengenakan kostum sport adalah tim wasit, yakni filsuf Konfusius dari China, dibantu oleh dua hakim garis, Thomas Aquinas dan Agustinus, yang adalah filsuf, teolog, dan orang suci sekaligus.
Konfusius meniup peluit. Kedua kesebelasan tidak memainkan bola, tetapi malah terbenam dalam pemikirannya sendiri. Dasar filsuf. Kemudian permainan berjalan, tetapi dalam tempo yang amat lamban membosankan. Nietzsche sempat mengecam wasit ”tidak mempunyai kehendak sendiri”. Nietzsche memang pemrotes mental budak. Baginya, manusia harus punya kehendak kuat agar bisa jadi manusia super. Protesnya tidak digubris dan wasit Konfusius malah memberinya kartu kuning.
Terjadi pergantian pemain, Wittgenstein diganti Karl Marx. Pada menit ke-90, Archimedes tiba-tiba berteriak, ”Heureka!” Heureka, artinya ’telah kutemukan’, adalah teriakan Archimedes setelah bergulat begitu lama untuk menemukan rumus yang kemudian terkenal dengan nama hukum Archimedes. Dengan teriakan itu, Archimedes lari, lalu memberikan umpan kepada Sokrates yang kemudian menjebol gawang Leibniz. 1-0 untuk Yunani.
Pertandingan berakhir. Marx protes, gol Sokrates berbau off-side, itu artinya Konfusius melakukan ketidakadilan, tak sesuai dengan prinsip perjuangan kelas yang menginginkan keadilan. Hegel juga protes. Argumennya sangat ontologis, gol itu adalah kenyataan apriori dari pikiran wasit sendiri, sungguh suatu pelanggaran terhadap etika naturalis. Dan, Kant mengecam wasit: gol itu hanya ada dalam imajinasi, tidak dalam kenyataan.
Apakah kejadian itu menjadi ramalan bagi nasib Jerman di masa depan? Tidak, mereka malah menggulung Yunani, 4-2, di Piala Eropa ini. Filsafat estetika sepak bola mereka ternyata berhasil mengalahkan filsafat antik sepak bola Yunani. Itu terjadi setelah Jerman lolos dari Grup B yang adalah grup neraka.
Kematian memang mengancam siapa yang bermain dalam grup neraka. Para teolog pernah memperdebatkan, apa neraka itu sungguh ada. Kata teolog Hans Urs von Balthasar, ”Neraka itu ada, tetapi kosong, soalnya Tuhan maha-pengampun.” Kata Joseph Ratzinger yang kini Paus Benediktus XVI, ”Neraka adalah gambaran orang yang hidup dalam kebencian dan menghukum diri dengan merusak cinta dan melakukan pembohongan diri bahwa dirinya tidaklah dicinta.”
Tampaknya, neraka adalah hukuman bagi yang egois. Itulah yang terjadi dalam bola ketika Arjen Robben dan kawan-kawan ”mati” di grup neraka. Belanda kaya dengan pemain hebat, tetapi cenderung egoistis, suka menonjolkan diri. Mereka melanggar hukum cinta bagi kesebelasannya. Akhirnya mereka terbenam dalam keterisolasian yang adalah kata lain bagi neraka.
Belanda terjeblos dalam kepedihannya. Namun, Belanda juga tetap cantik karena Sylvie van der Vaart. Sylvie terpesona melihat Joachim Loew, si pelatih modis dan seksi, saat Jerman menjebol gawang Belanda. Loew meloncat dan menari-nari.
Namun, kemarin malam Loew bersedih. Ia tak dapat menari lagi karena dua gol Mario Balotelli. Gol dahsyat Balotelli seakan berkata: Loew, Anda memang hebat dalam mencipta sepak bola indah, tetapi tampaknya Anda bukanlah pelatih yang tepat untuk meraih juara.
sumber: Kompas, 30 Juni 2012
Sindhunata
Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.
Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.
Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”
Sepak bola juga kaya filsafat. Tema inilah yang digarap dengan penuh humor oleh grup komiker Inggris, Monty Python, yang kemudian ditampilkan lagi oleh beberapa koran Jerman.
Sepak bola para filsuf, begitulah judul garapan video humor itu. Digambarkan, pertandingan itu terjadi tahun 1972 di Stadion Olympia, Muenchen. Dua kesebelasan yang berhadapan adalah Jerman dan Yunani.
Di pihak Jerman tidak bermain Gerd Mueller, Paul Breitner, atau Berti Vogts, tetapi pemikir-pemikir Jerman terkenal: Immanuel Kant, Schopenhauer, Schelling, Karl Jaspers, Schlegel, Wittgenstein, Nietzsche, dan Heidegger. Kapten kesebelasan Jerman adalah filsuf politik Hegel dan penjaga gawangnya adalah filsuf monisme Leibniz. Kata komentator, sebuah kejutan kecil adalah dipasangnya Franz Beckenbauer sebagai gelandang.
Di pihak Yunani, bertindak sebagai kapten dan penjaga gawang adalah Sokrates dan Plato. Sementara pasukan lain adalah filsuf-filsuf jagoan di zaman Yunani kuno: Epitet, Aristoteles, Sophokles, Empedokles, Plotinus, Epikurus, Herakleitos, Demokritos, dan Archimedes.
Pemain kedua kesebelasan tidak mengenakan kostum sepak bola, tetapi pakaian khas mereka sebagai filsuf dan manusia di zaman itu. Yang mengenakan kostum sport adalah tim wasit, yakni filsuf Konfusius dari China, dibantu oleh dua hakim garis, Thomas Aquinas dan Agustinus, yang adalah filsuf, teolog, dan orang suci sekaligus.
Konfusius meniup peluit. Kedua kesebelasan tidak memainkan bola, tetapi malah terbenam dalam pemikirannya sendiri. Dasar filsuf. Kemudian permainan berjalan, tetapi dalam tempo yang amat lamban membosankan. Nietzsche sempat mengecam wasit ”tidak mempunyai kehendak sendiri”. Nietzsche memang pemrotes mental budak. Baginya, manusia harus punya kehendak kuat agar bisa jadi manusia super. Protesnya tidak digubris dan wasit Konfusius malah memberinya kartu kuning.
Terjadi pergantian pemain, Wittgenstein diganti Karl Marx. Pada menit ke-90, Archimedes tiba-tiba berteriak, ”Heureka!” Heureka, artinya ’telah kutemukan’, adalah teriakan Archimedes setelah bergulat begitu lama untuk menemukan rumus yang kemudian terkenal dengan nama hukum Archimedes. Dengan teriakan itu, Archimedes lari, lalu memberikan umpan kepada Sokrates yang kemudian menjebol gawang Leibniz. 1-0 untuk Yunani.
Pertandingan berakhir. Marx protes, gol Sokrates berbau off-side, itu artinya Konfusius melakukan ketidakadilan, tak sesuai dengan prinsip perjuangan kelas yang menginginkan keadilan. Hegel juga protes. Argumennya sangat ontologis, gol itu adalah kenyataan apriori dari pikiran wasit sendiri, sungguh suatu pelanggaran terhadap etika naturalis. Dan, Kant mengecam wasit: gol itu hanya ada dalam imajinasi, tidak dalam kenyataan.
Apakah kejadian itu menjadi ramalan bagi nasib Jerman di masa depan? Tidak, mereka malah menggulung Yunani, 4-2, di Piala Eropa ini. Filsafat estetika sepak bola mereka ternyata berhasil mengalahkan filsafat antik sepak bola Yunani. Itu terjadi setelah Jerman lolos dari Grup B yang adalah grup neraka.
Kematian memang mengancam siapa yang bermain dalam grup neraka. Para teolog pernah memperdebatkan, apa neraka itu sungguh ada. Kata teolog Hans Urs von Balthasar, ”Neraka itu ada, tetapi kosong, soalnya Tuhan maha-pengampun.” Kata Joseph Ratzinger yang kini Paus Benediktus XVI, ”Neraka adalah gambaran orang yang hidup dalam kebencian dan menghukum diri dengan merusak cinta dan melakukan pembohongan diri bahwa dirinya tidaklah dicinta.”
Tampaknya, neraka adalah hukuman bagi yang egois. Itulah yang terjadi dalam bola ketika Arjen Robben dan kawan-kawan ”mati” di grup neraka. Belanda kaya dengan pemain hebat, tetapi cenderung egoistis, suka menonjolkan diri. Mereka melanggar hukum cinta bagi kesebelasannya. Akhirnya mereka terbenam dalam keterisolasian yang adalah kata lain bagi neraka.
Belanda terjeblos dalam kepedihannya. Namun, Belanda juga tetap cantik karena Sylvie van der Vaart. Sylvie terpesona melihat Joachim Loew, si pelatih modis dan seksi, saat Jerman menjebol gawang Belanda. Loew meloncat dan menari-nari.
Namun, kemarin malam Loew bersedih. Ia tak dapat menari lagi karena dua gol Mario Balotelli. Gol dahsyat Balotelli seakan berkata: Loew, Anda memang hebat dalam mencipta sepak bola indah, tetapi tampaknya Anda bukanlah pelatih yang tepat untuk meraih juara.
sumber: Kompas, 30 Juni 2012
Post a Comment