Helvry Sinaga
Judul: Hening di Ujung Senja
Pengarang: Wilson Nadeak
Gambar: I Putu Sudiana Bonuz
Narator cerpen ini menceritakan kesan dari teman-teman yang satu demi sati meninggalkan dunia fana ini. Waktu begitu cepat memakan usia, seakan terjadinya baru kemarin. Jangankan seusia 60 tahun 70 tahun, bertemu dengan teman-teman kecil saya yang sudah menikah dan punya anak, saya merasa baru seperti kemarin bermain sepeda dan main kasti.
Saya jadi merindukan kampung halaman. Kampung bersama teman-temannya. Kembali pada pemaknaan, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Apakah hidup ini hanya sekedar lahir, besar, menikah, punya anak cucu, dan mati? Jika Tuhan berkenan, saya akan menjawab pertanyaan ini kelak.
Helvry Sinaga
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya memanusiakan dan
mengangkat martabat orang miskin tak cukup dengan khotbah di gereja.
Charles Patrick Edward Burrows OMI atau Romo Carolus (70) membumikan
teologi inklusif dengan karya pastoral secara nyata di tengah masyarakat
miskin dan termiskin selama 38 tahun lebih. Maria Hartiningsih
Romo
Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar
gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku,
etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun
latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika
ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan
sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama
Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban
Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar
Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan
yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada
inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara
nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan,
keterbukaan, dan kebersamaan.
Helvry Sinaga
Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine
Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....
Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat
Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.
Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.
Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Judul: Tukang Pijat Keliling
Pengarang: Sulung Pamanggih
Kompas, 1 Juli 2012
Gambar: Endra Kong
Bingung juga memberi komentar atas cerpen ini. Paling tidak tahu apa profesi tukang pijat dan bagaimana perannya di masyarakat. Mungkin hampir mirip dengan tukang pangkas, dimana sering terjadi interaksi antara tukang pijat/pangkas dengan konsumennya. Tukang pijat seperti Darko disini sering berhubungan dengan masyarakat kecil yang memiliki keluhan-keluhan kehidupan yang barangkali tak jauh dari persoalan ekonomi. Masyarakat kecil sudah frustrasi dengan beratnya hidup dan mengabaikan akal sehat. Hal itu menyebabkan mereka menjadi percaya akan ramalan-ramalan membaca nasib, yang diharapkan mampu mengubah hidup mereka.Padahal apakah demikian? seringkali kita bersemangat bekerja jika kita berpikiran positif menjangkau mimpi kita, dan mungkin itulah yang dilakukan Darko, membangun dengan kata-kata.
--------------------------------------------------------
Helvry Sinaga
Misteri Bola Bundar
Sindhunata
Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.
Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.
Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”
Helvry Sinaga
Buku-buku Laris Manis, Selarik Cerita Berbeda
Suhartono
Hari pertama di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 24 tahun lampau, Ahmad Fuadi (39) terkejut dengan kata-kata man jadda wajada yang diteriakkan seorang guru saat mengajar dalam bahasa Arab.
Kata-kata itu kemudian diikuti para santri setiap pelajaran tersebut.
Fuadi yang kini dikenal sebagai penulis novel terlaris Negeri 5 Menara memiliki kenangan peristiwa itu. ”Seru juga waktu pertama kali diteriakkan man jadda wajada. Sebab, itu hal baru dan kita harus mengulang-ulang teriakannya. Waktu itu kita belum tahu apa artinya, sampai kemudian dijelaskan oleh guru,” ungkap Fuadi kepada Kompas, Rabu (27/6).
Helvry Sinaga
Oleh NURUL FATCHIATI
Seiring dengan kemajuan zaman, cepat atau lambat buku elektronik akan semakin populer di masyarakat. Apalagi berbagai macam gadget elektronik bukan barang asing lagi. Pertanyaan yang muncul, apakah e-book akan mampu mendongkrak minat masyarakat untuk membaca buku dan mengembangkan industri perbukuan?
Bukanlah pemandangan aneh, ketika orangtua asyik membaca buku, anak-anaknya sibuk memainkan gadget. Ini adalah potret perbedaan gaya hidup antara generasi tua dan muda, terutama merebak di kelas menengah di kota besar.
Helvry Sinaga
Penerbitan "Indie" Jadi Kanal
Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.
Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.
Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.
Helvry Sinaga
Oleh ORIN BASUKI
Munculnya beragam gadget elektronis yang mampu membaca setiap jenis dokumen digital telah membuat kecenderungan peralihan dari buku cetak ke buku elektronik tak terbendung lagi. Biaya produksi buku elektronik pun bisa memangkas separuh ongkos penerbitan buku cetak, terutama ongkos percetakannya, sehingga era digitalisasi isi buku menjadi keniscayaan.
Namun, kondisi itu bukan berarti kematian bagi buku cetak menjadi dekat. Setidaknya butuh waktu 20 tahun untuk industri buku elektronik atau e-book berkembang di Indonesia.
Eksekutif Pemasaran Bukukita.com Heru Oktaprianto di Jakarta, Selasa (26/6), mengantongi tiga alasan mengapa e-book tidak akan segera menggeser buku cetak. Pertama, pemilik gadget elektronik masih sangat terbatas pada masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas.
Kedua, pihak penerbit buku belum selesai membuat perhitungan bagi hasil dan margin dari penjualan e-book. Ketiga, orang masih cenderung menjadikan buku sebagai koleksi.