Helvry Sinaga
Pengajaran Sejarah
Siswono Yudo Husodo
John W Gardner dalam bukunya Can We Be Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan peradabannya”.
Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas, 25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai kepribadian bangsa diperlukan.
Helvry Sinaga
Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Helvry Sinaga
Bahasa
Bahasa Ibu dan Bahasa Etnik
Rainy MP Hutabarat
Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu. Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang, ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai bahasa Batak secara alamiah.
Helvry Sinaga
Mendorong Renaisans Perkeretaapian Indonesia
Nawa Tunggal
Bangsa Indonesia dikenal memiliki
banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun
sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi
demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata
kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian
kita.
Helvry Sinaga
Sejarah Kereta Api dalam Selembar Peta
Nawa Tunggal
Berbekal pendidikan teknik geodesi atau
ilmu pemetaan bumi, Artanto Rizky Cahyono (37) berhasil meringkas
sejarah panjang jalur perkeretaapian Indonesia dalam selembar peta.
Melalui peta itu, pegiat komunitas Indonesian Railway Preservation
Society itu mewujudkan kecintaannya pada perkeretaapian yang tumbuh
sejak kecil ketika tinggal di dekat Stasiun Maos, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah.
Helvry Sinaga
Kresna Menyusuri Wonogiri
Nawa Tunggal
Ketika kian mendekati Stasiun Wonogiri,
warga menghambur menyambut bus rel Batara Kresna, 11 Maret 2015.
Warga yang kebanyakan berusia lanjut itu menggandeng anak-anak
kecil, seakan ingin menunjukkan kereta api adalah masa lalu bagi yang
tua, tetapi masa depan bagi anak cucu mereka.
Ia turut bergembira menyambut bus rel (variasi dari kereta dengan bahan lebih ringan) yang digunakan sebagai Kereta Api Perintis Batara Kresna. Kereta itu akan mengaktifkan kembali jalur Stasiun Purwosari di Solo, Jawa Tengah, hingga Stasiun Wonogiri, Jateng.
Mbah Talem berdagang makanan ringan dan minuman di sebuah warung yang letaknya persis di muka pintu masuk stasiun. Pada pagi menjelang siang pertengahan Maret lalu itu, Mbah Talem sibuk melayani para pembeli.
Helvry Sinaga
Ngabean Menanti Reaktivasi
Nawa Tunggal
Hampir sepanjang 3.000 kilometer jalur
rel kereta api kita telah dimatikan. Reaktivasi begitu indah untuk
dibayangkan demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Namun,
ternyata tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang berani menghidupkan
kembali jalur-jalur rel mati itu.
”Pemerintah daerah sudah pernah membahas masalah pengaktifan kembali jalur kereta api melalui Stasiun Ngabean ini. Waktu itu tujuannya untuk menambah daya tarik pariwisata di Yogyakarta,” kata Krisnadi.
Stasiun Ngabean juga menyimpan sejarah penting. Menurut Tjahjono Rahardjo, anggota Indonesian Railway Preservation Society Semarang, yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Stasiun Ngabean pernah dilintasi kereta api jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono X menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1939.
Paku Buwono X lahir 29 November 1866 dan dinobatkan menjadi Raja Kasunanan Surakarta, 30 Maret 1893, pada usia 27 tahun. Masa kepemimpinannya 46 tahun hingga wafat pada 1 Februari 1939.
Semasa hidupnya, dia banyak bekerja di balik layar untuk mendukung pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya, dia menyokong pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada tahun 1905.
Selain sebagai penjaga kuat tradisi Jawa, Paku Buwono X juga dikenal sebagai pendorong modernisasi Jawa. Pada masanya, ia menciptakan sistem kredit rumah bagi warga kurang mampu.
Sejumlah pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah, seperti sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan, juga dibangun. Pasar Klewer dan Stasiun Solo Balapan termasuk warisannya.
,
- 1
- 2
Pundong dan Sewugalur
Rel dari arah Stasiun Tugu Yogyakarta ke Stasiun Ngabean, bercabang ke
dua arah, yaitu rel menuju stasiun akhir di Pundong, Bantul, dan ke
Sewugalur, Kulon Progo. Pada 1943 sampai 1944, rel dari Ngabean sampai
ke Pundong sepanjang 27 kilometer dipreteli Jepang. Nasib tragis serupa
dialami percabangan lain, yaitu rel dari Stasiun Palbapang di Bantul
hingga Sewugalur sepanjang 5 kilometer.Pada masa Hindia Belanda, keberadaan jalur rel tersebut berperan meningkatkan produksi tebu dan gula. Sebelum kereta api beroperasi saja, pada 1884 dilaporkan ekspor gula dari Yogyakarta mencapai 34.408 ton.
Produksi gula dari wilayah Yogyakarta pada masa Hindia Belanda mampu menyumbang 17 persen dari total ekspor gula dari Pulau Jawa ke Eropa. Ini diungkap Waskito Widi Wardojo dalam bukunya, Spoor Masa Kolonial (2014).
Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Iman Subarkah memaparkan, perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), membangun lintasan rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta ke Pundong dan Sewugalur tersebut. Pelaksanaannya bertahap.
Rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Srandakan sepanjang 23 kilometer mulai digunakan pada 21 Mei 1895. Pembangunan rel berlanjut di Srandakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer dan mulai digunakan pada 1 April 1915. Rel dari Brosot ke Sewugalur sepanjang 3 kilometer mulai digunakan pada 1 April 1916.
Pembangunan jalur Ngabean-Pundong juga terbagi dua tahap. Ngabean-Pasar Gede sepanjang 6 kilometer, mulai digunakan 15 Desember 1917. Kemudian dilanjutkan Pasar Gede-Pundong sepanjang 21 kilometer yang dioperasikan sejak 15 Januari 1919.
Bersama Asep Suherman, seorang pencinta kereta api yang pernah tergabung di Indonesian Railway Preservation Society, Kompas menyusuri bekas kedua jalur rel dari Stasiun Ngabean tersebut.
Jejak lintasan rel kereta api Ngabean-Pundong hampir tidak berbekas sama sekali. Asep lantas menunjukkan salah satu bekas fondasi jembatan rel kereta api di dekat Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta, di Jalan Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul.
Ketika menyusuri bekas jalur tersebut, Asep memanfaatkan penggabungan peta terkini dari Google Earth dengan peta lama jalur rel kereta api peninggalan Hindia Belanda.
Ada beberapa bekas jembatan sungai kecil untuk melintasi rel ke Pundong. Jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, misalnya, masih memperlihatkan fondasi kunonya. Namun, jalur rel lain sulit dikenali karena telah berubah menjadi lahan sawah atau jalan.
Untuk jalur Ngabean-Sewugalur, tidak terlalu sulit untuk melacaknya hingga Stasiun Palbapang, Bantul. Relnya masih ada, tetapi sebagian besar terpendam di dalam tanah.
Dari Palbapang, melewati Srandakan, lintasan rel kemudian menyeberang Kali Progo. Jembatan bekas jalur rel masih ada dan masih bisa dimanfaatkan warga. Namun, bagian tengah jembatan amblas sehingga kondisi beton di bagian tengah jembatan itu melengkung.
Di sebelah selatannya, sekarang dibangun jembatan baru untuk jalur utama kendaraan. Jejak jalur rel setelah menyeberangi Kali Progo juga masih terlacak. Di antaranya, berupa jembatan-jembatan kecil jalur rel untuk melintasi parit yang ada hingga menuju Sewugalur.
”Dulunya memang pernah ada rel kereta api di sini,” kata Hadi Subandi (78), warga Sewugalur. Jejak rel di Sewugalur sudah tidak berbekas.
Berdasarkan peta yang ditunjukkan Asep, perkiraan lokasi Stasiun Sewugalur sekarang sudah berubah menjadi SMP Negeri 2 Galur.
”Setiap stasiun yang ada di lintasan Ngabean ke Pundong dan Sewugalur ini hampir selalu memiliki percabangan lintasan rel ke sebuah pabrik gula. Itu sebabnya mengapa di Yogyakarta produksi gula terus meningkat sewaktu ada jalur rel kereta api yang juga digunakan untuk angkutan tebu ke pabrik-pabrik gula,” tutur Asep.
Baturetno
Titik akhir jalur rel kereta api di sebelah timur Pundong berada di
Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bersama ahli transportasi
Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijaranata, Semarang, Kompas berhasil melacak bekas Stasiun Baturetno, yang berjarak 19 kilometer dari Stasiun Wonogiri tersebut.Untuk mencapai lokasi Stasiun Baturetno, kami harus memutar arah ke sisi timur Waduk Gajah Mungkur. Jalur relnya sekarang terendam waduk itu.
”Reaktivasi jalur rel yang terbenam waduk bisa dibuat dengan konstruksi jembatan di atas air. Jika dilakukan, ini menjadi potensi wisata yang menarik, menambah potensi wisata lain di Waduk Gajah Mungkur,” kata Djoko.
Suyati (61), salah satu warga yang tinggal di dekat bekas bangunan Stasiun Baturetno, mengatakan, terakhir kali kereta api bisa digunakan dari Baturetno ke Surakarta ketika ia duduk di kelas IV SD tahun 1966. Setelah itu tidak bisa lagi karena ada banjir besar yang merusak beberapa jembatan jalur rel kereta.
Krisnadi di Ngabean berpandangan serupa dengan Djoko Setijowarno. Keduanya menilai, jika pemerintah mampu menghidupkan dan memanfaatkan kembali jalur-jalur kereta api yang pernah ada itu, ada potensi pariwisata yang menguntungkan. Hanya saja, untuk itu, perlu keberanian.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 12 dengan judul "Ngabean Menanti Reaktivasi".
Helvry Sinaga
CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian
Oleh: Gunawan Raharja
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.
Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
Helvry Sinaga
Dosen Tak (Boleh) Hanya Mengajar
Oleh: Elisabeth Rukmini
2 Komentar
FacebookTwitter
TERTIDUR
di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu
saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti
sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya terus saja kuliah dengan prinsip
mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya
adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu.
Meski demikian, saya merasa tertampar sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis interaktif.
Meski demikian, saya merasa tertampar sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis interaktif.