Helvry Sinaga

Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine

Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....


Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Judul: Tukang Pijat Keliling
Pengarang: Sulung Pamanggih
Kompas, 1 Juli 2012
Gambar: Endra Kong


Bingung juga memberi komentar atas cerpen ini. Paling tidak tahu apa profesi tukang pijat dan bagaimana perannya di masyarakat. Mungkin hampir mirip dengan tukang pangkas, dimana sering terjadi interaksi antara tukang pijat/pangkas dengan konsumennya. Tukang pijat seperti Darko disini sering berhubungan dengan masyarakat kecil yang memiliki keluhan-keluhan kehidupan yang barangkali tak jauh dari persoalan ekonomi. Masyarakat kecil sudah frustrasi dengan beratnya hidup dan mengabaikan akal sehat. Hal itu menyebabkan mereka menjadi percaya akan ramalan-ramalan membaca nasib, yang diharapkan mampu mengubah hidup mereka.Padahal apakah demikian? seringkali kita bersemangat bekerja jika kita berpikiran positif menjangkau mimpi kita, dan mungkin itulah yang dilakukan Darko, membangun dengan kata-kata.

--------------------------------------------------------


Helvry Sinaga
Misteri Bola Bundar
Sindhunata

Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.

Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.

Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Buku-buku Laris Manis, Selarik Cerita Berbeda

Suhartono

Hari pertama di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 24 tahun lampau, Ahmad Fuadi (39) terkejut dengan kata-kata man jadda wajada yang diteriakkan seorang guru saat mengajar dalam bahasa Arab.

Kata-kata itu kemudian diikuti para santri setiap pelajaran tersebut.

Fuadi yang kini dikenal sebagai penulis novel terlaris Negeri 5 Menara memiliki kenangan peristiwa itu. ”Seru juga waktu pertama kali diteriakkan man jadda wajada. Sebab, itu hal baru dan kita harus mengulang-ulang teriakannya. Waktu itu kita belum tahu apa artinya, sampai kemudian dijelaskan oleh guru,” ungkap Fuadi kepada Kompas, Rabu (27/6).

Helvry Sinaga

Oleh NURUL FATCHIATI

Seiring dengan kemajuan zaman, cepat atau lambat buku elektronik akan semakin populer di masyarakat. Apalagi berbagai macam gadget elektronik bukan barang asing lagi. Pertanyaan yang muncul, apakah e-book akan mampu mendongkrak minat masyarakat untuk membaca buku dan mengembangkan industri perbukuan?

Bukanlah pemandangan aneh, ketika orangtua asyik membaca buku, anak-anaknya sibuk memainkan gadget. Ini adalah potret perbedaan gaya hidup antara generasi tua dan muda, terutama merebak di kelas menengah di kota besar.

Helvry Sinaga
Penerbitan "Indie" Jadi Kanal

Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.

Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.

Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.

Helvry Sinaga

Oleh ORIN BASUKI

Munculnya beragam gadget elektronis yang mampu membaca setiap jenis dokumen digital telah membuat kecenderungan peralihan dari buku cetak ke buku elektronik tak terbendung lagi. Biaya produksi buku elektronik pun bisa memangkas separuh ongkos penerbitan buku cetak, terutama ongkos percetakannya, sehingga era digitalisasi isi buku menjadi keniscayaan.

Namun, kondisi itu bukan berarti kematian bagi buku cetak menjadi dekat. Setidaknya butuh waktu 20 tahun untuk industri buku elektronik atau e-book berkembang di Indonesia.

Eksekutif Pemasaran Bukukita.com Heru Oktaprianto di Jakarta, Selasa (26/6), mengantongi tiga alasan mengapa e-book tidak akan segera menggeser buku cetak. Pertama, pemilik gadget elektronik masih sangat terbatas pada masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas.

Kedua, pihak penerbit buku belum selesai membuat perhitungan bagi hasil dan margin dari penjualan e-book. Ketiga, orang masih cenderung menjadikan buku sebagai koleksi.

Helvry Sinaga
Pemerintah Tidak Serius Urusi Perbukuan

Membahas perbukuan di negeri ini belum beranjak dari problem klasik industri perbukuan. Kini, belitan masalah pengembangan industri perbukuan bertambah dengan ketidakjelasan siapa sang penanggung jawab utama.

Di tengah kemelut perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya, lembaga nonstruktural tidak menunjukkan kinerja baik.

Keputusan ini tentu mengagetkan kalangan perbukuan, seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Meskipun kiprah Dewan Buku Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 1999 belum nyata, pembubaran itu tetap disayangkan.

Helvry Sinaga
sumber: cetak.kompas.com
Oleh ST SULARTO

Dalam perubahan super cepat industri buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah, buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sektor industri lain.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.

Helvry Sinaga

Judul: Perempuan Balian
Pengarang: Sandi Firly
Gambar: Samuel Indratma
Kompas, 24 Juni 2012

Cerita gaib dari daerah Kalimantan tidak pernah habis. Sekalipun kemodernan yang dibawa oleh perusahaan tambang telah mencapainya, namun masih ditemukan bahwa masyarakat asli tetap mempertahankan budayanya. Saya tidak mengerti apakah profesi "orang pintar" di kalimantan juga dominasi dari laki-laki? tetapi dari cerita ini tampaknya demikian. Permasalahan utama cerita ini adalah ketidakseimbangan yang terjadi akibat ketidakpedulian manusia terhadap alam dan lingkungan. Masyarakat sepertinya menolak kehadiran Idang yang dianggap tidak waras dan membawa kesialan bagi orang kampung, sementara kehadiran perusahaan tambang yang akan merambah hutan mereka tetap dibiarkan.

Helvry Sinaga
Jakarta untuk Manusia
Oleh Yonky Karman

Kompas,23 Juni 2012

Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
(Bukan) Nasionalisme Musiman

Oleh Imam Cahyono


"History is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or national culture. It is determined by people."

(Alan Beattie)

Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi, denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.

Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara, perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam. Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan penjajah.

Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat berjaya menggenggam kedaulatan energi. Pada masa Soeharto, Pertamina terempas oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.

”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.

Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar. Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Bahasa Puitis

ANDRÉ MÖLLER

Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Walaupun memayahkan, menjemukan, dan sesekali menjengkelkan, bergaul dengan kamus-kamus setiap hari juga bukan kegiatan yang tidak membawa manfaat atau dapat membuka mata dengan lebih lebar. Kamus-kamus akhirnya jadi teman setia yang selalu sudi memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam.

Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga


Children's Books Publishing in Asia
Anonymous. Publishers Weekly258. 11 (Mar 14, 2011): n/a.

Abstract (summary)

In most parts of Asia, wizardry and fantastical plots have lost much of their magic after dominating the bestseller list for so long. Overall, picture books--local and translated--remain a big game this side of the world.

Helvry Sinaga

Judul: Jack dan Bidadari
Pengarang: Linda Christanty
Kompas, 10 Juni 2012
Gambar: Jendra

Seringkali sifat asli baru kelihatan setelah menjalani hubungan secara dekat. Karena itu, pemahaman yang baik dengan seorang teman dekat akan menyelamatkan diri maupun hubungan tersebut. Hal yang kerap kali diabaikan orang ketika mencari pengganti teman dekat adalah usaha untuk mengenal lebih jauh, baik sifat baik maupun sifat buruknya. Linda memaparkan fenomena tersebut dalam cerita pendek ini. Walau saya sendiri masih berkesan 'gantung' dengan akhir cerita ini, namun pesan yang ingin disampaikan adalah: "teman sejati selalu peduli"

Helvry Sinaga
Romo Soegijo
Arswendo Atmowiloto
dimuat di Kompas, 9 Juni 2012

Saya membaca judul film Soegijo dengan tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan terutama dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak menyebut predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu, bulat tak terceraikan.

Sebagaimana kredo nasionalisme yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada Katolik.

Sebagaimana hubungan istri-suami, tak selalu harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu jua adanya, tanpa kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan—yang sekilas paradoksal—adalah dinamika dari realitas empiris yang telah terbuktikan.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Judul: Sepasang Mata Malaikat
Pengarang: N Mursidi
Lukisan: Mohammad Ady Nugeraha

Katanya mata adalah jendela jiwa. Dari matalah terpancar kegirangan, keantusiasan, keingintahuan, kegelisahan, kebingungan, keteduhan, kesedihan, dan juga keindahan. Bicara mata juga bicara tentang bahasa. Ada bahasa-bahasa yang tidak terkatakan di sana, namun terceritakan. Tokoh Laki-laki dalam cerita ini sepertinya menyadari bahwa ia diawasi terus menerus. Mulut mungkin bisa bohong tetapi mata sangat sulit.

Ah..mata memang ada dimana-mana....
----------------------------------------
Helvry Sinaga
Judul: Tembiluk
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 27 Mei 2012

Sebuah cerita yang apik. Tidak memerlukan otak yang harus berpikir keras untuk mengerti jalannya cerita. Dengan cepat pembaca mengetahui apa inti ceritanya. Membaca cerita ini, saya mencoba bertanya, apakah masih demikian fenomena di Indonesia ini. Pertama, masihkah di tengah kehadiran agama, masih berlanjut praktek yang 'menguji' kesaktian suatu ilmu? Saya rasa masih mungkin, namun seharusnya tidak seseram di cerita awal. Kedua, apakah di kalangan para pejabat negeri ini masih ada yang mempercayakan kelangsungan jabatannya kepada seseorang yang 'dianggap'?

Persoalan mendasarnya sebenarnya terletak pada manusia itu sendiri, apakah telah didup dengnan berkecukupan?

Helvry Sinaga
Judul: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, 24 Mei 2012

Profesi yang paling dicari ketika akan mengadakan pesta pernikahan barangkali ada dua. Pertama, petugas pencatatan sipil, kedua adalah perias pengantin.
Petugas pencatatan sipil akan datang ketika akan dilangsungkan akad atau pemberkatan, sementara juru rias bertugas sebelum pesta pernikahan dan dimulai dari jam-jam subuh.

Kisah Bu Geni ini menjadi potret sebuah profesi yang jarang diulas orang, namun menjadi bagian penting dalam ritual terbesar seorang manusia. Pekerjaan merias pengantin mungkin tidak begitu populer seperti jasa-jasa prewedding atau wedding organizer, namun orang seperti Bu Geni ini ternyata ada di masyarakat. Pekerjaannya biasa, namun ucapan-ucapan Bu Geni, seolah menyadarkan apa sebenarnya hakikat pernikahan, saya menilai Bu Geni sepertinya lebih tepat menjadi sebagai konsultan pranikah.

Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan

”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”

Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”


Namun, yang saya tidak mengerti, ada apa di Bulan Desember?

-----------------------------------------------------------------------

Helvry Sinaga
Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012

Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut

Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!

Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?

Helvry Sinaga
sumber: Headline Kompas Minggu, 13 Mei 2012

Sudah hampir seminggu kejadian naas Pesawat Sukhoi Superjet 100 membahana. Temuan tim SAR di lapangan menunjukkan bahwa kondisi pesawat serta penumpangnya dalam keadaan hancur. Optimisme keluarga korban pun berubah dari harapan menjadi kepasrahan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi di dalam pesawat terutama di kokpit ketika kejadian itu. Yang ada dalam benak saya adalah: apakah pilot dan team tidak melakukan pengenalan lokasi terlebih dahulu? Mungkin jauh dari apa yang saya kira, namun fakta menunjukkan bahwa sang pilot baru pertama kali mengudara di wilayah Gunung Salak.

Saatnya bukan lagi mencari tahu siapa yang salah. Tetapi bahu membahu untuk menemukan jenazah korban agar dikembalikan kepada keluarga untuk dimakamkan secara kemanusiaan. Saya hanya bisa mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga korban. Semoga diberi ketabahan dan kekuatan dari Sang Khalik. Suatu saat pasti akan bertemu dalam keabadian. Kepada tim evakuasi saya berdoa semoga diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas melakukan evakuasi. Di lapangan ada 1000-an orang lebih bekerja sama untuk menaklukkan medan dan mengevakuasi jenazah maupun serpihan badan pesawat.

Dari kesaksian keluarga korban, saya dapat mengamati bahwa bermacam latar belakang pengalaman penumpang menaiki pesawat. Ada yang sudah sangat berpengalaman seperti Capt. Gatot Purwoko, seorang pilot yang juga penggemar kuliner. Ia adalah anggota milis Jalansutra yang sangat rajin menulis di mailing list. Bila melakukan pencarian dengan author Gatot Purwoko, maka terdapat sekitar 1800-an hasil postingan beliau. Dan inilah postingan terakhirnya di milis jalansutra (6 April 2012).


Dan saya rasa, semua dari penumpang Sukhoi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada orang-orang dekatnya, dan menjadikan kenangan sebagai bagian dari sisa hidup di dunia.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hidup itu penuh risiko dan singkat. Mari menghargainya dengan perbuatan baik. Selebihnya, hanya kepadaNyalah kita berpasrah.


helvry sinaga | 13 Mei 2012
Helvry Sinaga


Give Me Strength
This is my prayer to thee, my lord---strike,
strike at the root of penury in my heart.
Give me the strength lightly to bear my joys and sorrows.
Give me the strength to make my love fruitful in service.
Give me the strength never to disown the poor
or bend my knees before insolent might.
Give me the strength to raise my mind high above daily trifles.
And give me the strength to surrender my strength to thy will with love.


Rabindranath Tagore from Bengali
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
sumber: kompas 25 april 2012

Seumur-umur di Jakarta, saya belum pernah dan tidak akan berani naik ke atap kereta. Kenapa? saya takut. Beberapa kejadian yang saya alami selama naik kereta antara lain:
1. Kantong celana digerayangin, untung dompet sudah diselamatkan, tetapi sapu tangan saya ikut raib.
2. Pernah menyaksikan satu orang ditangkap penumpang lain karena ketahuan sebagai copet. Orang tersebut dipukuli dan ditendang dan bahkan diancam mau dilempar dari kereta yang sedang berjalan.
3. Berdiri di pintu kereta dengan berpegangan pada salah satu besi penyangga dimana penumpang begitu padatnya, sampai saya terdesak. Sekali pegangan saya terlepas, maka saya akan terlempar. Karena itu saya bertahan mati-matian seraya berharap stasiun terdekat segera tiba. Sampai di stasiun tangan saya gemetar luar biasa. Thank Lord.
4. Pada suatu ketika kereta sedang padat, saya mengobrol dengan teman saya dengan posisi tas ransel di depan. Kami berdua mengobrol sampai stasiun, dan ternyata sampai dii kosan, hp dan dompet teman saya telah hilang dari tas ranselnya akibat disobek dengan cutter. How come? nggak tahu.
5. Akibat menunggu kereta yang cukup lama (pada saat itu masih satu jalur serpong-tanah abang), datanglah kereta barang yang membawa batubara. Saya ikutan naik dan berdiri di antara sambungan gerbong. Don't try sodara-sodara, tidak enak!

Dan kejadian-kejadian lain yang mungkin dirasakan para pengguna moda transportasi ini. Lalu siapa yang dituntut? PT KAI? mereka sudah terlalu lelah untuk menerima cacian dan makian. Saya terinspirasi dengan salah seorang rektor universitas swasta terkemuka yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan kereta api adalah ia memiliki semua infrastruktur, sehingga kurang fokus pada pelayanannya. Ambil contoh jalan tol cipularang. Jalan tol yang mengelola beda, yang melintas disitu diminta bayaran. Sama dengan kereta, KAI punya rel, tawarkan aja ke swasta pengelolaan kereta dan stasiun, biar KAI fokus pada rel. Pasti ada konsekwensi, tetapi paling tidak akan mengurangi biaya pengelolaan kedua infrastruktur tersebut, saya yakin penumpang bersedia membayar lebih asal kualitasnya lebih bagus daripada sebelumnya, dan pasti efisiensi transportasi kita akan meningkat.

semoga kenekatan seperti foto di atas tidak akan terjadi lagi

*kerjaan stress siang-siang kelaperan*

helvry | 25 april 2012



Helvry Sinaga
Seberapa sering kita membuka kamus untuk mencari makna kata?
kadang merasa terlalu pintar untuk memberi suatu arti yang seringkali tidak pada ranahnya.
Percayalah kita bertambah bijak jika mau membuka kamus :)
buatlah kamus ceritamu

helvry | 21 April 2012
Helvry Sinaga

Hampir setiap hari hujan menyapa. Ada suatu kenikmatan tersendiri menikmati rintik hujan dalam kehangatan rumah. Pada satu artikel saya membaca bagaimana memperoleh gambar ciamik dari sebuah hujan, namun dengan tetap menjaga agar kamera tidak kebasahan.
Gambar di atas dari sebuah taman, pas selesai hujan. Masih jauh dari imajinasi saya. Masih belajar lagi.
EOS 550D
1/50
f/5.6
ISO 100
Labels: 2 comments | | edit post