JAKARTA, KOMPAS
— Dongeng dapat menumbuhkan minat membaca pada anak-anak. Kebiasaan
mendengarkan cerita lewat cara yang menyenangkan juga dapat merangsang
daya imajinasi dan kreativitas mereka.
"Minat baca anak Indonesia
masih rendah karena pendekatan, akses, dan kesempatan anak pada bahan
bacaan masih minim dan tak menarik. Mendongeng adalah pendekatan terbaik
untuk mengajak anak membaca buku," kata Manajer Program dan
Pengembangan Yayasan Literasi Anak Lebah Indonesia Rismadhani Chaniago
di Jakarta, Jumat (21/8).
Menurut dia, orangtua dapat menerapkan
teknik mendongeng saat membacakan buku-buku cerita. Dengan metode
bertutur, anak akan menangkap isi cerita dengan cara yang menyenangkan
serta mampu menangkap alur dengan baik. Orangtua juga dapat menyelipkan
nyanyian dan permainan ketika bercerita.
Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang
dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah
minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca
(buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan
penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi
manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca,
adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir,
menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang
dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum
mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti
angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak.
Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter,
mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah
jadi.
Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang
telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan,
proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik
bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan,
hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan
sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di
otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami
cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak
sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang
memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun
dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak
selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan.
Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap
kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik,
tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian
politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu
melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal
menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di
layar laptop
atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar
komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding
dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke
satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik
tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan
kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif,
interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau
pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru.
Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan
otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2015, di halaman
12 dengan judul "Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir".
Gerakan literasi yang tumbuh
dari inisiatif masyarakat tak sekadar menumbuhkan kegemaran membaca
buku, tetapi bergerak maju untuk memberdayakan masyarakat. Episentrum
gerakan bermula di pos-pos ronda di kampung-kampung. Semua
digerakkan oleh energi masyarakat, kecintaan terhadap buku, dan
kerinduan akan terjadinya perubahan.
Berbekal
semangat menumbuhkan rasa suka membaca, Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) Cakruk Pintar hadir di atas bekas pembuangan sampah warga di tepi
Sungai Gajahwong di Dusun Nologaten, Catur Tunggal, Depok, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sebuah pos ronda sederhana dari bambu berukuran 5
meter x 10 meter didirikan di tepi Sungai Gajahwong pada 2003. Pos
ronda itulah yang merangkap sebagai taman bacaan.
Meskipun masih
ada penolakan, pos ronda yang berfungsi sebagai perpustakaan itu bisa
dihadirkan. Koleksi buku milik penggagas taman bacaan itu, Muhsin
Kalida, menghiasi dinding-dinding bambu. Muhsin yang warga di kawasan
itu juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Membangun gerakan literasi untuk
menumbuhkan minat baca sekaligus memberdayakan masyarakat sesungguhnya
bisa dimulai dari hal sederhana. Muhsin Kalida (45), dosen di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memulainya dengan
mengajak masyarakat Dusun Nologaten, Caturtunggal, Depok, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyulap tempat pembuangan sampah di
sekitar permukiman warga jadi perpustakaan masyarakat dengan konsep
bangunan pos ronda.
Meskipun awalnya tidak mudah mengubah kebiasaan warga membuang sampah
sembarangan di Sungai Gajahwong yang tidak jauh dari rumah Muhsin, pada
2003 akhirnya bisa dibangun perpustakaan. Lokasinya, disatukan dengan
pos ronda. Perpustakaan yang berisi buku koleksi Muhsin ini, dikenal
dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar.
Kehadiran TBM Cakruk Pintar mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang
awalnya tak banyak bersentuhan dengan buku, jadi mulai suka membaca.
YOGYAKARTA, KOMPAS
— Budaya membaca masih perlu ditingkatkan bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan membaca di
keluarga oleh orangtua kepada anak-anaknya. Langkah ini diyakini efektif
untuk menumbuhkan minat, kegemaran, hingga budaya baca.
"Mengajak
anak untuk membaca buku bersama sejak kecil merupakan investasi yang
berharga untuk masa depan anak. Kami menyambut senang jika 'Gerakan
Membaca 10 Menit' didukung Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) supaya bisa diterapkan di semua keluarga," kata Heni
Wardatur Rohmah, pendiri Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam
acara seminar "Membangun Kebiasaan Membaca Anak sejak Dini" di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Heni dan
suaminya, Nuradi Indra Wijaya, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Mata
Aksara untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kedua anak mereka dalam
kandungan. Hingga kini, kedua buah hati mereka yang duduk di bangku SMP
dan SD itu sangat suka membaca.
Pada 7 Mei 2015, Universitas
Negeri Jakarta mengadakan pertemuan bedah buku karya teman terbaik, Prof
HAR Tilaar. Dalam pertemuan tersebut, antara lain, konsep ilmu
pendidikan dipersoalkan, khususnya untuk bangsa Indonesia. Persoalan
tersebut terefleksikan dalam judul buku.
Berikut analisis penulis.
Sebagai seorang pendidik di Indonesia, perlu diutarakan dan dibuktikan
bahwa pernyataan yang tertera dalam judul itu salah. Selain itu, perlu
diinformasikan, perkembangan ilmu pendidikan, sebagaimana sudah terjadi
sekarang, belum sepenuhnya disadari oleh tokoh-tokoh tertentu.
Tantangan dari teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya
interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari
modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran
baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap
kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas kehidupan
ataupun terhadap diri sendiri (Semiawan, C, 2011).
Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang adalah neuro-education. Tulisan penulis pernah dimuat di Kompas (17/2/2011) yang berjudul ”Neuro-education,
Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan”. Pendapat penulis bertolak dari
premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan luarbiasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru.
JAKARTA, KOMPAS — -
Hingga sekarang minat baca pada anak-anak di Indonesia masih rendah.
Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang dapat menarik minat anak-anak
kepada buku, salah satunya lewat mendongeng.
Terkait
dengan persoalan tersebut, akan digelar Festival Storytelling
Internasional bertajuk "The First Indonesia Internasional Storytelling
Festival 2015" pada 10-11 Oktober 2015. Acara ini bertujuan untuk
memopulerkan mendongeng serta meningkatkan minat baca anak-anak.
"Anak-anak
dapat menikmati alur cerita dengan senang. Itu juga metode yang efektif
untuk menyampaikan pesan dalam cerita," kata Ketua Panitia Pelaksana
BookStech 2015, Rismadhani Chaniago.
Selama ini,
banyak orangtua yang menganggap berdongeng butuh keterampilan khusus.
Akibatnya, mereka enggan mendongengkan cerita rakyat pada anak-anak.
Padahal, mendongeng bisa dilakukan oleh siapa pun.
"Orangtua
perlu diajak untuk membiasakan dongeng sebelum tidur. Mereka bisa
mengarang cerita atau membacakan buku cerita pada anak," katanya.
Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang
dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung
paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan
wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari
ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir.
Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian
terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang
sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan
lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang
lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang
tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama
itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci.
Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki
sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu
membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya,
sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri
karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu
tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang
menciptakannya.
Indonesia telah diberkahi, tak
hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayaan, tetapi juga oleh
sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang.
Berbagai gagasan ini merupakan hasil persaingan sekaligus percampuran
berbagai pandangan dari orang-orang berwawasan kosmopolitan yang
berupaya menjelajahi bentuk lokal modernitas hybrid.
”Sayangnya sejak pertengahan abad lampau, kekayaan budaya ini banyak
yang telah dihapus dari sejarah resmi ingatan bersama,” ujar Prof Ariel
Heryanto (61), peneliti, pengajar pada Jurusan Budaya, Sejarah dan
Bahasa, College Asia-Pasifik, The Australian University, di Canberra,
Australia.
Itulah pesan utama bukunya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, 2015), hasil terjemahan kritikus film Eric Sasono dari buku Identity and Pleasure: The Politics of Indonesia Screen Culture (NUS Press, 2014).
Ariel ditemui seusai peluncuran bukunya di Jakarta, awal Juli 2015.
Dua hari lalu, Minggu (17/5), Indonesia merayakan
Hari Buku Nasional. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
peringatan kali ini berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun
subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar mengentak atau menyulut
kesadaran baru tentang buku.
Perhatian
kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya,
kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar
akan me-reshuffle
Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja
yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor
sekian.
John W Gardner dalam bukunya Can We Be
Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat
menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang
diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan
peradabannya”.
Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas
sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik,
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan
membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika
Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan
diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.
Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk
bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas,
25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan
keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden
mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan
dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa
Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik
mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna
mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen
responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara
lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai
kepribadian bangsa diperlukan.
Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media
I Nyoman Darma Putra
Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.
Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.
Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.
Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Tulisan Saut Poltak Tambunan bertajuk ”Bahasa Ibu, Apa Perlunya?” di
rubrik ini (28 Februari 2015), mengingatkan kembali ihwal ancaman
kepunahan bahasa-bahasa etnik. Saat ini, tersisa 746 bahasa daerah di
Indonesia dan pada akhir abad ke-21 diperkirakan hanya 75 bahasa daerah
yang bertahan. Sori Siregar menanggapi dengan tulisan bertajuk ”Pintu
Budaya Etnik” (14 Maret 2014). Ia mengaku baru bisa menikmati karya
Poltak, Mangongkal Holi,
yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage ”setelah buku pemenang itu
diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau
ada. ”Menurut Sori, ”Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa
ibu, seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal.”
Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu.
Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak
yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh
pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang,
ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang
Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai
bahasa Batak secara alamiah.
Bangsa Indonesia dikenal memiliki
banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun
sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi
demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata
kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian
kita.
Berbekal pendidikan teknik geodesi atau
ilmu pemetaan bumi, Artanto Rizky Cahyono (37) berhasil meringkas
sejarah panjang jalur perkeretaapian Indonesia dalam selembar peta.
Melalui peta itu, pegiat komunitas Indonesian Railway Preservation
Society itu mewujudkan kecintaannya pada perkeretaapian yang tumbuh
sejak kecil ketika tinggal di dekat Stasiun Maos, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah.
Ketika kian mendekati Stasiun Wonogiri,
warga menghambur menyambut bus rel Batara Kresna, 11 Maret 2015.
Warga yang kebanyakan berusia lanjut itu menggandeng anak-anak
kecil, seakan ingin menunjukkan kereta api adalah masa lalu bagi yang
tua, tetapi masa depan bagi anak cucu mereka.
Dulu, stasiun ini ramai sekali. Sepur kluthuk
(berlokomotif mesin uap) mengangkut gamping (batu kapur) dari
Baturetno dan bakul-bakul sayur," ujar Mbah Talem (80) dengan wajah
berseri.
Ia turut bergembira menyambut bus rel (variasi
dari kereta dengan bahan lebih ringan) yang digunakan sebagai Kereta Api
Perintis Batara Kresna. Kereta itu akan mengaktifkan kembali jalur
Stasiun Purwosari di Solo, Jawa Tengah, hingga Stasiun Wonogiri,
Jateng.
Mbah Talem berdagang makanan ringan dan minuman di sebuah
warung yang letaknya persis di muka pintu masuk stasiun. Pada pagi
menjelang siang pertengahan Maret lalu itu, Mbah Talem sibuk melayani
para pembeli.
Hampir sepanjang 3.000 kilometer jalur
rel kereta api kita telah dimatikan. Reaktivasi begitu indah untuk
dibayangkan demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Namun,
ternyata tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang berani menghidupkan
kembali jalur-jalur rel mati itu.
Suatu siang pertengahan Maret 2015, Manajer Sekretariat Koperasi Pariwisata Ngabean Yogyakarta Krisnadi menyambut Kompas
untuk memotret dan melihat-lihat kondisi bekas Stasiun Ngabean, di
sebelah barat kawasan Keraton Yogyakarta. Bangunan yang diperkirakan
didirikan sekitar tahun 1895 itu kini digunakan untuk mengelola paket
perjalanan wisata dengan mobil minibus menuju Pagelaran, Keben,
Magangan, dan Taman Sari, area wisata utama Keraton Yogyakarta.
”Pemerintah daerah sudah pernah membahas masalah pengaktifan kembali
jalur kereta api melalui Stasiun Ngabean ini. Waktu itu tujuannya untuk
menambah daya tarik pariwisata di Yogyakarta,” kata Krisnadi.
Stasiun Ngabean juga menyimpan sejarah penting. Menurut Tjahjono
Rahardjo, anggota Indonesian Railway Preservation Society Semarang, yang
juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Stasiun Ngabean
pernah dilintasi kereta api jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri
Susuhunan Paku Buwono X menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di
Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1939.
Paku Buwono X lahir 29 November 1866 dan dinobatkan menjadi Raja
Kasunanan Surakarta, 30 Maret 1893, pada usia 27 tahun. Masa
kepemimpinannya 46 tahun hingga wafat pada 1 Februari 1939.
Semasa hidupnya, dia banyak bekerja di balik layar untuk mendukung
pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya, dia
menyokong pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada
tahun 1905.
Selain sebagai penjaga kuat tradisi Jawa, Paku Buwono X juga dikenal
sebagai pendorong modernisasi Jawa. Pada masanya, ia menciptakan sistem
kredit rumah bagi warga kurang mampu.
Sejumlah pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah, seperti
sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan, juga dibangun. Pasar Klewer dan
Stasiun Solo Balapan termasuk warisannya.
,
1
2
Kenangan lain adalah dia dinilai berhasil mempersatukan trah Kerajaan
Mataram, yang sejak 1755 terpecah jadi Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta.
Pundong dan Sewugalur
Rel dari arah Stasiun Tugu Yogyakarta ke Stasiun Ngabean, bercabang ke
dua arah, yaitu rel menuju stasiun akhir di Pundong, Bantul, dan ke
Sewugalur, Kulon Progo. Pada 1943 sampai 1944, rel dari Ngabean sampai
ke Pundong sepanjang 27 kilometer dipreteli Jepang. Nasib tragis serupa
dialami percabangan lain, yaitu rel dari Stasiun Palbapang di Bantul
hingga Sewugalur sepanjang 5 kilometer.
Pada masa Hindia Belanda, keberadaan jalur rel tersebut berperan
meningkatkan produksi tebu dan gula. Sebelum kereta api beroperasi saja,
pada 1884 dilaporkan ekspor gula dari Yogyakarta mencapai 34.408 ton.
Produksi gula dari wilayah Yogyakarta pada masa Hindia Belanda mampu
menyumbang 17 persen dari total ekspor gula dari Pulau Jawa ke Eropa.
Ini diungkap Waskito Widi Wardojo dalam bukunya, Spoor Masa Kolonial (2014).
Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992,
Iman Subarkah memaparkan, perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland
Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), membangun lintasan rel dari
Stasiun Tugu Yogyakarta ke Pundong dan Sewugalur tersebut.
Pelaksanaannya bertahap.
Rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Srandakan sepanjang 23
kilometer mulai digunakan pada 21 Mei 1895. Pembangunan rel berlanjut di
Srandakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer dan mulai digunakan pada 1
April 1915. Rel dari Brosot ke Sewugalur sepanjang 3 kilometer mulai
digunakan pada 1 April 1916.
Pembangunan jalur Ngabean-Pundong juga terbagi dua tahap. Ngabean-Pasar
Gede sepanjang 6 kilometer, mulai digunakan 15 Desember 1917. Kemudian
dilanjutkan Pasar Gede-Pundong sepanjang 21 kilometer yang dioperasikan
sejak 15 Januari 1919.
Bersama Asep Suherman, seorang pencinta kereta api yang pernah tergabung di Indonesian Railway Preservation Society, Kompas menyusuri bekas kedua jalur rel dari Stasiun Ngabean tersebut.
Jejak lintasan rel kereta api Ngabean-Pundong hampir tidak berbekas
sama sekali. Asep lantas menunjukkan salah satu bekas fondasi jembatan
rel kereta api di dekat Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta, di Jalan
Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul.
Ketika menyusuri bekas jalur tersebut, Asep memanfaatkan penggabungan
peta terkini dari Google Earth dengan peta lama jalur rel kereta api
peninggalan Hindia Belanda.
Ada beberapa bekas jembatan sungai kecil untuk melintasi rel ke
Pundong. Jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung,
Kecamatan Jetis, Bantul, misalnya, masih memperlihatkan fondasi kunonya.
Namun, jalur rel lain sulit dikenali karena telah berubah menjadi lahan
sawah atau jalan.
Untuk jalur Ngabean-Sewugalur, tidak terlalu sulit untuk melacaknya
hingga Stasiun Palbapang, Bantul. Relnya masih ada, tetapi sebagian
besar terpendam di dalam tanah.
Dari Palbapang, melewati Srandakan, lintasan rel kemudian menyeberang
Kali Progo. Jembatan bekas jalur rel masih ada dan masih bisa
dimanfaatkan warga. Namun, bagian tengah jembatan amblas sehingga
kondisi beton di bagian tengah jembatan itu melengkung.
Di sebelah selatannya, sekarang dibangun jembatan baru untuk jalur
utama kendaraan. Jejak jalur rel setelah menyeberangi Kali Progo juga
masih terlacak. Di antaranya, berupa jembatan-jembatan kecil jalur rel
untuk melintasi parit yang ada hingga menuju Sewugalur.
”Dulunya memang pernah ada rel kereta api di sini,” kata Hadi Subandi
(78), warga Sewugalur. Jejak rel di Sewugalur sudah tidak berbekas.
Berdasarkan peta yang ditunjukkan Asep, perkiraan lokasi Stasiun Sewugalur sekarang sudah berubah menjadi SMP Negeri 2 Galur.
”Setiap stasiun yang ada di lintasan Ngabean ke Pundong dan Sewugalur
ini hampir selalu memiliki percabangan lintasan rel ke sebuah pabrik
gula. Itu sebabnya mengapa di Yogyakarta produksi gula terus meningkat
sewaktu ada jalur rel kereta api yang juga digunakan untuk angkutan tebu
ke pabrik-pabrik gula,” tutur Asep.
Baturetno
Titik akhir jalur rel kereta api di sebelah timur Pundong berada di
Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bersama ahli transportasi
Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijaranata, Semarang, Kompas berhasil melacak bekas Stasiun Baturetno, yang berjarak 19 kilometer dari Stasiun Wonogiri tersebut.
Untuk mencapai lokasi Stasiun Baturetno, kami harus memutar arah ke
sisi timur Waduk Gajah Mungkur. Jalur relnya sekarang terendam waduk
itu.
”Reaktivasi jalur rel yang terbenam waduk bisa dibuat dengan konstruksi
jembatan di atas air. Jika dilakukan, ini menjadi potensi wisata yang
menarik, menambah potensi wisata lain di Waduk Gajah Mungkur,” kata
Djoko.
Suyati (61), salah satu warga yang tinggal di dekat bekas bangunan
Stasiun Baturetno, mengatakan, terakhir kali kereta api bisa digunakan
dari Baturetno ke Surakarta ketika ia duduk di kelas IV SD tahun 1966.
Setelah itu tidak bisa lagi karena ada banjir besar yang merusak
beberapa jembatan jalur rel kereta.
Krisnadi di Ngabean berpandangan serupa dengan Djoko Setijowarno.
Keduanya menilai, jika pemerintah mampu menghidupkan dan memanfaatkan
kembali jalur-jalur kereta api yang pernah ada itu, ada potensi
pariwisata yang menguntungkan. Hanya saja, untuk itu, perlu keberanian.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 12 dengan judul "Ngabean Menanti Reaktivasi".
CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian
Oleh: Gunawan Raharja
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.
Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
TERTIDUR
di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu
saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti
sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya terus saja kuliah dengan prinsip
mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya
adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu. Meski demikian, saya merasa tertampar
sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga
ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika
dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis
interaktif.
Harapan untuk menjadi bagian dari sastra dunia, sejak beberapa tahun
belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam ranah sastra Indonesia.
Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk penerjemahan
karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih
tampak berperan sebagai EO (event organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur, guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia.
Begitu juga lembaga pemerintah yang berperan menjalankan kerja
diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan perhatian pada sastra, sebagai
bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel Indonesia telah
diterbitkan oleh penerbit major label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang bersangkutan.
Para sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang
terseleksi oleh komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh
tradisi sastra di negara-negara Asia lainnya. Inferioritas semacam ini
cukup membebani
iklim kekaryaan. Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international.
Muncul kesan, sastra Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika
belum tersedia dalam bahasa asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku
sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Bagi masyarakat Karo, uis gara (ulos dalam bahasa Batak) telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama berkaitan dengan acara adat,
termasuk upacara pemakaman.
Aktivitas
pekerja di usaha tenun menggunakan alat tenun mesin di Balige, Toba
Samosir, Sumatera Utara. Usaha ini terkena imbas pemadaman listrik
bergilir di Sumatera Utara yang menyebabkan produksi tenun turun.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bagi masyarakat Karo ulos telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari terutama terkait acara adat termasuk upacara pemakaman.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja
menunjukan contoh cetakan untuk motif tenun uis (ulos) Karo di usaha
tenun menggunakan alat tenun bukan mesin TriasTambun di Kabupaten Tanah
Karo, Sumatera Utara.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Proses menyirat ulos
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Perajin ulos di Meat, Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Sebagai artefak
budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan
kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab,
tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.Kabut
pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga
petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon
(24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring
sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa
Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi
solusi praktis.
Sambil mencuci baju, Nani
menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I
Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian
danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di
danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.
Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah?
Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia
untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu
menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.
Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan
sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara
lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada
posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi
status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah
di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang
bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski
dipuja tetapi tak cukup didengar.
Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu,
kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan
meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga
dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair
dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik,
beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita
filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori”
kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.