Helvry Sinaga

TUGAS KEMANUSIAAN
Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy


Manusia adalah fenomena ajaib. Jika keajaiban itu dieksplorasi maksimal, akan tercipta apa yang dikategori sebagai mukjizat. Namun, meski semua manusia memiliki potensi sama, hanya sedikit yang menyadarinya. Sebagian besar lainnya menyerah di sandaran ”nasib”.

Satu dari sangat sedikit orang yang menyadari potensi dan keajaiban itu adalah budayawan Radhar Panca Dahana (47). Dengan 20 penyakit permanen stadium akut yang muncul setelah cuci darah tiga kali seminggu, 11 tahun terakhir, Radhar terus berkarya. Ia bahkan sangat produktif di puncak-puncak kesakitannya.

”Setiap hari, enam dari 20 penyakit itu, gejalanya keluar,” ujar Radhar. Seluruh bagian tubuh diganggu oleh kehadiran penyakit ikutan itu, termasuk panca indranya. ”Kalau saya diam, sebagian keluar. Begitu keluar, saya tahu metabolisme saya akan bekerja dengan cara yang berbeda. Jadi, saya tak bisa membiarkan diri saya tidak aktif karena metabolismenya pun akan menyusut.”
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Norman Erikson Pasaribu
Gambar: Denden Hendan Durahman
Kompas, 9 September 2012

Bagaimana rasanya menjadi benda-benda yang dekat dengan kehidupan manusia seperti handphone, blackberry, kendaraan, dan sebagainya. Seandainya mereka dapat berdialog, tentu saja mereka akan memberi kesaksian tentang bagaimana perilaku majikannya. Kadangkala ketika kita menyelami hal-hal seperti yang diceritakan Norman ini, yang dinamakan benda-benda 'mati' pun punya permasalahannya sendiri.



KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Helvry Sinaga

sumber:  http://markexton.edublogs.org/

Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.

Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.

Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.

Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Seberapa tahukah kita akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia? Seberapa banyak saluran informasi yang tersedia untuk mengabarkannya pada kita? Pengalaman saya selama ini dalam mengunjungi tempat-tempat menarik, kebanyakan bersumber dari para traveller yang menulis kisah perjalanan mereka atau dari mereka langsung. Sebagai contoh, objek wisata pantai di Kiluan, Lampung, pertama kali saya dengar dari buku "Meraba Indonesia" Farid Gaban. Beberapa traveller menuliskan di blog mereka atau menerbitkan buku kisah perjalanan mereka. Tetapi itu masih jauh dari cukup. Coba lakukan survey sederhana di sekitar kita, teman-teman Anda lebih banyak tahu mana, tempat-tempat wisata di luar negeri atau dalam negeri?
Labels: , 6 comments | | edit post
Helvry Sinaga




Saat Lebaran, banyak orang mensyukuri lengangnya jalanan Jakarta. Enak kalau begini terus. Tidak macet.

Seperti para majikan yang mensyukuri kelengangan Jakarta di satu pihak, sementara di lain pihak merindukan para pembantu segera balik, itulah sifat mendua kita. Tak mungkin kalangan profesional menikmati kemakmuran dan kemudahan, tanpa ditopang faktor penunjang, di antaranya urusan domestik yang sehari-hari diambil-alih para pembantu. Bentuk paling banal dari kepentingan praktis-pragmatis itulah dia: enaknya sendiri.

Dunia pasca-ideologi sejatinya memang cuma berisi kepentingan-kepentingan pragmatik. Sifat permukaan kepentingan ini mengaburkan kepentingan bersama yang lebih dalam, lebih luas. Tidak usah merasa ini sebagai serangan terhadap pribadi-pribadi. Lingkungan sosial kita sehari-hari mengisyaratkan bagaimana pragmatisme mengatasi segala-galanya sekarang.
Helvry Sinaga

Penakluk Lebah
Penulis: S Prasetyo Utomo
Gambar: Yuswantoro Adi
Kompas, 2 September 2012

Saya bingung menarik kesimpulan tentang apa pesan yang hendak diutarakan oleh penulis. Kisahnya menurut saya sangat biasa, dan sangat cocok diceritakan kepada anak-anak. Barangkali pesan yang bisa disampaikan adalah pertama, agar tidak mengganggu hewan-hewan yang secara insting juga tidak mengganggu kita. Kedua, agar bermurah hati kepada orang yang memerlukan pertolongan, dan ketiga agar menggunakan akal sehat dalam menimbang sesuatu. Kiai Sodik sepertinya hanya beruntung didatangi lebah, bagaimana jika tidak? mungkin lain ceritanya.


Aku
Helvry Sinaga

Aku
Penulis: Adi Zamzam
Gambar:K Nawasanga
Kompas, 26 Agustus 2012

Agak absurd menerjemahkan siapakah aku ini? Tetapi dari uraian-uraian yang disajikan, tokoh yang dinamakan aku ini adalah 'cermin' dari apa yang ada di dunia nyata ini. Sesuatu yang di luar dunia sana memandang ke dunia nyata ini seperti melihat sebuah akuarium. Sesuatu yang sifatnya abstrak namun memiliki kelanjutan hidup yang abadi, sepertinya ia lebih tua dari dunia ini. Siapakah dia? mungkin Ia yang tinggal di hati kita.
Helvry Sinaga

Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.

Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep ”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Genetika Pulang
Oleh Acep Iwan Saidi

Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.

Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.

Akan tetapi, barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

DIPERKAYA DAN MEMPERKAYA
Maria Hartiningsih & Myrna Ratna


Pengalaman khas dan berbeda yang dibagi dalam komunikasi terbuka dan kesalingan belajar akan saling memperkaya identitas individu religius.

Syafaatun Almirzanah PhD (49) menghidupi setiap pengalaman perjumpaan sebagai cahaya yang memperkaya jiwa untuk menuju kepada Yang Satu. Melalui perjalanan panjang, ia meyakini, hanya dalam komunikasi yang terbuka dan dialog mendalam dengan kerendahan hati, dimungkinkan perjumpaan untuk saling memperkaya dan diperkaya.

Itu sebabnya, ”Pengalaman bergaul dengan orang lain sangat penting dalam hidup,” ujar intelektual serta pakar kajian Islam dan kajian agama-agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Bagaimana tingkah polah, karakter seseorang pada dasarnya terbentuk dari banyak faktor. Boleh dari masa kecil, lingkungan pendidikan, pembelajaran, pengalaman, atau pengaruh seseorang/tokoh dikagumi. Semua pelajaran tersebut dapat belajar sendiri, maupun belajar dari pengalaman/pengajaran orang lain. Namun, pelajaran yang mungkin harus dialami sendiri oleh masing-masing orang adalah belajar bertanggung jawab. Sebaik apapun materi pelajaran tentang tanggung jawab atau studi kasus yang mencontohkan tanggung jawab, satu-satunya pelajaran yang paling efektif adalah mengalami langsung.

Kapan seseorang harus berlatih bertanggung jawab? sejak dini. Sejak anak-anak diberikan pilihan-pilihan kecil, maka ia harus belajar mengambil konsekwensi atas pilihan-pilihan tersebut. Apa dampaknya jika ia tidak belajar langsung? Rasa empati dan kepedulian akan terkikis dan gersang.

Penulis cukup cerdas menjadikan seragam sebagai identitas yang menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, meski dalam pemaknaan yang berbeda. Pemaknaan yang berakibat pada kepedulian.
Helvry Sinaga
Sekitar dua minggu lalu, saya mengunjungi Museum Fatahillah di kota tua. Sudah tersohor bekas gedung pemerintahan VOC itu sangat banyak dikunjungi orang sembari berfoto. Saya menggunakan kamera pocket Kodak milik teman saya. Bersama dengan teman-teman jadilah beberapa foto pilihan berikut.

Tri Mises

Di depan Papan Tulis

Dua Orang yang Beristirahat

Tanpa Tripod


Setelah berfoto di dalam gedung, akhirnya saya mencoba fasilitas panorama yang ada dalam kamera tersebut, dan kemudian mencoba mengambil gambar bangunan itu. Saya berjalan kurang lebih 40-50 meter, menyetel panorama mode, dan saya puas setelah melihat previewnya di viewfinder kamera tersbut, namun setelah melihat di laptop, hasilnya seperti ini.

Saya membayangkan tadinya gambarnya sudah seperti di prangko-prangko itu, tapi ternyata masih jelek.



Setelah baca Kompas kemarin (7/8/2012), barulah tau kalau ternyata ada software yang bisa menggabungkan foto parsial menjadi satu gambar utuh, yaitu Photostitch dari Canon. Dan ternyata itu ada dalam dus Canon saya...*pentung* Dan hasilnya bisa seperti ini


Dan yang menarik, foto yang disebabkan salah perspektif bisa juga menarik seperti berikut:


Namun sepertinya salah perspektif yang saya lakukan di atas dan di bawah ini, masih jauh dari sempurna. Masih harus sering berlatih lagi :)

Dermaga Pulau Pramuka


Helvry Sinaga
Beberapa kali melihat foto-foto Jakarta tempo dulu, membuat saya membayangkan suasana kota dan orang-orangnya. Beberapa tempat yang pernah saya lewati, sepertinya tidak menggambarkan keadaaan seperti di foto tersebut. Beberapa bangunan mungkin masih tegak berdiri, dirawat dan dipergunakan, seperti Istana Merdeka, Gereja GPIB Imanuel, Museum Fatahillah dan sebagainya. Namun Gedung Harmonie, Hotel Des Kapital sudah tidak ada lagi.

Saya terinspirasi membuat foto-foto semacam ini. Apa yang dapat diceritakan oleh gambar? Pertama, Perjalanan napak tilas pun dapat dibahasakan dengan dua buah gambar. Apa yang kita lihat antara zaman dulu dan sekarang merupakan suatu perubahan. Masa dulu dan masa sekarang terhubung oleh waktu dan apa yang kita lihat sekarang ini merupakan cerminan masa lalu. Sebuah gambar jauh lebih banyak menceritakan suasana dibanding paragraf-paragraf tulisan. Apalagi bila mampu menyandingkan antara gambar masa lalu dan gambar masa kini. Sangat terasa perbedaan suasananya. Dan saya suka dengan konsep penyandingan foto tersebut, seperti foto yang dimuat di harian Kompas Juli 2012 berikut ini. 











Permasalahannya sekarang adalah seberapa banyak ketersediaan gambar-gambar tersebut dan dimana dapat memperolehnya? selain itu, seberapa banyak pula tempat-tempat tersebut tersedia hingga saat ini sehingga dapat dilakukan perbandingan?


Labels: 5 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Dua Wajah Ibu
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012

Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?

Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.
Helvry Sinaga
Judul: Tangan Buntung
Penulis: Budi Darma
Gambar: Ipong Purnama Sidhi
Kompas, 29 Juli 2012

Sebuah kritik akan kekuasaan. Anthony Reid merumuskan bahwa salah satu kemunduran pusat-pusat perniagaan di Asia Tenggara terutama di Indonesia adalah sistem kerajaan itu sendiri. Menurut Reid salah satunya adalah kekuasaan Raja yang begitu besar hingga masuk ke ranah perdagangan. Belanda pun dalam melakukan monopoli perdagangan hasil bumi yang dijual di Eropa selalu melakukan penaklukkan atas raja-raja tersebut. Dan raja 'menindas' rakyatnya dengan memerintahkan agar seluruh hasil bumi yang menguntungkan seperti kopi, lada, teh, diserahkan kepada raja untuk kemudian dijual ke VOC.

Salah satu warisan keadaan tersebut ialah ikutnya pemimpin seperti kepala daerah dalam bisnis yang menguntungkan dirinya maupun keluarganya. Karena itu sering dalam pelaksanaannya, proses demokrasi yang memilih pemimpin rakyat adalah jalan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mumpung di atas, mungkin begitu tagline-nya.  Mungkin demikian yang ingin disampaikan oleh Budi Darma melalui cerpen ini. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang sering kali dinamakan sebagai hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan keberpihakan pada wong cilik: tak lebih hanyalah sebagai alat untuk memperlanggeng kekuasaan, alat untuk melegitimasi perbuatan tidak etis, dan ikut-ikutan untuk menunjukkan negara yang punya martabat di dunia. Namun, itu tak lebih atas suatu kepentingan. Kepentingan rakyat? O tentu saja, tapi rakyat partai politik, rakyat pengusaha, rakyat para jenderal, rakyat para politikus. Dan Budi Darma memberi suatu pesan sindiran, bahwa untuk hal-hal tersebut orang-orang tersebut tidak punya rasa malu. Pemimpin bertangan buntung seharusnya memiliki kesadaran lebih, bahwa perilakunya adalah perilaku tercela, tidak pantas dijadikan teladan, dan seharusnya mundurlah dari jabatan tersebut...
Helvry Sinaga

Judul: Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...
Pengarang: Sungging Raga
Gambar: Nasirun
Kompas, 22 Juli 2012

Sebuah kerinduan pada kekasih. Kerinduan pada tempat yang mengingatkan pada perasaan-perasaan indah yang dahulu meluap. Bagaimana kitapun seringkali terpaut pada sesuatu yang indah namun sekarang hilang.  Bagaimanapun senja sering menjadi pengingat yang romantis. Syukur pada senja.

Helvry Sinaga
Mendialogkan Gawatnya Perbukuan Nasional
Oleh Alfons Taryadi
Kompas, 23 Juli 2012

Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.

Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.

Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi 1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.

Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”

Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Remy Sylado (67) seperti tak pernah berhenti.

Ia menghasilkan tak kurang dari 300-an karya, yang ia harap memberi pengharapan dan penghiburan kepada pembaca. ”Kalau sekadar senang sendiri, itu bukan hiburan. Dan hiburan itu bukan dosa. Justru bagaimana membuat karya sastra itu karya yang menghibur,” katanya.

Remy memiliki wawasan kepenulisan yang sangat lebar. Bukan hanya novel dan puisi, ia kini juga tengah menyiapkan buku 123 ayat tentang kesenian. Ia menulis tentang sastra, seni rupa, musik, film, dan teater. Ia bahkan pernah menulis tentang teologi, kamus, dan ensiklopedia.

Dalam setahun, Remy menghasilkan dua sampai tiga novel.

Dalam satu ruang dan waktu, Remy bisa bekerja simultan menggarap tiga novel sekaligus. Untuk itu, dia bekerja menggunakan tiga mesin tik yang berbeda. ”Selalu pakai mesin tik dan tip-eks, ha-ha...,” kata Remy di rumahnya di Cikarawang, Dramaga, Bogor, Juni lalu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Rokok dan Wong Cilik

Badrul Munir

Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.

Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani, pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.

Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Hening di Ujung Senja
Pengarang: Wilson Nadeak

Gambar: I Putu Sudiana Bonuz

Narator cerpen ini menceritakan kesan dari teman-teman yang satu demi sati meninggalkan dunia fana ini. Waktu begitu cepat memakan usia, seakan terjadinya baru kemarin. Jangankan seusia 60 tahun 70 tahun, bertemu dengan teman-teman kecil saya yang sudah menikah dan punya anak, saya merasa baru seperti kemarin bermain sepeda dan main kasti.

Saya jadi merindukan kampung halaman. Kampung bersama teman-temannya. Kembali pada pemaknaan, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Apakah hidup ini hanya sekedar lahir, besar, menikah, punya anak cucu, dan mati? Jika Tuhan berkenan, saya akan menjawab pertanyaan ini kelak.

Helvry Sinaga


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya memanusiakan dan mengangkat martabat orang miskin tak cukup dengan khotbah di gereja. Charles Patrick Edward Burrows OMI atau Romo Carolus (70) membumikan teologi inklusif dengan karya pastoral secara nyata di tengah masyarakat miskin dan termiskin selama 38 tahun lebih. Maria Hartiningsih
Romo Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan, keterbukaan, dan kebersamaan.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine

Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....


Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Judul: Tukang Pijat Keliling
Pengarang: Sulung Pamanggih
Kompas, 1 Juli 2012
Gambar: Endra Kong


Bingung juga memberi komentar atas cerpen ini. Paling tidak tahu apa profesi tukang pijat dan bagaimana perannya di masyarakat. Mungkin hampir mirip dengan tukang pangkas, dimana sering terjadi interaksi antara tukang pijat/pangkas dengan konsumennya. Tukang pijat seperti Darko disini sering berhubungan dengan masyarakat kecil yang memiliki keluhan-keluhan kehidupan yang barangkali tak jauh dari persoalan ekonomi. Masyarakat kecil sudah frustrasi dengan beratnya hidup dan mengabaikan akal sehat. Hal itu menyebabkan mereka menjadi percaya akan ramalan-ramalan membaca nasib, yang diharapkan mampu mengubah hidup mereka.Padahal apakah demikian? seringkali kita bersemangat bekerja jika kita berpikiran positif menjangkau mimpi kita, dan mungkin itulah yang dilakukan Darko, membangun dengan kata-kata.

--------------------------------------------------------


Helvry Sinaga
Misteri Bola Bundar
Sindhunata

Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.

Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.

Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Buku-buku Laris Manis, Selarik Cerita Berbeda

Suhartono

Hari pertama di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 24 tahun lampau, Ahmad Fuadi (39) terkejut dengan kata-kata man jadda wajada yang diteriakkan seorang guru saat mengajar dalam bahasa Arab.

Kata-kata itu kemudian diikuti para santri setiap pelajaran tersebut.

Fuadi yang kini dikenal sebagai penulis novel terlaris Negeri 5 Menara memiliki kenangan peristiwa itu. ”Seru juga waktu pertama kali diteriakkan man jadda wajada. Sebab, itu hal baru dan kita harus mengulang-ulang teriakannya. Waktu itu kita belum tahu apa artinya, sampai kemudian dijelaskan oleh guru,” ungkap Fuadi kepada Kompas, Rabu (27/6).

Helvry Sinaga

Oleh NURUL FATCHIATI

Seiring dengan kemajuan zaman, cepat atau lambat buku elektronik akan semakin populer di masyarakat. Apalagi berbagai macam gadget elektronik bukan barang asing lagi. Pertanyaan yang muncul, apakah e-book akan mampu mendongkrak minat masyarakat untuk membaca buku dan mengembangkan industri perbukuan?

Bukanlah pemandangan aneh, ketika orangtua asyik membaca buku, anak-anaknya sibuk memainkan gadget. Ini adalah potret perbedaan gaya hidup antara generasi tua dan muda, terutama merebak di kelas menengah di kota besar.

Helvry Sinaga
Penerbitan "Indie" Jadi Kanal

Tak perlu penerbit buku besar untuk meluncurkan sebuah buku. Tak ada keharusan mencetak ribuan eksemplar buku agar karya kreatif bisa disebarluaskan. Cukup dengan memperbanyak puluhan eksemplar, seseorang masuk dalam jajaran penulis buku.

Berkat hadirnya penerbitan indie, penulis buku sastra dan komikus kini bisa menyalurkan bakatnya. Mungkin jumlah yang dipasarkan tidak banyak, tetapi sekurangnya buku segera tercetak dan terjual langsung ke peminat. Ini lebih baik ketimbang menunggu dan ditolak oleh penerbit besar yang minatnya terhadap sastra mulai berkurang.

Lihat saja Komunitas Pawon di Kota Solo. Kata Yudhi Herwibowo, salah seorang anggotanya, munculnya teknologi cetak digital membangkitkan kembali semangat membuat buku. Meski biayanya relatif lebih mahal, teknologi ini memungkinkan pencetakan dalam jumlah sedikit, misalnya 50 eksemplar. Bahkan, satu eksemplar pun dilayani. Bandingkan dengan pencetakan manual atau ofset oleh penerbit arus utama yang minimal 3.000 eksemplar.

Helvry Sinaga

Oleh ORIN BASUKI

Munculnya beragam gadget elektronis yang mampu membaca setiap jenis dokumen digital telah membuat kecenderungan peralihan dari buku cetak ke buku elektronik tak terbendung lagi. Biaya produksi buku elektronik pun bisa memangkas separuh ongkos penerbitan buku cetak, terutama ongkos percetakannya, sehingga era digitalisasi isi buku menjadi keniscayaan.

Namun, kondisi itu bukan berarti kematian bagi buku cetak menjadi dekat. Setidaknya butuh waktu 20 tahun untuk industri buku elektronik atau e-book berkembang di Indonesia.

Eksekutif Pemasaran Bukukita.com Heru Oktaprianto di Jakarta, Selasa (26/6), mengantongi tiga alasan mengapa e-book tidak akan segera menggeser buku cetak. Pertama, pemilik gadget elektronik masih sangat terbatas pada masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas.

Kedua, pihak penerbit buku belum selesai membuat perhitungan bagi hasil dan margin dari penjualan e-book. Ketiga, orang masih cenderung menjadikan buku sebagai koleksi.

Helvry Sinaga
Pemerintah Tidak Serius Urusi Perbukuan

Membahas perbukuan di negeri ini belum beranjak dari problem klasik industri perbukuan. Kini, belitan masalah pengembangan industri perbukuan bertambah dengan ketidakjelasan siapa sang penanggung jawab utama.

Di tengah kemelut perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya, lembaga nonstruktural tidak menunjukkan kinerja baik.

Keputusan ini tentu mengagetkan kalangan perbukuan, seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Meskipun kiprah Dewan Buku Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 1999 belum nyata, pembubaran itu tetap disayangkan.

Helvry Sinaga
sumber: cetak.kompas.com
Oleh ST SULARTO

Dalam perubahan super cepat industri buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah, buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sektor industri lain.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.

Helvry Sinaga

Judul: Perempuan Balian
Pengarang: Sandi Firly
Gambar: Samuel Indratma
Kompas, 24 Juni 2012

Cerita gaib dari daerah Kalimantan tidak pernah habis. Sekalipun kemodernan yang dibawa oleh perusahaan tambang telah mencapainya, namun masih ditemukan bahwa masyarakat asli tetap mempertahankan budayanya. Saya tidak mengerti apakah profesi "orang pintar" di kalimantan juga dominasi dari laki-laki? tetapi dari cerita ini tampaknya demikian. Permasalahan utama cerita ini adalah ketidakseimbangan yang terjadi akibat ketidakpedulian manusia terhadap alam dan lingkungan. Masyarakat sepertinya menolak kehadiran Idang yang dianggap tidak waras dan membawa kesialan bagi orang kampung, sementara kehadiran perusahaan tambang yang akan merambah hutan mereka tetap dibiarkan.

Helvry Sinaga
Jakarta untuk Manusia
Oleh Yonky Karman

Kompas,23 Juni 2012

Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
(Bukan) Nasionalisme Musiman

Oleh Imam Cahyono


"History is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or national culture. It is determined by people."

(Alan Beattie)

Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi, denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.

Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara, perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam. Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan penjajah.

Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat berjaya menggenggam kedaulatan energi. Pada masa Soeharto, Pertamina terempas oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.

”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.

Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar. Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Bahasa Puitis

ANDRÉ MÖLLER

Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Walaupun memayahkan, menjemukan, dan sesekali menjengkelkan, bergaul dengan kamus-kamus setiap hari juga bukan kegiatan yang tidak membawa manfaat atau dapat membuka mata dengan lebih lebar. Kamus-kamus akhirnya jadi teman setia yang selalu sudi memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam.

Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga


Children's Books Publishing in Asia
Anonymous. Publishers Weekly258. 11 (Mar 14, 2011): n/a.

Abstract (summary)

In most parts of Asia, wizardry and fantastical plots have lost much of their magic after dominating the bestseller list for so long. Overall, picture books--local and translated--remain a big game this side of the world.

Helvry Sinaga

Judul: Jack dan Bidadari
Pengarang: Linda Christanty
Kompas, 10 Juni 2012
Gambar: Jendra

Seringkali sifat asli baru kelihatan setelah menjalani hubungan secara dekat. Karena itu, pemahaman yang baik dengan seorang teman dekat akan menyelamatkan diri maupun hubungan tersebut. Hal yang kerap kali diabaikan orang ketika mencari pengganti teman dekat adalah usaha untuk mengenal lebih jauh, baik sifat baik maupun sifat buruknya. Linda memaparkan fenomena tersebut dalam cerita pendek ini. Walau saya sendiri masih berkesan 'gantung' dengan akhir cerita ini, namun pesan yang ingin disampaikan adalah: "teman sejati selalu peduli"

Helvry Sinaga
Romo Soegijo
Arswendo Atmowiloto
dimuat di Kompas, 9 Juni 2012

Saya membaca judul film Soegijo dengan tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan terutama dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak menyebut predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu, bulat tak terceraikan.

Sebagaimana kredo nasionalisme yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada Katolik.

Sebagaimana hubungan istri-suami, tak selalu harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu jua adanya, tanpa kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan—yang sekilas paradoksal—adalah dinamika dari realitas empiris yang telah terbuktikan.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Judul: Sepasang Mata Malaikat
Pengarang: N Mursidi
Lukisan: Mohammad Ady Nugeraha

Katanya mata adalah jendela jiwa. Dari matalah terpancar kegirangan, keantusiasan, keingintahuan, kegelisahan, kebingungan, keteduhan, kesedihan, dan juga keindahan. Bicara mata juga bicara tentang bahasa. Ada bahasa-bahasa yang tidak terkatakan di sana, namun terceritakan. Tokoh Laki-laki dalam cerita ini sepertinya menyadari bahwa ia diawasi terus menerus. Mulut mungkin bisa bohong tetapi mata sangat sulit.

Ah..mata memang ada dimana-mana....
----------------------------------------
Helvry Sinaga
Judul: Tembiluk
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 27 Mei 2012

Sebuah cerita yang apik. Tidak memerlukan otak yang harus berpikir keras untuk mengerti jalannya cerita. Dengan cepat pembaca mengetahui apa inti ceritanya. Membaca cerita ini, saya mencoba bertanya, apakah masih demikian fenomena di Indonesia ini. Pertama, masihkah di tengah kehadiran agama, masih berlanjut praktek yang 'menguji' kesaktian suatu ilmu? Saya rasa masih mungkin, namun seharusnya tidak seseram di cerita awal. Kedua, apakah di kalangan para pejabat negeri ini masih ada yang mempercayakan kelangsungan jabatannya kepada seseorang yang 'dianggap'?

Persoalan mendasarnya sebenarnya terletak pada manusia itu sendiri, apakah telah didup dengnan berkecukupan?

Helvry Sinaga
Judul: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, 24 Mei 2012

Profesi yang paling dicari ketika akan mengadakan pesta pernikahan barangkali ada dua. Pertama, petugas pencatatan sipil, kedua adalah perias pengantin.
Petugas pencatatan sipil akan datang ketika akan dilangsungkan akad atau pemberkatan, sementara juru rias bertugas sebelum pesta pernikahan dan dimulai dari jam-jam subuh.

Kisah Bu Geni ini menjadi potret sebuah profesi yang jarang diulas orang, namun menjadi bagian penting dalam ritual terbesar seorang manusia. Pekerjaan merias pengantin mungkin tidak begitu populer seperti jasa-jasa prewedding atau wedding organizer, namun orang seperti Bu Geni ini ternyata ada di masyarakat. Pekerjaannya biasa, namun ucapan-ucapan Bu Geni, seolah menyadarkan apa sebenarnya hakikat pernikahan, saya menilai Bu Geni sepertinya lebih tepat menjadi sebagai konsultan pranikah.

Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan

”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”

Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”


Namun, yang saya tidak mengerti, ada apa di Bulan Desember?

-----------------------------------------------------------------------

Helvry Sinaga
Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012

Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut

Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!

Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?

Helvry Sinaga
sumber: Headline Kompas Minggu, 13 Mei 2012

Sudah hampir seminggu kejadian naas Pesawat Sukhoi Superjet 100 membahana. Temuan tim SAR di lapangan menunjukkan bahwa kondisi pesawat serta penumpangnya dalam keadaan hancur. Optimisme keluarga korban pun berubah dari harapan menjadi kepasrahan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi di dalam pesawat terutama di kokpit ketika kejadian itu. Yang ada dalam benak saya adalah: apakah pilot dan team tidak melakukan pengenalan lokasi terlebih dahulu? Mungkin jauh dari apa yang saya kira, namun fakta menunjukkan bahwa sang pilot baru pertama kali mengudara di wilayah Gunung Salak.

Saatnya bukan lagi mencari tahu siapa yang salah. Tetapi bahu membahu untuk menemukan jenazah korban agar dikembalikan kepada keluarga untuk dimakamkan secara kemanusiaan. Saya hanya bisa mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga korban. Semoga diberi ketabahan dan kekuatan dari Sang Khalik. Suatu saat pasti akan bertemu dalam keabadian. Kepada tim evakuasi saya berdoa semoga diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas melakukan evakuasi. Di lapangan ada 1000-an orang lebih bekerja sama untuk menaklukkan medan dan mengevakuasi jenazah maupun serpihan badan pesawat.

Dari kesaksian keluarga korban, saya dapat mengamati bahwa bermacam latar belakang pengalaman penumpang menaiki pesawat. Ada yang sudah sangat berpengalaman seperti Capt. Gatot Purwoko, seorang pilot yang juga penggemar kuliner. Ia adalah anggota milis Jalansutra yang sangat rajin menulis di mailing list. Bila melakukan pencarian dengan author Gatot Purwoko, maka terdapat sekitar 1800-an hasil postingan beliau. Dan inilah postingan terakhirnya di milis jalansutra (6 April 2012).


Dan saya rasa, semua dari penumpang Sukhoi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada orang-orang dekatnya, dan menjadikan kenangan sebagai bagian dari sisa hidup di dunia.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hidup itu penuh risiko dan singkat. Mari menghargainya dengan perbuatan baik. Selebihnya, hanya kepadaNyalah kita berpasrah.


helvry sinaga | 13 Mei 2012
Helvry Sinaga


Give Me Strength
This is my prayer to thee, my lord---strike,
strike at the root of penury in my heart.
Give me the strength lightly to bear my joys and sorrows.
Give me the strength to make my love fruitful in service.
Give me the strength never to disown the poor
or bend my knees before insolent might.
Give me the strength to raise my mind high above daily trifles.
And give me the strength to surrender my strength to thy will with love.


Rabindranath Tagore from Bengali
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
sumber: kompas 25 april 2012

Seumur-umur di Jakarta, saya belum pernah dan tidak akan berani naik ke atap kereta. Kenapa? saya takut. Beberapa kejadian yang saya alami selama naik kereta antara lain:
1. Kantong celana digerayangin, untung dompet sudah diselamatkan, tetapi sapu tangan saya ikut raib.
2. Pernah menyaksikan satu orang ditangkap penumpang lain karena ketahuan sebagai copet. Orang tersebut dipukuli dan ditendang dan bahkan diancam mau dilempar dari kereta yang sedang berjalan.
3. Berdiri di pintu kereta dengan berpegangan pada salah satu besi penyangga dimana penumpang begitu padatnya, sampai saya terdesak. Sekali pegangan saya terlepas, maka saya akan terlempar. Karena itu saya bertahan mati-matian seraya berharap stasiun terdekat segera tiba. Sampai di stasiun tangan saya gemetar luar biasa. Thank Lord.
4. Pada suatu ketika kereta sedang padat, saya mengobrol dengan teman saya dengan posisi tas ransel di depan. Kami berdua mengobrol sampai stasiun, dan ternyata sampai dii kosan, hp dan dompet teman saya telah hilang dari tas ranselnya akibat disobek dengan cutter. How come? nggak tahu.
5. Akibat menunggu kereta yang cukup lama (pada saat itu masih satu jalur serpong-tanah abang), datanglah kereta barang yang membawa batubara. Saya ikutan naik dan berdiri di antara sambungan gerbong. Don't try sodara-sodara, tidak enak!

Dan kejadian-kejadian lain yang mungkin dirasakan para pengguna moda transportasi ini. Lalu siapa yang dituntut? PT KAI? mereka sudah terlalu lelah untuk menerima cacian dan makian. Saya terinspirasi dengan salah seorang rektor universitas swasta terkemuka yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan kereta api adalah ia memiliki semua infrastruktur, sehingga kurang fokus pada pelayanannya. Ambil contoh jalan tol cipularang. Jalan tol yang mengelola beda, yang melintas disitu diminta bayaran. Sama dengan kereta, KAI punya rel, tawarkan aja ke swasta pengelolaan kereta dan stasiun, biar KAI fokus pada rel. Pasti ada konsekwensi, tetapi paling tidak akan mengurangi biaya pengelolaan kedua infrastruktur tersebut, saya yakin penumpang bersedia membayar lebih asal kualitasnya lebih bagus daripada sebelumnya, dan pasti efisiensi transportasi kita akan meningkat.

semoga kenekatan seperti foto di atas tidak akan terjadi lagi

*kerjaan stress siang-siang kelaperan*

helvry | 25 april 2012



Helvry Sinaga
Seberapa sering kita membuka kamus untuk mencari makna kata?
kadang merasa terlalu pintar untuk memberi suatu arti yang seringkali tidak pada ranahnya.
Percayalah kita bertambah bijak jika mau membuka kamus :)
buatlah kamus ceritamu

helvry | 21 April 2012
Helvry Sinaga

Hampir setiap hari hujan menyapa. Ada suatu kenikmatan tersendiri menikmati rintik hujan dalam kehangatan rumah. Pada satu artikel saya membaca bagaimana memperoleh gambar ciamik dari sebuah hujan, namun dengan tetap menjaga agar kamera tidak kebasahan.
Gambar di atas dari sebuah taman, pas selesai hujan. Masih jauh dari imajinasi saya. Masih belajar lagi.
EOS 550D
1/50
f/5.6
ISO 100
Labels: 2 comments | | edit post